MASAKINI.CO – Virus Covid-19 kini bermutasi lagi dan memunculkan varian baru B.1.1.129 atau yang disebut varian omicron. Varian virus baru yang pertama kali muncul di Afrika Selatan ini juga sudah mulai menyebar di beberapa negara. WHO menyebut varian omicron sudah menyebar di 57 negara.
Meskipun begitu, saat ini belum ada laporan bahwa varian virus ini masuk ke Indonesia. Namun, sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman penyebaran covid-19 gelombang ketiga, pemerintah pusat memperketat jalur masuk ke Tanah Air serta memperpanjang masa karantina.
“Kalau dari daerah endemis seperti beberapa negara di Afrika, masa karantina untuk masuk ke Indonesia itu 14 hari,” ujarnya.
Masa karantina untuk warga asing yang berasal dari luar wilayah endemis yang masuk ke Indonesia Indonesia juga diperpanjang menjadi 7 hari.
“Sebelumnya, 2 sampai 5 hari sekarang malah 7 hari karena memang kasus itu belum ditemukan di Indonesia, belum terdeteksi, ya jadi upaya memprotek jangan sampai masuk,” lanjutnya.
Sementara itu, angka penyebaran covid-19 di Aceh makin menurun. Namun, sebagai upaya penyebaran covid-19 gelombang ketiga ini, Jubir Pemerintah Aceh, Saifullah Abdul Gani mengatakan bahwa capaian vaksinasi harus terus ditingkatkan.
“Kemudian, protokol kesehatan ya tetap dijalankan untuk mencegah gelombang ketiga,” imbaunya.
Menurutnya, penyebaran covid-19 gelombang ketiga masuk melalui perantara orang yang mobilitas ke luar negeri. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar masyarakat menghindari bepergian ke luar daerah atau ke luar negeri jika tidak mendesak dan tetap mematuhi protokol kesehatan.
“Karena memang virus korona itu menular dari orang ke orang melalui droplet kan. Jadi, otomatis ya tetap protokol kesehatan, cuci tangan sesering mungkin, menjaga jarak, tidak berkerumunan, menghindari bepergian ke luar daerah apalagi ke luar negeri jika memang tidak ada kebutuhan yang sangat sangat mendesak,” tuturnya.
Saifullah juga menyampaikan bahwa pada pertengahan bulan Agustus, terjadi peningkatan angka penyebaran pasien covid-19. Namun, saat ini kasus berkurang dan tingkat hunian pasien akibat covid-19 juga rendah.
“Ya, kita pernah mencapai puncak kasus kemarin hampir semua rumah sakit penuh pada saat dipertengahan agustus, tetapi semua tertangani dengan baik, sekarang ini tingkat
hunian rumah sakit juga sangat rendah karena pasien yang ada di rumah sakit mungkin ada sekitar 10 orang lagi, yang lainnya dirawat isolasi mandiri,” ungkapnya.
Meski angka penyebaran covid-19 di Aceh sudah rendah. Ia berkata bahwa pemerintah Aceh terus mengimbau masyarakat untuk melakukan vaksin.
“Vaksinasi tetap berjalan, kemudian kalau di pemerintah Aceh sendiri kalau ASN memang seluruhnya wajib kan. Kemudian, kalau remaja yang SMA sederajat itu juga terus menerus dimodifikasi untuk melaksamakan vaksinasi bahkan sudah mencapai 70%,” serunya.
Sementara itu, menurut Dita Ramadonna, Health Officer UNICEF Perwakilan Aceh, meski angka penyebaran varian baru covid-19, omicron, naik. Tapi, angka kematiannya akibat virus varian tersebut tidak naik secara signifikan.
Sebagai langkah antisipasi penyebaran virus covid-19 varian baru tersebut diperlukan pemerataan vaksinasi, upaya yang direkomendasikan adalah
memenuhi vaksinasi lengkap terutama ke negara-negara yang cakupan vaksin lengkapnya masih rendah.
“Jadi sekarang, kan ada ketimpangan vaksinasi di negara-negara kaya, negara-negara maju itu bisa dengan gampang akses vaksinasinya, sedangkan negara-negara menengah ke bawah, miskin itu jangankan vaksin dosis ketiga ya, vaksin lengkap pertama aja ya masih ada yang di bawah 10%,” jelasnya.
Dita juga menyampaikan bahwa cakupan vaksinasi di Aceh saat ini belum mencapai 70% sesuai dengan target Kementrian Kesehatan.
“Kalau yang Aceh sendiri kita udh 40 persen yang dosis 1 tapi masih agak jauh sih dari target pemerintah kan di akhir Desember dosis 1 kan udh 70%,” lanjutnya.
Menurut Dita, ada beberapa faktor yang menyebabkan capaian vaksinasi di Aceh belum mencapai target di antaranya karena ketakutan dan kekhawatiran akan dampak yang ditimbulkan dari vaksin.
“Mungkin karena takut karena terlalu banyak hoaks yang beredar, mungkin kalau di kampung-kampung masih pikir gara-gara vaksin bisa meninggal, bisa lumpuh,” tuturnya.
Selain itu, faktor lainnya adalah karena adanya anggapan bahwa kebutuhan vaksin hanya sebagai syarat kebutuhan administrasi bukan kebutuhan supaya aman dan terlindungi dari wabah penyakit.
“Atau karena yang di daerah non-urban merasa enggak perlu jalan ke mana-mana, jadi merasa enggak butuh vaksin. Karena kan sekarang misalnya ada ke luar daerah ada peduli lindungi jadi harus perlu divaksin, jadi mungkin untuk yang dipedesaan merasa enggak perlu,” tambahnya.
Selain karena banyak hoaks yang beredar, kemungkinan capaian vaksinasi di Aceh belum mencapai target karena ada permasalahan logistik.
“Memang ada masalah di logistik juga karena vaksin ini jumlahnya terbatas terus dibagi ke 34 provinsi, mungkin ya ada juga permasalahan logistik,” lanjutnya.
Untuk itu, masyarakat Aceh perlu diberi edukasi terus menerus oleh tokoh masyarakat, pemimpin, tokoh agama, dan tenaga kesehatan bahwa kalau melihat sebuah pemberitaan jangan sekadar membaca, tapi harus lebuh kritis lagi dalam melihat pemberitaan.
“Ya, ini tentunya butuh waktu yg lama untuk masyarakat kita bisa mencapai ke situ, tapi intinya sih edukasi yang terus- menerus,” ujar Dita.
Berkaitan dengan upaya tersebut, UNICEF Aceh saat ini masih meneruskan kerja-kerjanya terutama dalam Risk Communication and Community Engagement (RCCE) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ancaman covid-19.
“Kerja samanya bisa dengan dinas kesehatan yang paling utama, kemudian kita ada kerja sama dengan AJI ini untuk meningkatkan awereness melalui media juga, dan kita kerja sama juga dengan himpunan dayah Aceh untuk mengajak para tokoh agama ini baik di level provinsi maupun kabupaten kota bisa sama-sama bekerja untuk meningkatkan awereness masyarakat agar mau menerapkan protkes dan juga melakukan vaksinasi,” pungkasnya.
Senada dengan Dita, Syaza Azra, masyarakat asal Banda Aceh mengatakan bahwa sebagai kelompok muda dirinya harus tetap konsisten menjaga protkes karena selain mengurangi risiko penularan juga agar
bisa melindungi orang lain dari kemungkinan menularkan virus seandainya asimptomatis.
“Soalnya yang masih muda sering positif tanpa gejala,” kata Syaza yang saat ini juga menempuh pendidikan sarjana di Kedokteran USK.
Sebenarnya tiap orang harus berprinsip dan menganggap semua orang positif sampai terbukti tidak, tujuannya biar lebih alert sama kemungkinan penularan.
“Jadi, kalau ketemu orang yang enggak patuh prokes, tentunya khawatir kemungkinan terjangkit covid sih, apalagi kalau ketemu sama orang yang ada gejala walaupun gejala ringan,” ungkapnya.
Terhadap orang yang masih abai protkes, ia mengatakan bahwa orang yang belum sadar sama pentingnya protkes sebenarnya jadi bahan refleksi bagi tenaga kesehatan dan pemerintah karena masih kurang edukasi info valid tentang covid dan membasmi berita hoaks.
“Semoga masyarakat bisa lebih terbuka pemahamannya mengenai corona ini,” harapnya.
Syaza juga turut mengapresiasi pemerintah karena sudah menggalakkan program vaksinasi
dengan berbagai regulasi yang membuat masyarakat akhirnya bersedia untuk divaksin. Ia berharap kedepannya cakupan angka vaksinasi khususnya di Aceh bisa lebih meningkat dengan tetap memantau pemberlakuan kebijakan protkes.
“Selama ini banyak masyarakat yang beraktivitas di luar rumah tanpa masker, acara-acara yang digelar juga penuh kerumunan tanpa ada protokol menjaga jarak, fasilitas publik juga masih ada beberapa yang enggak dilengkapi tempat cuci tangan atau hand sanitizernya habis dan enggak direfill,” tuturnya.
Selain itu, ia menyarankan agar masyarakat yang baru kembali dari luar daerah juga sebaiknya dilakukan pencatatan.
“Dan diimbau untuk melakukan karantina post perjalanan sesuai arahan Kemenkes,” sarannya.
Berbeda dengan Syaza, salah seorang warga asal Simeuleu yang kini menetap di Banda Aceh, Wendi merasa tidak perlu memakai masker karena angka penularan yang sudah menurun.
“Menurut saya, resikonya sudah kecil.
Selain itu, kalau pakai masker agak pengap, jadi enggak nyaman juga,” ungkapnya.
Ia mematuhi protkes bukan karena risiko penularan, tetapi karena adanya peraturan pemerintah.
“Karena biasanya juga ngumpul sama orang yang udah dikenal, jadi udah tahu mereka sehat apa enggak,” ujarnya.
Ia mengaku sudah dua kali divaksin. Menurut penuturannya, ia terpaksa divaksin karena ada peraturan dari institusinya.
“Dan karena udah vaksin pertama ya udah, sekalian yang kedua,”
Sejauh ini, ia tidak ada niat untuk divaksin dosis ke tiga karena narasi awal dari pemerintah yang menganjurkan vaksin hingga dua dosis sudah cukup.
“Justru saya makin khawatir kalau harus dosis ketiga, apalagi merk vaksinnya berbeda dari dua vaksin sebelumnya,” cemasnya.
Menurutnya, sosialisasi yang diadakan pemerintah saat ini juga masih banyak kekurangan.
“Contohnya saja, saat sosialisasi kita cuma disuruh untuk pake masker atau cuci tangan, tapi bagaimana dampak dan alasan kenapa harus melakukan itu tidak dijelaskan,” katanya.
Selain itu, sering kali informasi mengenai protokol kesehatan berbeda antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan selalu berubah-ubah.
“Di awal saya baca bahwa masker hanya digunakan untuk mereka yang mengalami indikasi seperti batuk atau flu, sedangkan orang sehat tidak perlu pakai masker. Lalu, tidak lama pernyataannya berubah bahwa semua harus pakai masker, lalu berubah lagi harus pakai masker yang tiga lapis,” tuturnya.
Soal sosialisasi tadi juga ada kesalahan yang sering kali terjadi, yaitu pemerintah saat sosialisasi justru mengumpulkan massa, belum lagi harus bagi-bagi masker malah menimbulkan kerumunanan.
“Bukannya itu malah menambah resiko penularan. Lalu, ada lagi bentuk formalitas seperti dokumentasi, yakni pihak yang melakukan sosialisasi melakukan foto bersama dengan warga, namun justru sambil berkontak fisik sepeti salaman atau memasang masker ke warga. Bukannya itu justru kontra terhadap protokol?,” tutup Wendi.