MASAKINI.CO – Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al-Haytar menilai belum maksimalnya implementasi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), telah menyebabkan banyak sektor ril terkendala sehingga perekonomian dan pembangunan Aceh terhambat.
Pernyataan itu disampaikan langsung ke Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto di Ruang Kerjanya di Kementerian Pertahanan, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (12/11).
“Bertemu dengan pak Menhan, Prabowo kita membahas banyak hal, terutama terkait dengan Perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, masalah perekonomian, sistem peradilan, penyerahan Kewenangan, Pembentukan Badan Adhoc, Permasalahan Re-intergrasi dan butir-butir MoU yang masih bermasalah (belum dilaksanakan),” jelas Wali Nanggroe dalam keterangan resminya.
Menurutnya, poin-poin yang diutarakan tersebut sangat diperlukan Aceh saat ini agar Aceh dapat terus membangun dalam berbagai sektor.
Ia menyebutkan, misalnya terkait masalah perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara yang belum merujuk pada tapal batas atau Peta bertanggal 1 Juli 1956 sebagaimana diamanahkan dalam poin 1.1.4 MoU Helsinki.
“Belum lagi masalah lainnya seperti Bidang Perekonomian. Seharusnya pemerintah pusat sudah melakukan penyerahan pengelolaan pelabuhan laut dan bandar udara pada Aceh, juga terkait masalah perdagangan dan bisnis internasional yang masih terkendala dengan peraturan UU Nasional,” ujarnya.

Ketua DPR Aceh H Dahlan Jamaluddin mengatakan, pertemuan Wali Nanggroe dengan Menhan selain dalam rangka silaturahmi dan memberikan ucapakan selamat atas ditetapkannya Prabowo sebagai Menhan, juga membicarakan penguatan perdamaian di Aceh sebagaimana yang menjadi cita-cita dan kehendak politik perdamaian yang tertuang dalam MoU Helinski.
“Nah beberapa hal itu yang kita diskusikan dan beliau (Menhan) sangat antusias mendengar paparan kami. Menurut beliau, masalah-masalah yang ada di Aceh seharusnya sudah selesai sejak lama,” ujarnya.
Di hadapan Prabowo, Dahlan juga menyampaikan bahwa perdamaian Aceh harus berlanjut. Jika pun ada kendala-kendala di lapangan seperti proses implementasi UUPA misalnya, maka pemerintah pusat bersama dengan Pemerintah Aceh harus bersama-sama mencari jalan keluar.
“Pada pertemuan tersebut, kita juga mendorong agar pemerintah pusat secara simultan dapat mewujudkan agenda-agenda politiknya di Aceh sesuai dengan cita-cita pembangunan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat,” jelasnya.
Dalam pertemuan itu, dibahas pula sub-sub poin lainnya seperti akses perdagangan dan investasi yang masih terkendala perundang-undangan, pengelolaan migas, pengalihan Kanwil Pertanahan, auditor verifikasi pengalokasian pendapatan antara pusat dan Aceh dan lain sebagainya.[ADV]