LBH APIK Aceh Desak DPR Sahkan RUU PKS

Gerakan perempuan serukan pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan. [Dok: FPL]

Bagikan

LBH APIK Aceh Desak DPR Sahkan RUU PKS

Gerakan perempuan serukan pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan. [Dok: FPL]

MASAKINI.CO – LBH APIK Aceh mendesak DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU- PKS) demi terpenuhinya hak – hak perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

Bersama Forum Pengada Layanan (FPL), LBH APIK Aceh juga meminta aparatur Penegak Hukum memberikan hukuman setinggi-tingginya pada pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Selain itu, mendesak pemerintah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kabupaten (SKPD/K), memastikan komitmen dan dukungan terhadap lembaga layanan melalui Peraturan Bupati / Peraturan Walikota.

Direktur LBH APIK Aceh, Roslina Rasyid menyebutkan selama ini perempuan dan anak trauma berkepanjangan. Sementara sanksi untuk pelaku dari hukum adat, hukum positif, dan qanun jinayat yang diterapkan belum mampu menjawab keadilan yang dibutuhkan korban.

“Sehingga ada kebutuhan akan sebuah aturan hukum yang komprehensif,” sebutnya, Kamis (18/7).

Menurut Roslina pihaknya mencatat telah terjadi 115 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sejumlah daerah di Aceh. Ironisnya 34,5 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

Kasus kekerasan tersebut terjadi di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireun, Bener Meriah dan Aceh Tengah sepanjang sepanjang tahun 2018.

“Sampai Juni 2019 sudah 18 kasus kekerasan seksual yang ditangani,” kata Roslina.

Ia menjelaskan, korban kekerasan seksual sebagian besar perempuan usia anak antara 3 tahun sampai 19 tahun. Sedangkan pelaku, sebanyak 72 persen orang yang dikenal korban.

“Atau orang yang dekat dan memiliki hubungan personal dengan korban. Misalnya orang tua kandung, suami, mantan suami, pacar, guru atau pendidik dan anggota keluarga sendiri,” jelasnya.

Pihaknya juga mencatat 27 persen pelaku yang melakukan kekerasan berada di ranah publik, satu persen pelaku berada di ranah negara.

Roslina menyebutkan saat proses pendampingan, hampir 100 persen korban mengalami kekerasan berlapis. Mulai dari kekerasan psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi yang semuanya akan mempengaruhi psikologi korban.

Kata Roslina hal ini berkaitan juga dengan tingkat pendidikan yang ditempuh, korban yang mengalami kekerasan dari tingkat TK/playgroup sampai dengan SMA sebanyak 75 persen, tingkat perguruan tinggi 20 persen, dan 5 persen korban yang putus sekolah/tidak sekolah.

Dari ranah pekerjaan, 18 persen korban yang mengalami kekerasan memiliki pekerjaan yang formal, 50 persen korban yang memiliki pekerjaan informal, dan 32 persen korban tidak mempunyai pekerjaan.[]

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist