MASAKINI.CO – Walau usia telah senja, Nur Aini masih berjibaku dengan tanah liat. Bila terik matahari datang, senyumnya merekah. Itu pertanda hari mujur, ia dapat menjemur gerabah dan membakarnya.
Perempuan yang lahir lima tahun setelah Indonesia merdeka ini, telah menjadi pengrajin gerabah sejak berusia 15 tahun. Nur Aini belia sudah cekatan membuat kanot (periuk nasi), beulangong (belanga) atau capah (cobek).

Urusan gerabah, ia berguru pada almarhumah neneknya. Ditemui masakini, Nur Aini berbagi nostalgia. Ia menceritakan, masa jaya Desa Ateuk Jawo, Kecamatan Bairurrahman, Banda Aceh.




Sekitar tahun 1970an, ketika Nur Aini masih masih belajar membuat gerabah. Di Ateuk Jawo, nyaris setiap keluarga menjadi pengrajin. Tak terkecuali teman sebayanya. “Sejak usia 15 saya mulai membuat gerabah bersama nenek,” ujarnya.
Seiring waktu, sebagian besar keluarga di Ateuk Jawo berhenti menjadi pengrajin. Namun Nur Aini dan Basyariah (70) tetap bertahan meneruskan tradisi.
Sayangnya, di keluarganya tidak ada satupun yang berminat menjadi pengrajin gerabah. “Mereka lebih memilih berjualan baju di toko,” lanjutnya sambil membuat alas piring tanah.
Kini bahan baku tanah liat juga mulai sulit didapat. Pasalnya, sawah-sawah di Ateuk Jawo telah berubah menjadi pemukiman. “Sekarang sudah susah nyari tanah liat, karena ladangnya tak seluas dulu,” ungkap Aini.
Gerabah di Ateuk Jawo ini terbilang murah, kisaran terendahnya hanya Rp8 ribu. Biasanya, pembeli datang langsung ke lokasi mencari gerabah yang diminati.[Ahlul Fikar]




Discussion about this post