Corona Masih Mengancam, Pandemi Belum Selesai

Pedagang buah sekitar RSUZA Banda Aceh

Bagikan

Corona Masih Mengancam, Pandemi Belum Selesai

Pedagang buah sekitar RSUZA Banda Aceh

MASAKINI.CO – “Mau duduk di rumah aja? makan apa nanti?” Muhammad Isya, melanjutkan menata dagangannya.

Warga Ulee Kareng, Banda Aceh tetap itu memilih berada di luar rumah demi menafkahi istri dan empat anaknya.

Berbekal sepeda motor yang telah disulapnya jadi becak, ia menjual buah potong di tepi pagar sebelah utara Rumah Sakit Zainoel Abidin. Usaha itu telah dilakoninya sejak empat tahun silam.

Saat pertama tiba Banda Aceh, ia bekerja menjadi peramusaji di sebuah kedai kopi di depan Masjid Raya Baiturrahman. Pernah pula bekerja menjadi buruh kuli panggul sayur di Pasar Peunayong.

“Itu tahun 80-an. Pernah saya hanya makan mi instan tiga hari berturut-turut,” kenangnya terkekeh.

Kenangan pahit itu lah yang membuat Isya harus keluar rumah, meskipun kini Banda Aceh turut terdampak wabah Coronavirus disease (COVID-19). Pemerintah mengimbau warga tetap di rumah demi memutuskan rantai penyebaran virus Corona.

“Bapak nggak takut? Ini kan dekat sekali dengan ruang itu?” tanya saya seraya menunjuk gedung di dalam pagar rumah sakit, ruang Respiratory Intensive Care Unit atau RICU. Di ruangan itulah, semua tindakan medis penanganan Covid-19 di rumah sakit Zainoel Abidin dilakukan.

Ia mengaku tak gentar, walau virus dapat saja hinggap di tempatnya berjualan. “Saya harus lawan. Mau makan apa kami nanti?” katanya.

Sejak Maret lalu, kasus pertama orang terjangkit virus Corona di Aceh terungkap, Isya tetap memilih mangkal di sana.

“Saya sering lihat mobil ambulan bolak-balik masuk ke situ. Saya tidak takut, semua saya pulangkan saja pada Allah,”ujarnya.

Petugas medis usai mengantar pasien diduga terjangkit corona di Pidie.

Ketidakkhawatiran Isya tersebut terlihat dari keengganannya memakai masker. Padahal, sejak dua pekan terakhir pemerintah Aceh gencar mengimbau warga agar wajib pakai masker jika berada di luar rumah.

Isya bilang, dia bukan tidak mau pakai masker. Ini suatu hal yang ganjil dan baru pertama sekali dijalani sepanjang hidupnya. Bahkan saat bencana tsunami 2004, ribuan mayat yang membusuk tergeletak di jalan, Isya masih bisa melenggang bebas tanpa menutup hidung dan mulut.

“Padahal itu berbulan-bulan. Gimana kita bilang ya, memang tidak terbiasa, susah,” katanya.

Penyebab lain, ia juga kesulitan bernapas saat memakai masker. “Paling saya pakai kalau masuk ke masjid rumah sakit saja untuk salat,” akunya terkekeh.

Ia sering lupa dan kerap berujung ditegur petugas di lingkungan rumah sakit, “tapi buru-buru saya ambil dalam kantong, saya pakai..hahahaha.”

Di sepanjang jalan yang membelah rumah sakit Zainoel Abidin lama dan yang baru, puluhan pedagang seperti Muhammad Isya masih memilih bertahan mencari nafkah.

Mereka bukan saja sedang ‘melawan’ imbauan pemerintah untuk tetap di rumah saja dan menggunakan masker, tapi juga melawan ketakutan menghadapi Corona yang mematikan itu demi sesuap nasi. Tidak ada cara lain selain turun ke jalan dan berjualan.

Namun sekeras-kerasnya perlawanan, sebagaimana penuturan Isya, ia terpaksa menyerah juga dengan keadaan. Sudah dua bulan sejak penyakit Covid-19 ini jadi buah bibir semua kalangan, penghasilannya dari menjual buah potong merosot drastis.

Penyemprotan disinfektan di kawasan pertokoan Banda Aceh.[M Aulia]

Pengurus rumah sakit membatasi pengunjung untuk membesuk sanak-famili mereka yang sedang terbaring dibangsal rumah sakit. Peraturannya; hanya ada boleh satu orang pihak keluarga yang menjaga pasien. Sepinya rumah sakit itu lah yang membuat dagangan Isya dan penjaja aneka macam dagangan lain di sana tak laku.

Sebelum pandemi Covid-19 merebak, sehari-hari dimulai pukul 8 pagi berjualan hingga pukul 6 sore, Isya bisa membawa pulang rupiah sebanyak 300 sampai 400 ribu.

“Tapi sekarang 80 puluh ribu aja susah.”

Mengapa sulit?

Banyak pihak terus mengimbau warga agar menggunakan masker, seorang diantaranya Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Aceh, Zafrizal Rahman.

“Salah satu pencegahannya harus pakai masker. Karena percikan, misalnya dari batuk orang yang terkena virus ini, itu bisa menjangkiti orang lain yang berada di sekitarnya yang tidak menggunakan penutup hidung dan mulut,” katanya.

Safrizal memaklumi, belakangan sejak virus Corona merambat di Indonesia, masker semakin susah dicari di pasar. Kalau pun ada, harganya melambung tinggi.

Bahkan beberapa apotek dan swalayan di Banda Aceh, untuk tidak membuat kecewa pembeli yang kadung masuk ke dalam bertanya masker, terpaksa di depan pintu menempel pemberitahuan; maaf, masker habis!

Tapi Zafrizal memberi alternatif lain terhadap kelangkaan itu. Katanya warga dapat membuat masker sendiri menggunakan kain. “Yang paling penting hidung dan mulut harus tertutup saat ini. Masker kain itu juga bisa dicuci dan digunakan beberapa kali.”

Warga mendapatkan masker gratis dari relawan

Namun pada kenyataanya, lepas sebulan lebih pernyataan Zafrizal itu keluar dan disebarkan banyak media, masyarakat sebagian masih saja tidak menggunakan masker.

Sekalipun akhir-akhir ini, gelombang solidaritas dari berbagai pihak gencar membagi-bagikan masker kain, tapi di tempat-tempat keramaian semacam pasar, warung kopi di Kota Banda Aceh masih terlihat warga yang enggan memakainya.

“Ini memang faktor kebiasaan, dan saya melihat di tempat kita (memakai masker) belum menjadi kebiasaan,” kata Zafrizal.

Ia mengibaratkan orang Aceh memakai masker saat ini seperti pertama kali dulu digalakkan menggunakan helm saat berkendara.

“Pasti tidak enak pakai helm, tapi kan lama-lama jadi terbiasa. Menguntungkan, bukan? Kita selamat, berkendara nyaman. Nah, masker di tengah pandemi Covid-19 itu fungsinya juga begitu, menyelamatkan kita.”

Menurutnya jika ada warga yang mengeluh susah bernapas ketika menggunakan masker kain, ia meminta warga tersebut membayangkan; betapa susahnya lagi tenaga medis bernapas di rumah sakit yang menolong pasien menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap.

“Bagaimana sesaknya mereka? Sudah gunakan masker N95 ditambah APD lagi, bayangkan bagaimana susahnya bernapas itu?”ketusnya. “Intinya, kami memohon tolonglah, pada seluruh masyarakat pakailah masker kain jika terpaksa beraktivitas di luar rumah.”

Desa Lebih Peka Pencegahan Corana

Menurut Zafrizal, saat ini yang lebih terlihat waspada dan mematuhi protokol penanganan COVID-19 malah muncul dari warga yang berada di kampung. Meskipun terkadang kesannya tampak berlebihan namun begitulah mustinya kewaspadaan.

“Mereka lebih aware. Misalnya sekarang saya perhatikan lebih giat membersihkan lingkungannya, dan memakai masker. Juga kalau ada orang masuk mereka perhatikan dan segala macam. Itu berbeda dari pada di kota. Di Banda Aceh hari ini tuh, wah kayak bebas,” bebernya.

Ia mewanti-wanti warga untuk tidak lengah meskipun kasus positif Covid-19 di Aceh telah nihil. Katanya, tak ada yang bisa menjamin virus Corona sudah menghilang dari Aceh, terlebih pintu masuk darat, udara, dan laut masih bisa dilalui bebas.

Petugas memeriksa suhu tubuh wisatawan di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.[Ahlul Fikar]

“Memang sudah ada upaya pengetatan di pintu masuk misalnya di daerah perbatasan kita. Tapi kan, kemampuannya minimal. Artinya personil di daerah kan terbatas sehingga tak bisa penuh mengawal 24 jam,” ungkapnya.

Saat ini, terang Zafrizal, Kota Medan menjadi salah satu episentrum Covid-19 di Sumatera. Aceh, provinsi tetangga yang sangat dekat. Terlibih mobilitas orang antar dua provinsi tersebut masih terus terjadi.

“Mohon maaf, tapi ini harus saya katakan; kalau hilir mudik orang masih banyak, dan masyarakat kita tidak mengindahkan segala pentunjuk yang ditetapkan pemerintah, maka ini akan berbahaya,” katanya.

Bagi Zafrizal disatu sisi, sembuhnya seluruh pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit Zainoel Abidin memang sangat patut disyukuri. Namun itu tak lantas membuat kewaspadaan masyarakat Aceh lalai dan beranggapan Covid-19 sudah sirna. “Ini semua belum selesai.”[Alfath Asmunda]

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist