MASAKINI.CO – Para relawan sudah siap dengan kunci jawaban jika sewaktu-waktu ada yang bertanya soal kehalalan makanan. Mereka paham ini Aceh. Penduduk dengan mayoritas pemeluk agama Islam yang keras dan taat, tentu amat sangat skeptis membeli makanan yang disaji pemeluk agama lain.
“Banyak yang tanya tuh, ‘ini dimasaknya di kantor Hakka sini nggak? Karena mereka kan lihat tendanya berdiri di depan kantor,” kata Nurmala mengulang pertanyaan warga yang datang ke Warung Murah rintisan Hakka Aceh dan beberapa lembaga lainnya itu kepada saya.
Nurmala seorang relawan yang terlibat dalam gerakan sosial Warung Murah. Dia mewakili Lakpesdam PWNU Aceh.
Kata Nurmala, jika ada warga yang bertanya demikian, relawan akan menjawab dengan logis dan mimik wajah menyejukkan.
Orang-orang Aceh sangat mudah tersentuh hatinya jika diperlakukan demikian. Mereka akan menerima dengan baik. Jika nanti ada pihak-pihak yang mengusik Warung Murah itu, mereka akan sigap membela.
“Meskipun itu bukan saudara seakidahnya,” sebut Nurmala.
Dari apa yang disampaikan Nurmala saya menangkap pelajaran penting tentang tolerensi, bahwa jika ingin keberagaman tercipta harmonis, kunci sederhananya terletak pada komunikasi. Mengutarakan sesuatu secara logis dan mendengar dengan hati yang sejuk.

Saya mengunjungi Warung Murah ini di awal Juli 2020. Saat saya datang, dua perempuan berusia remaja duduk di bawah tenda. Mereka tampak sibuk melayani pengunjung. Satu per satu warga setelah mengambil kupon, mereka arahkan untuk antre terlebih dahulu sebelum mengambil makanan.
Sejak diprakarsa 29 Juni lalu, pengunjung yang datang sambil menenteng rantang atau wadah lainnya kian meriung. Warung Murah yang digagas yayasan Hakka Aceh ini tujuannya mulia. Mereka ingin meringankan beban masyarakat di tengah dampak pandemi Covid-19. Warung Murah itu dikunjungi berbagai kalangan warga kota Banda Aceh. Baik muslim maupun warga dari pemeluk agama lain.
Dua perempuan di bawah tenda tadi adalah relawan. Mereka siswi SMP di sekolah Methodist Banda Aceh. Karena masa pandemi Covid-19 belajar tatap muka di sekolah diliburkan, mereka jadi banyak waktu kosong di rumah. Dari pada terbuang tanpa manfaat, akhirnya mereka putuskan terlibat dalam gerakan sosial ini.
“Niat besarnya sih memang ingin membantu masyarakat,” kata Natasya seraya teman disebelahnya, Widya, mengangguk setuju.
Warung Murah ini dibuka mulai pukul 11 siang. Beberapa relawan dari lembaga yang terlibat tiap harinya bergantian melayani masyarakat yang ingin membeli. Makanan yang dijual di sini halal karena dimasak oleh warga muslim keturunan Aceh.
Awalnya Warung Murah itu hanya ingin menyasar kalangan warga berpenghasilan rendah dan terdampak ekonomi gara-gara pandemi. Semisal tukang becak dan pedagang di sekitar kantor Hakka Aceh di jalan H.T Daudsyah, Peunayong.
Hari pertama di buka relawan hanya menyediakan makanan 150 porsi. Mereka tak ingin ambil resiko mubazir dan makanan terbuang sia-sia. Ternyata prediksi mereka salah. Antusias warga sangat tinggi menyambut kehadiran Warung Murah itu.
“Baru setengah jam aja langsung ludes,” kata Kho Khie Siong atau akrap disapa Akky. Dia adalah mesin utama penggerak Warung Murah ini.
Akky punya tampilan lebih mirip pengusaha dari kalangan Thionghoa ketimbang sosok relawan yang mengurusi urusan sosial. Postur badannya tinggi, tulang pipinya berisi, otot-ototnya masih kekar, di kedua jari manisnya melingkar cincin batu akik.

Sekalipun kenyataan dia bukan pengusaha, Warung Murah rintisannya tersebut memang ada kaitannya dengan seorang pengusaha.
Akky bercerita ide awal gerakan membantu masyarakat di tengah pandemi dengan menyediakan makanan murah ini terinspirasi dari apa yang dilakukan Jusuf Hamka. Jusuf sosok pengusaha sukses keturunan Thionghoa. Belakangan, ia memutuskan menjadi mualaf. Dia sering terlibat digerakan sosial membantu masyarakat yang kesusahan.
Akky ingin meniru apa yang telah dilakukan Jusuf. Hatinya terketuk melihat penderitaan masyarakat yang terdampak pandemi. Dia sempat mencari-cari kontak Jusuf Hamka untuk minta izin mengadopsi kegiatan sosialnya.
“Minimal saya harus minta izinlah mengadopsi cara-cara beliau. Apapun ceritanya, gerakan kita ini kan melihat dari apa yang dilakukan Pak Jusuf,” katanya.
Namun Akky tak berhasil menemukan kontak Jusuf. Perasaanya kian gundah. Dia tak ingin niat baik ini menguap lenyap sebelum dieksekusi. Lantas, tanpa berbekal restu Jusuf Hamka, Akky akhirnya memutuskan segera membuat gerakan sosial Warung Murah itu.
“Mudah-mudahan Pak Jusuf nggak marah kita contoh,” kenangnya tergelak.
Awalnya Akky berpikir gerakan sosial ini akan dikerjakan oleh pengurus Yayasan Hakka Aceh saja, yang kebetulan juga di sana dia bertindak sebagai ketua umumnya. Ini pasti sangat mudah karena mengorganisir orang-orang yang sudah satu pemahaman. Namun setelah dia pikir ulang, kenapa tidak coba mengajak lembaga kemasyarakatan yang lain?
“Kok saya kikir sekali untuk berbagi kebaikan ya,” tawanya meledak lagi.
Kata Akky, selain ingin menularkan virus kebaikan, niatnya mengajak lembaga lain itu juga ingin menepis anggapan bahwa etnis Thionghoa di Aceh tak bisa diajak bersolidaritas dan bekerjasama.
Dia kemudian membuat pengumuman di beberapa WhataApp Grup yang di dalamnya diikuti orang-orang dari lintas agama dan kerap melakukan gerakan sosial bersama.
Berbekal pengaruhnya sebagai ketua umum yayasan Hakka Aceh, lembaga-lembaga yang pernah bekerjasama dengan Hakka diaksi-aksi sosial selama ini, cepat merespon setuju untuk terlibat.
Tidak hanya lembaga, Akky pun menyatakan; barang siapa yang ingin ikut gerakan itu terbuka selebar-lebarnya. “Termasuk juga waktu itu ada mahasiswa-mahasiswa yang ingin ikut,” katanya.
Akky sadar ini gerakan sosial. Bekerja suka rela tanpa ada upah. Dia tak ingin timbul permalahan di ujung waktu. Sebelum memulainya, dia menyodorkan beberapa kesepakatan yang musti disepakati oleh semua yang terlibat. Salah satunya, relawan tak usah ambil pusing memikirkan dana. Namun dengan catatan, aksi sosial ini relawan tidak akan digaji.
“Lah… waktu itu semua bilang setuju. Yaudah, ayok kita mainkan,” ujarnya.
Alhasil, hanya dengan sekali duduk rapat maka terbentuklah relawan Warung Murah tersebut. Kantor yayasan Hakka Aceh dipilih sebagai posko.
Akky menegaskan relawan hanya perlu menyediakan tenaga saja. Soal dananya dari mana, kas yayasan Hakka Aceh dan sumbangan para dermawan yang akan dipakai. Namun jika ada dana masuk maupun keluar, dia secepat mungkin memberitahu kepada relawan, “ini supaya transparan.”
Warung Murah ini, kata Akky, hanya dibuka tiap Senin sampai Kamis saja. Dia sengaja tidak bikin sepekan penuh karena hari Jumat waktunya sangat singkat. Terlebih bagi masyarakat Aceh Jumat adalah hari penting. Menjelang pukul 12 siang di hari itu semua kegiatan musti berhenti. Tiba waktunya warga muslim menunaikan ibadah salat Jumat.
“Ini wajib kita hormati,” katanya.
Sementara Sabtu dan Minggu, dipakai sebagai waktu istirahat. Pun, sebagian relawan yang terlibat digerakan sosial itu, di hari Minggu musti beribadah di geraja dan vihara.
Akky menyebut, hampir 80 persen pengunjung Warung Murah datang dari kalangan bawah. Meskipun demikian, ada juga warga yang tak berdampak ekonominya akibat Covid-19, tapi karena penasaran dengan sajiannya, mereka pun ikut mencoba.
Para relawan tidak akan melarang. Siapapun yang datang akan dilayani serupa. Kata akky, orang-orang yang penasaran dan secara ekonomi baik-baik saja ini, kalau sudah datang mana mungkin lagi bakal menaruh uang seperti yang lain.
“Kemarin aja ada yang taruh seratus ribu di dalam kotak,” katanya tertawa.
Namun Warung Murah tersebut punya aturan ketat dan berlaku sama kepada siapapun. Pertama, wajib mematuhi protokol kesehatan Covid-19 semisal memakai masker dan jaga jarak. Di sana juga tersedia wastafel bagi pengunjung untuk mencuci tangan sebelum mengambil makanan. Peraturan lainnya, wajib membawa wadah makanan sendiri dan mau sedikit bersabar untuk antre.
Akky bercerita Warung Murah itu selain membantu warga terdampak pandemi, sebenarnya juga turut bermanfaat bagi pedagang nasi di sekitar kawasan Peunayong.
Pasalnya, mereka tidak memasak makanan itu sendiri melainkan membelinya di warung-warung di sekitar sana. Secara bergilir, yayasan Hakka Aceh, membeli makanan di warung-warung sekitar Peunayong seharga Rp 7000 dan menjual kembali dengan seporsi nasi lengkap lauknya cuma Rp 3000. Tiap hari menu lauk yang mereka jual beragam dan tersaji berbeda-beda.

Menurut Akky hal itu dilakukan supaya Warung Murah rintisannya tersebut jangan sampai mengganggu rezeki pedagang nasi di sana. Dia tak ingin di satu sisi aksi sosial mereka ini bermanfaat bagi yang membutuhkan, tapi di sisi lain malah merugikan orang lain.
“Itu sama saja nggak benar, kan?” tuturnya.
Bersama relawan, Akky juga melebarkan sayap aksi sosialnya dengan membuka kesempatan bagi donatur yang ingin beramal lewat makanan pada masyarakat. Jika si donatur itu tak punya cukup waktu membeli dan membungkus makanan, pihaknya siap membantu.
Urusan mau dibawa ke mana makanan ini untuk dibagikan, dia pulangkan kepada sang donatur.
Tapi dengan catatan donatur itu harus terlibat meskipun kecil. Akky bilang, berbuat baik dengan tujuan mendapatkan amalan itu jangan pernah tanggung-tanggung. Perbuatan baik yang paripurna menurutnya harus melibatkan tangan si pemberi bersentuhan dengan tangan si penerima.
“Nah, kalau sudah begitu baru final namanya. Paling tidak, turut mengantarkan saja lah,” katanya.
Keyakinan begitulah yang membuat Akky tak enak hati belakangan sehari paska Warung Murah dirintis. Mereka melakukan evaluasi dari kenyataan makanan yang ludes tak sampai setengah jam di hari pertama itu. Akky tak ingin melihat wajah-wajah sedih warga yang datang tapi pulang dengan rasa kecewa karena tidak kebagian makanan.
Dia putar otak mencari solusi. Setelah disepakati bersama, mereka memutuskan menambah makanan menjadi 250 per porsi. Ini dinilai cukup jika mereka bekerja mulai pukul 11 sampai pukul 2 siang. Jadilah kini setiap Senin sampai Kamis 250 porsi makanan yang dijajakan ludes diburu pembeli.
“Saya senang melihatnya,” ujar Akky mengukir senyum.
Rencananya, tahap pertama Warung Murah tersebut akan berakhir sebelum perayaan Idul Adha yang jatuh di akhir bulan ini. Sebab, kata Akky, di sepanjang jalanan depan kantor Hakka Aceh akan dipakai sebagai lokasi pasar musiman penjual daging meugang.
Sehabis lebaran nanti pihaknya bersama relawan akan duduk kembali membicarakan kelanjutan aksi sosial itu. Saat ini, dana yang tersedia masih ada. Artinya program tersebut akan terus lanjut. Akky bilang dia tidak mau uang program Warung Murah itu dialihkan untuk kegiatan sosial lain. “Harus habis dananya sampai nol di program ini,” ujarnya.
Kepada saya dia sempat melempar canda mulai pening. Kepalanya pusing bukan karena mengurus Warung Murah atau pun protes dari relawan dan pembeli, melainkan soal dana yang terus masuk. Dia tak kuasa menolak para pendonor yang menyumbang untuk aksi sosial itu.
“Ada aja yang terus nyumbang. Bisa-bisa nanti saya buka waralaba makanan murah nih. Kita taruh di beberapa titik di kota Banda Aceh,” ujarnya seraya menambahkan “wah… makin panjang urusan saya.”
Idul Adha berakhir. Para relawan tepati janji. “Hari ini baru dimulai sesi 2,” kata Akky, Senin (10/8) siang.[Alfath Asmunda]