MASAKINI.CO – Produksi garam petani lokal di Aceh belum memenuhi kebutuhan industri. Menurut dosen Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Dr Suhrawardi Ilyas, M. Sc hal itu terjadi akibat tidak adanya keberlanjutan produksi, sehingga tidak bisa menjawab kebutuhan pasar.
“Industri atau pasar tidak mau jika hari ini ada produksi besok tidak ada,” ujarnya, Senin (26/8).
Di kemukiman Lampanah, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar sedikitnya ada sekitar 70 petani garam. Perharinya seorang petani garam hanya mampu memproduksi 40 Kg garam perhari. Jika dikumpulkan menjadi 2.800 Kg perhari.
Para petani hanya bisa memproduksi garam secara optimal lima bulan di musim kemarau dalam setahun.
“Kalau pasar butuh 100 ton perhari, maka kita harus siap 100 ton, jika kita punya 300 ton perhari maka kita bisa simpan untuk waktu dimana kita tidak bisa produksi,” jelas Suhrawardi.
Selain sulit untuk memenuhi kebutuhan industri, garam petani lokal juga sulit menguasai pasar domistik. Penyebabnya, proses labelisasi dan packaging.
“Pemerintah perlu memobilisasi petani garam lokal, seperti melakukan labelisasi dan packaging agar mudah masuk pasar,” harapnya.
Sampai saat ini garam produksi Lampanah masih dijual ke pengepul dan industri kecil milik masyarakat seperti penjual ikan asin dengan harga Rp5 ribu perkilo. [Ahlul Fikar]