Menjaga Rasa Rempah dalam Sekaleng Keumamah

Bagikan

Menjaga Rasa Rempah dalam Sekaleng Keumamah

Makjar lahir dari tangan-tangan terampil. Diolah dengan hiegienis demi menjaga kualitas dan mempertahankan rasa rempah keuneubah indatu.

Hamzah Hasballah

Jangan sangka jika lokasi sentra produksi Keumamah Makjar seperti dapur pada umumnya. Tempat produksi Keumamah Makjar, ruangan seukuran dua kali lapangan voli yang disekat menjadi 3 ruangan. Saat masuk, ada sebuah meja bersusun buku tulis yang di belakangnya ditempelkan hasil uji laboratorium dan beberapa sertifikat lain. Di depan meja, ada dapur kecil nan bersih dengan keramik mengkilap. Dekat dengan meja, ada lemari kaca berisi beberapa potong baju putih bersih, beberapa pasang sendal karet dan sarung tangan. Pakaian ini dipakai para koki saat akan mengalengkan keumamah dalam ruangan bersekat kaca.

Keumamah Makjar, inovasi baru penyajian makanan tradisonal khas Aceh. Penyaji dan pencetus inovasi ini Mahdini Firman Hadayt, warga Gampong Ceurih Ulee Kareng Kota Banda Aceh. Ia mengemas keumamah –ikan kayu – siap santap dalam kaleng kemasan. Tentunya keumamah produksi Mahdini bebas dari pengawet dan karena diolah dengan higienis, Keumamah Makjar bisa disimpan hingga setahun lebih. Rasa gurih dengan aroma rempah yang khaslah yang membuat penganan ini istimewa.

“Ide kita adalah ingin ada makanan khas Aceh yang tahan lama dan bisa dibawa ke luar Aceh,” kata Mahdini saat dijumpai di rumahnya yang dijadikan lokasi pembuatan Keumamah Makjar, akhir November lalu.

Proses pembuatan Keumamah Makjar haruslah benar-benar bersih. Mulai dari pemilihan ikan hingga pendisitribusian dilakukan dengan hati-hati. Mahdini memilih ikan tongkol kualitas super yang harganya mencapai Rp600 ribu per keranjang. Isinya sekitar 30 kilogram. Proses memasaknya pun dilakukan dengan pengukusan untuk menjamin histamin atau lendir di kulit ikan benar-benar hilang. Usai dikukus, ikan bakal dijemur di wadah yang dilapisi kaca. Tujuannya untuk menghindari hinggapan nyamuk atau pun kotoran lain yang bisa membawa bakteri pada ikan.

“Setelah kita buang tulang dan kepala dan kita kukus kemudian kita keringkan ada tinggal sekitar 10 kilo per keranjangnya,” kata Mahdini.

Setelah ikan kering dan diangkat dari jemuran, barulah masuk tahapan memasak. Bumbu yang dipakai murni rempah Aceh. Ada santan kelapa, belimbing wuluh, bawang putih, bawang merah, cabai rawit, kunyit, cabai merah, cabai kering, ketumbar, daun kari, dalam salam dan jahe. Semua bahan itu diolah oleh tangan dingin Jarniah, istri Mahdini. Nama yang kemudian disematkan sebagai lebel produk.

Usai dimasak, keumamah kemudian dimasukkan dalam ruangan kaca untuk dikalengkan dengan alat bernama seamer. Usai proses pengalengan, kaleng yang telah terisi dimasukkan dalam auto clave steril. Di alat inilah keumamah kaleng dipanaskan kembali dengan temperatur 80-90 derajat celcius selama 20-25 menit, untuk memastikan kuman di makanan benar-benar mati.

Di ruangan inilah proses pengalengan keumamah harus dipersiapkan dengan sangat hati-hati. Sebelum masuk ke dalam ruangan, para pegawai diwajibkan memakai seragam putih serupa pekerja laboratorium, mengenakan sarung tangan, penutup kepala dan juga masker mulut. Mahdini ingat, ia pernah memasak tanpa mengenakan sarung tangan. Alhasil, sekira seminggu, keumamah yang ia masak membusuk. Baunya benar-benar menyengat.

Proses pembuatan tidak berhenti di sini. Sebelum keumamah siap edar, ikan kayu kaleng yang telah dipanaskan dalam auto clave steril kemudian dipindahkan dalam ruangan karantina. Di sini, kaleng-kaleng keumamah disusun rapi dan dibiarkan selama dua pekan. Jika kondisinya stabil atau tak ada perubahan pada kaleng-kaleng itu, artinya proses produksi keumamah selesai dan siap diedarkan.

“Jika kumannya tidak mati, kalengnya akan meledak. Baunya Subhanallah. Saat kita buat ngak pakai sarung tangan itu meledak semua keumamahnya,” kata Mahdini.

Belajar di Laboratorium LIPI

Ide membuat Keumamah Makjar lahir di tahun 2015. Ia melihat gudeg, makanan khas Yogyakarta yang dijual dalam bentuk kaleng. Ia berpikir, dirinya juga harus membuat inovasi berupa makanan khas Aceh yang tahan lama dan dibuat tanpa pengawet. Berbekal Rp20 juta ia nekat terbang ke Yogyakarta, belajar langsung ke sentra produksi gudeg. Mereka kemudian mengarahkannya ke laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga negara ini kemudian meminta ia kembali dengan membawa serta segala bahan yang nanti bakal diolah.

“Saya balik bawa ikan, bahan-bahan dan asam sunti ke Gunung Kidul (tempat laboratorium LIPI),” kata Mahdini.

Chef di LIPI memberi Mahdini dua jam untuk memasak keumamah, setelah sebelumnya diajarkan tatacara memasak dengan higeinis. Ia linglung. Itu pengalaman pertama baginya memasak keumamah. Mahdini kemudian menelpon istrinya di Aceh. Jadinya proses memasak tersebut dipandu Marjani.

“Makanan ini enak sekali. Jangan-jangan pakai ganja,” kata chef itu. “Nggak, saya pakai batu giok,” jawab Mahdini. Mereka tertawa.

Hasil masakan Mahdini kemudian dikalengkan sebanyak 100 unit dan dibawa ke laboratorium serta dimasukkan dalam ruangan karantina. Dua pekan, kaleng-kaleng itu masih aman. Keumamah tersebut kemudian disimpan selama setahun. Di tahun 2016, Mahdini kembali mengecek kualitas keumamah itu.

“Alhamdulillah lulus uji labiratorium,” kata Mahdini. Rasa Keumamah Makjar tak berubah. Produk ia dinyatakan bisa diproduksi.

Balai Pengawasan Obat dan Makanan Aceh kemudian melakukan survey ke rumah yang bakal ia jadikan tempat pengolahan keumamah. Fisik bangunan dan laboratorium diperiksa. Hasilnya lokasi tersebut dinilai amat layak dan diberi nilai: Grade A oleh Balai POM. Sembari mengurus izin pemasaran (MD) dari balai POM Pusat di Jakarta, ia mengemas keumamah kemasan. Namun hasilnya tidak dijual ke pasaran. Promosi hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Biasanya instansi pemerintahan memesan sebagai buah tangan bagi para tamu atau para jamaah haji dan umrah yang membawa Keumamah Makjar sebagai menu makan di tanah suci.

“Alhamulillah sekarang izin MD dari Balai POM Pusat sudah turun,” kata Mahdini. Jadilah dalam waktu dekat Keumamah Makjar akan segera dijual ke pasaran dalam bentuk kaleng. Harganya bersahabat: Rp25 ribu per kaleng dengan isi 250 gram. Rasa tak berubah, tahan lama dan bisa disimpan hingg 1,5 tahun.

Mahdini mengatakan, salah satu kesulitan terbesar dari UKM seperti Keumamah Makjar; pembiayaan. Kaleng kemasan yang dipakai Mahdini tak dijual per satuan melainkan per satu truk tronton besar. Jika di pulau Jawa, kaleng dibeli bersama banyak UKM. Tapi di Aceh, hanya ada Makjar. Produk bikinan Mahdini ini adalah yang pertama: mereka adalah pelopor keumamah kaleng pertama di Aceh.

IKM Bintang Lima

Mahdini beruntung. Di awal produksi, Dinas Perindusrian dan Perdagangan Kota Banda Aceh membantu dirinya, yaitu membeli 2 palaet besar kaleng dari pelaku usaha IKM lain di Jawa. Per palaet itu berisi 3.888 buah kaleng. Bantuan itu diberikan usai Ketua PKK dan Dekranasda Kota Banda Aceh, Nurmiaty, mengunjungi sentra produksinya.

Sofyanuddin, Kepala Disprindag Banda Aceh, menyebutkan, Keumamah Makjar merupakan IKM (Industri Kecil Menengah) binaan yang telah mendapatan penilaian bintang lima, di mana produk mereka telah sangat layak dijual bahkan ke mancanegara. Makjar menjadi salah satu dari 150 IKM unggulan di Kota Banda Aceh yang dibina secara berkelanjutan.

Sesuai dengan visi Pemko Banda Aceh, mengembangkan ekonomi masyarakat berbasis kreativitas dan inovasi dengan sentuhan ilmu pengetahuan, bekerjasama dengan Unsyiah menjalankan program One Village One Produk (Ovop) untuk peningkatan kesejahteraan di wilayah perkotaan.

Program Ovop dibuat untuk pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran di Kota Banda Aceh. “Target kita jika di 2017 pengangguran terbuka di Banda Aceh sekitar 12 persen akhir tahun ini bisa berkurang hingga 7 persen,” kata Sofyanuddin.

Sofyanuddin menyebutkan, pola pembinaan IKM yang dilakukan Disnaker dengan memberikan ruang pelatihan dengan tujuan pemasaran menjadi lebih mudah dan kualitas produk yang dihasilkan punya nilai jual lebih. Setiap tahunnya, kata Sofyanuddin, pihaknya membina sekitar 200-an IKM dari total hampir 2.450 IKM di Banda Aceh. Pembinaan yang dilakukan berkisar antara pemberian bantuan dana hibah, penfasilitasian pelatihan hingga pemasaran produk.

“Pola pembinaannya tergantung dari kekurangan IKM nya. Jika memang mereka kesulitan di pemasaran, kita fasilitasi dengan membawa produk mereka (ikut) ke pemeran-pameran,” kata Sofyanuddin.

Disnaker juga memfasilitasi pendidikan dan pelatihan hingga membiayai pengurusan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas produk-produk IKM. Hal itu dilakukan agar aset kreatif mereka terlindungi. Selain itu, mutu produk, kemasan hingga sertifikasi halal terus dicoba penuhi hingga pada akhirnya produk bisa dijual, tentu usai pengurusan barcode.

Produk Keumamah Makjar, salah satu contoh IKM di Banda Aceh yang dinilai paling siap edar. Hal tersebut terlihat dari kemasan, barcode hingga sertifikasi halal sudah tertera di kemasan kaleng.

Sasaran Berikut Instansi Militer

Mahdini mengatakan, dirinya punya target Makjar Keumamah bisa dibeli oleh Badan Penanggulangan Bencana dan Dinas Sosial. Kedua instansi ini bisa mengepak Makjar Keumamah untuk diberikan kepada mereka yang terdampak bencana. “Sasaran kita juga bisa masuk ke instansi militer dan juga bisa sebagai makanan yang diberikan saat berhaji.”

Sebagai pelaku industri kreatif, Mahdini berharap pemerintah membuat pabrik khusus industri ikan kalengan. Ia bersedia mendidik pelaku UKM/IKM lain dengan bekal ilmu yang ia dapat di LIPI. Dengan demikian, makanan Aceh siap dikirim ke luar Aceh dan tentu punya standar setelah melewati uji laboratorium.

“Pemerintah harus ikut memikirkan. Di saya saja tertampung 10 orang pekerja. Kalau banyak (UKM kreatif) sudah berapa pekerja yang tertampung,” kata Mahdini.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist