Tarian Singa Penebar Cinta di Tanah Raja

Bagikan

Tarian Singa Penebar Cinta di Tanah Raja

MALAM penuh cahaya. Lampion-lampion membelah jalan. Dewa-dewi menyusuri pusat kota. Koko-noni dengan ragam pakaian tradisional Tionghoa turut serta.

Pria-pria berbaju adat Aceh ikut dalam barisan. Ibu-ibu pengajian dan anak-anak dengan pakaian muslim juga ada dalam parade.

Musik tradisional Thionghoa dan Aceh menambah kemeriahan Festival Peunayong tahun 2011 di tepi Krueng Aceh.

Gegap gempita berada di puncaknya, saat warga dan wisatawan disuguhkan atraksi barongsai. Mei 2011, barongsai dipertontonkan di Aceh.

Ketua Yayasan Hakka Aceh, Kho Khie Siong (Aky) mengaku pihaknya harus mengeluarkan biaya besar malam itu. Pasalnya, pertunjukkan tersebut melibatkan para pemain barongsai asal provinsi tetangga, Sumatera Utara dikarenakan saat itu Aceh belum memiliki grub barongsai sendiri.

“Kita datangkan dari Medan. Harusnya kita tidak menyewa dari provinsi lain karena mahal 25 juta sekali tampil, belum lagi termasuk penginapan, transportasi dan makan mereka” ujar Aky.

Sejak itu, ia dan sejumlah rekannya berfikir untuk membentuk kelompok barongsai. Aky bersama wakilnya Murlin, Harianto (Achong) dan Hariyanto akhirnya memberi nama clubnya Golden Dragon.

Selain pembentukan club mereka juga memutuskan mengelar pelatihan dengan mendatangkan langsung pelatih dari Jogja. Awalnya pelatihan hanya sebulan, namun Aky menilai belum maksimal sehingga dibutuhkan tambahan waktu.

“Sebulan, kemudian saya minta diperpanjang karena mereka belum siap sementara dana anggaran yang mendukung program ini udah mentok,” katanya.

Sehingga Aky mengajak kawan-kawannya untuk kembali mencari dana lewat sponsor agar latihan kembali dilanjutkan. Alhasil, latihan kembali dilanjutkan setengah bulan.

“Di situ dilatihkan dari liong sampe terakhir ke barongsai,” kenangnya.

Agar Golden Dragon berjalan maksimal para pengurus berfikir keras mengalang dana. Apalagi perlengkapan yang dibutuhkan terbilang mahal. Ketua Federasi Olahraga Barongsai (FOBI) Aceh tersebut menyebutkan pertama kali beli perlengkapan dari Tiongkok, berikutnya Malaysia dan terakhir produk asli Indonesia.

Untungnya, seorang politisi muda Aceh menyokong perjuangan merawat keberagaman yang dibangun Hakka Aceh. Politisi itu menyalurkan dana aspirasinya untuk perlengkapan Golden Dragon.

“Kita dapat bantuan seperti tiang tonggak itu seharga 85 juta satu set,” sebut Aky.

Menurutnya barongsai bukan olah raga murah. Kepala naganya saja dibandrol Rp5 juta. Itupun tidak bertahan lama.

“Terbuat dari karton dan sebagainya, kira-kira kalau kenak hujan rontoklah barang itu. Jadi setahun sudah mulai kumuh, itu belum termasuk seragam,” kata aky.

Uniknya, unsur ritual keagamaan dihilangkan sejak awal pendirian Golden Dragon. Jadilah pertunjukkan barongsai murni seni dan olah raga. Itu dilakukan agar barongsai ‘mencuri hati’ masyarakat Aceh.

“Aceh berbeda, daerah kita ini memberlakukan syariat Islam. Kita ingin barongsai berkembang di Aceh dan dimainkan atlet-atlet beragama Islam,” jelas Aky.

Ia mengakui mulanya ada kelompok warga yang mencurigai barongsai merupakan ritual agama. Namun lamat-lamat kecurigaan itu sirna. Hingga naga barongsai akhirnya acap sekali tampil di kegiatan kebudayaan hingga peluncuran produk.

Aky optimis di Aceh barongsai akan berkembang. Setidaknya, dua tahun setelah terbentuknya Golden Dragon sudah delapan atlet muslim berdarah Aceh menjadi bagian dari keluarga besar.

“Kita ingin barongsai ini menjadi alat penyatu. Saat mereka bergabung dengan tim barongsai, mereka bisa merasakan rasa kekeluargaan meskipun berbeda etnis, suku dan agama karena tidak ada batasnya di olah raga,” sebutnya. 

Kalung Perunggu Hingga Cincin Emas

RATUSAN mata tertuju ke jembatan bambu. Di atasnya, naga ungu menari girang mengikuti irama tambur, simbal dan rapai.

Di sudut kiri jembatan, tiga perempuan duduk berlutut menepuk bahu, hingga bersilang tangan serentak. Mereka menarikan ratoh jaroe.

Para penonton Eksibisi Barongsai PON XIX di Gelangan Olah Raga (GOR) Pajajaran, Bogor mendadak riuh.

Sebagian yang lain histeris menyaksikan kolaborasi tarian khas Aceh nan populer itu dengan barongsai, kesenian asal Tiongkok yang lahir sekitar abad ketiga kala Dinasti Chin berkuasa.

“Itu penampilan terakhir saya,” kata Maisarah, pemain simbal sekaligus penari ratoh jaroe saat itu.

Selain sukses pukau penonton, Golden Dragon, timnya Maisarah, membuat juri terpana hingga menghadiahkan nilai 8,60.

Tim satu-satunya asal Aceh itu, akhirnya dikalungi medali perunggu kategori barongsai tradisional PON 2016.

Selain di PON 2016, Golden Dragon juga acap kali mengharumkan nama Aceh di di ajang bergengsi lainnya seperti Gong Yi Cooper Camel Cup HAKKA Dragon and Lion Dance International Invitational Tournament berhasil meraih prestasi sebagai “The Most Performer Team”.

Maisarah bergabung dengan grub barongsai binaan Yayasan Hakka tersebut bersama sahabat sebangku sekolahnya, Ratih Puspa Sari sejak tahun 2013.

Dua gadis kelahiran Banda Aceh dan Meulaboh, Aceh Barat itu kepincut hati tanpa sengaja, saat melintas Vihara Dharma Bhakti di Jalan Panglima Polem Banda Aceh menyaksikan penampilan Golden Dragon merayakan Imlek.

Keduanya lantas memberanikan diri ke TK Methodist. Di sana mereka melihat keseruan latihan dan persaudaraan Golden Dragon.

“Awal mulanya kami segan untuk menyapa pelatihnya. Tapi akhirnya aku dan Ratih bergabung,” kenang perempuan kelahiran 19 Mei 1997 itu.

Tepat saat kota tua di ujung sumatera ini berusia 808 tahun, Maisarah dan Ratih mantapkan diri menjadi bagian dari keluarga besar Golden Dragon.

Walau Maisarah dan Ratih muslim bersuku Aceh pertama dalam grub barongsai itu, namun mereka diberi kepercayaan penting di setiap atraksi. Kedua menjadi pemain simbal yang iramanya menjadi penentu pergerakan naga.

“Di Golden Dragon semua perjalanan dari pahit dan bahagia selalu bersama. Mengajarkan kita bagaimana saling menghormati antar sesama walaupun berbeda suku dan budayanya,” ujar Maisarah.

Persis kata Maisarah, Golden Dragon sukses menyatukan perbedaan. Termasuk kisah cintanya dengan pria berdarah Tionghoa, Nico Vandika.

Keluarga kecil Maisarah dan Nico. Foto: Ahlul Fikar

Mantan temannya sesama pemusik barongsai di Golden Dragon yang kini menjadi suaminya itu, memilih memasang cincin emas di jari manis Maisarah dan memeluk Islam. Kini pasangan itu telah dikarunia dua anak. Setelah muallaf Nico pun bersalin nama jadi Adurrahman Nico.

Tradisi Tepung dan Telur

JONSEN kaget. Sore itu, ia mendadak diserbu rekan-rekannya. Tubuhnya basah kuyub diguyur air. Tubuh putih disiram tepung, sejumlah telur turut mendarat di kepalanya.

“Kami sering membuat surprise saat ada kawan ulang tahun,” kata Ratih, mengenang ulang tahun pemain tambur di Golden Dragon.

Tak ada yang luput dari tradisi kejutan saat ulang tahun. Tanpa kecuali, Achong sang pelatih.

Saat gadis kelahiran Meulaboh itu berusia 22 tahun, anak-anak Golden Dragon merayakannya di Lampuuk, Aceh Besar.

Pesta perayaan ulang tahun Jonsen. Foto: Dok.Pri

Bagi Ratih, rekan-rekannya merupakan ‘keluarga’ walau berbeda-beda etnis bahkan agama.

“Tidak hanya sebatas teman latihan, kadang ada waktu libur kami juga jalan-jalan ke pantai,” katanya. “Kompak. Seru pokoknya kalau sudah ngumpul.”

Jika di luar arena latihan telah menyatu serupa keluarga, menjodohkan kesenian Tionghoa dan Aceh dirasa lebih mudah.

Achong mengaku sempat meminta Rahmad, seniman di Banda Aceh untuk melatih anak didiknya bermain tarian Aceh dan alat musik rapai.

“Dulu kendala pertama adalah memainkan alat rapai yang harus dilatih keras. Kemudian mengkombinasi musik rapai, tarian Aceh  dan barongsai agar singkron,” ungkap Achong.

Dari ujung sumatera, Golden Dragon sukses menyatukan perbedaan etnik, suku bahkan agama lewat kesenian dan olah raga. Barongsai. [Ahlul Fikar]

 

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist