MASAKINI.CO – Konflik manusia dengan satwa liar kerap terjadi di desa-desa perbatasan langsung dengan hutan, tidak terkecuali di Desa Batu Napal, Kota Subulussalam.
Di desa ini konflik dengan satwa liar terjadi sejak tahun 2014. Saat itu satwa gajah sering memakan tanaman milik warga seperti sawit, padi dan hasil kebun lainnya.
Keuchik Desa Batu Napal, Fajar mengungkap akibat minimnya pemahaman mitigasi satwa liar, warga memilih berdiam saat tanaman dimakan gajah.
“Warga hanya bisa berdiam diri karena takut juga mau bunuh (gajah) tidak berani karena bisa masuk penjara,” ungkapnya.
Kejadian ini terus berlangsung hingga tahun 2016, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh serta Wildlife Conservation Society – Indonesian Program (WCS-IP) mendatangi Batu Napal menjalankan program Masyarakat Desa Mandiri (MDM).
Lewat program itu terbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sepakat Bersama. Kelompok bertugas menangani persoalan konflik satwa yang ada di pemukiman warga.
Awal menjalankan program, pendamping MDM dari WCS-IP, Sukardi mengaku kewalahan memberi pemahaman mitigasi satwa pada warga.
“Butuh kesabaran lebih agar program ini diterima warga,” katanya.

Namun setelah merasakan manfaat langsung terhadap keamanan perkebunan dari satwa liar, MDM diterima warga. Apalagi KSM Sepakat Bersama rutin patroli mengawasi kawanan gajah dan satwa liar lainnya, bahkan mengembalikannya ke hutan.
“Saat itu kelompok ini jumlah anggotanya 27 orang, jadi saat konflik kami berbagi kadang ada dua kelompok sebagian naik ke atas (hutan) sebagian di pemukiman warga,” kata Sekretaris KSM Sepakat Bersama Desa batu Napal, Basri.
Ia menceritakan saat patroli malam, mereka hanya berbekal perlengkapan seadanya. “Bahkan ada yang menggunakan lampu di korek api,” katanya.
Menurut Basri, upaya menghalau satwa masuk kebun dan desa biasanya dilakukan siang. Peralatan yang digunakan beragam seperti petasan, pipa paralon dan kaleng.
Jelang berakhirnya tahun 2016 konflik warga dan gajah di Batu Napal tamat. Tapi masalah belum selesai, berikutnya giliran Orangutan merusak tanaman.
“Sejak konflik gajah sudah berakhir akhir 2016 kemudian kita konflik dengan Orangutan,” lanjutnya.

Keuchik Fajar mengakui KSM Sepakat Bersama sangat membantu aktifitas warga berkebun.
“Dengan ada kelompok ini warga jadi aman dan nyaman dalam bercocok tanam,” ungkap Keuchik Fajar.
Kata Sukardi, KSM juga memberi wawasan lebih terhadap warga terkait perilaku satwa.
“Kalau dulu masyarakat menganggap gajah itu hama dan ancaman, sekarang udah tidak lagi,” katanya.[Ahlul Fikar]