Fatwa MUI Perbolehkan Vaksin COVID-19

Ilustrasi

Bagikan

Fatwa MUI Perbolehkan Vaksin COVID-19

Ilustrasi

MASAKINI.CO – Musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 mengeluarkan sejumlah fatwa. Di antaranya adalah fatwa penggunaan human diploid cell (sel tubuh manusia) untuk bahan vaksin dan obat. Dalam fatwanya, MUI memperbolehkan penggunaan sel tubuh manusia itu selama dalam masa darurat.

Keluarnya fatwa soal penggunaan human diploid cell tersebut merupakan jawaban pertanyaan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Human diploid cell atau sel tubuh manusia adalah sel yang memiliki jumlah kromosom ganda, yaitu punya dua set kromosom yang berjumlah 46.

Dalam hasil sidang Komisi Bidang Fatwa Munas Ke-10 MUI yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh disebutkan, pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram. ”Karena bagian tubuh manusia wajib dimuliakan,” katanya seperti dilansir Jawapos.

Dalam fatwa yang memperbolehkan itu, MUI mengeluarkan sejumlah persyaratan. Di antaranya, tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan penggunaan sel dari tubuh manusia.

Kemudian, obat atau vaksin hanya diperuntukkan bagi penyakit berat. Apabila tanpa obat atau vaksin itu, berdasar keterangan ahli yang kompeten dan tepercaya, diyakini timbul kemudaratan lebih besar.

Pada Munas MUI ke-10 terpilih Kepengurusan masa bakti 2020–2025 terbentuk. Rais Am PB NU KH Miftachul Akhyar terpilih sebagai Ketua Umum MUI menggantikan KH Ma’ruf Amin yang kini menjabat wakil presiden.

Dalam pidato setelah dikukuhkan sebagai ketua umum MUI, Miftachul banyak menyinggung soal dakwah yang menjadi tugas utama para ulama.

”Ini amanah berat. Bukan berarti saya lebih baik daripada yang lain,” katanya dalam penutupan Munas Ke-10 MUI di Jakarta kemarin (27/11).

Sebaliknya, saat ini Miftachul merasa lebih terbebani daripada ulama-ulama yang lain. Sebab, bukan hanya anak bangsa, saat ini umat di dunia juga menanti kiprah MUI.in

Di tengah era teknologi yang makin pesat, kata dia, zaman penuh ketidakjelasan. Semua pihak saling menyatakan kebenarannya. Umat disuguhi pergolakan-pergolakan. Nah, di tengah kondisi tersebut, peran ulama sangat diperlukan. Bagi Miftachul, ulama adalah pewaris (baca: penerus) para nabi. ”Kita angkat kembali bagaimana jati diri ulama,” ucapnya.

Menurut pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya itu, bagi ulama, tidak ada tugas lain yang lebih tinggi daripada berdakwah. ”(Berdakwah itu, Red) merangkul, bukan memukul. Menyayangi, bukan menyaingi. Mendidik, bukan membidik. Membela, bukan mencela,” tuturnya. []

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist