Hikayat Menjaga Warisan Belanda di Pulo Aceh

Mercusuar William’s Torren di Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar. (masakini.co/Alfath)

Bagikan

Hikayat Menjaga Warisan Belanda di Pulo Aceh

Mercusuar William’s Torren di Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar. (masakini.co/Alfath)

MASAKINI.CO – Badannya berisi. Kulitnya legam coklat. Mengenakan singlet warna putih. Bercelana training hitam garis-garis kuning. Sore itu dia sedang menunggu dua rekannya turun memperbaiki lampu menara. Saat tiba di sana dia menyambut kami ramah.

Lelaki paruh baya itu bernama Eddy Mulayanto. Asalnya dari Purworejo, Jawa Tengah. Sudah hampir 3 dekade dia bertugas di Aceh. Menjadi pegawai negeri di Departemen Perhubungan Laut Distrik Navigasi II Sabang.

Sekilas Eddy tak tampak seperti orang Jawa. Sebab ia lancar berbahasa Aceh. “Istri saya orang Blang Bintang,” ucapnya tersenyum.

Bersama dengan Hendrik Sihotang, dan dua warga lokal yang dikontrak, Eddy menjaga bangunan bersejarah dari jejak kolonialisme Belanda di Meulingge, Pulo Aceh, Aceh Besar.

Dia jaga bangungan bernama Mercusuar William’s Torren itu bak istri kedua. Sudah puluhan tahun lamanya.

Sekilas sejarah mercusuar itu siap dibangun Kolonial Belanda pada tahun 1875. Mercusuar ini hanya ada tiga di dunia. Kembaran pertama ada di Kepuluan Karibia. Satunya lagi, telah dijadikan museum di negerinya sendiri, Belanda.

Dalam Onze Vestiging in Atjeh, buku yang ditulis Mayor Jenderal G.F.W Borel tentang perang yang dilakoninya di Aceh juga menyinggung pembangunan suar ini.

Dia menulis Mercusuar William’s Torren mulai dibangun tahun 1874. Fungsinya untuk menjaga keselamatan pelayaran militer dan kapal dagang Belanda di jalur strategis di sekitar pertemuan Selat Malaka dengan Samudera Hindia.

Ratusan orang diangkut dari Ambon untuk membangun William’s Torren. Juga ratusan warga lokal yang dipaksa ikut terlibat.

Kedalaman pondasi menara, konon sama dengan ketinggiannya, yakni 85 meter. Sedangkan ketebalan bangunan mencapai satu meter. Saat gempa mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004 silam tak membuat bangunan itu bergeming.

Nama menara William’s Torren diambil dari nama Raja Luxemburg, Willem Alexander Paul Frederich Lodewijk. Seorang raja yang dikenal giat membangun perekonomian dan infrastruktur di daerah kekuasaan Hindia Belanda. Karena itu, namanya ditabalkan pada menara suar di Meulingge, Pulo Aceh.

Hamparan laut biru di Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar. (foto: masakini.co/alfath)

Suasana di sekeliling suar ini asri. Menara berdiri di atas cadas yang curam, menjorok langsung ke laut lepas.

Di dekatnya berdiri bangunan bertingkat dua. Bagian atas terdiri lima kamar. Sedangkan di bawah tiga kamar. Bentuknya seperti asrama tentara. Konon itu dulu adalah penjara untuk tawanan perang masa itu.

“Kini sudah dipugar. Sudah jadi kamar penginapan,” sebut Eddy.

Semalam menginap, kamar di bagian bawah dipatok dengan harga Rp200 ribu. “Kalau yang di atas seratus ribu aja. Karena kamarnya kecil. Springbednya juga kecil,” terangnya.

Tapi kalau menginap di sini punya pantangan yang amat keras diterapkan Eddy dan penjaga menara lainnya. Pantangan itu adalah, laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri dilarang menginap sekamar.

“Kalau rombongan misalnya, ada cewek cowok yang nginap, kami perlu tahu dulu mereka siapa. Kalau mereka pasangan suami istri boleh. Tapi kalau bukan, harus pisah,” katanya mewanti-wanti sekalipun di pulau, namun lokasi Menara William’s Torren masih dalam lingkup provinsi Aceh yang menerapkan hukum Syariat Islam.

Jalan ke suar Willam’s Torren kini telah mulus beraspal. namun kunjungan wisatawan masih terbilang sepi. Tertinggal jauh dengan pulau seberang, Sabang. Padahal selain daya tarik wisata sejarah, Pulo Breueh kaya dengan panorama alam yang mempesona. Banyak pantai dengan pasirnya yang putih. Laut yang biru. Terumbu karang yang beragam. Hutan yang masih lebat.

Eddy mengatakan dahulu cahaya suar terang sekali, bahkan sampai bermil-mil jauh jangkauannya. Saat konflik mendera Aceh, penjarahan terjadi di tempat ini. Alat untuk menghidupkan lampu banyak hilang. Tak jelas siapa pengutilnya.

Nggak ada orang yang berani menjaga menara dulu itu [masa konflik],” katanya.

Selepas konflik yang berakhir damai di Helsinki 2005 lalu, dan kemudian mercusuar serta komplek bangunan tersebut dipugar oleh Kementerian Perhubungan, barulah petugas kembali berani menjaga.

“Tapi ini bukan lampu asli lagi. Yang asli udah nggak aktif. Alatnya banyak hilang.”

Saban hari rutinitas Eddy dan penjaga menara lainnya tak jauh dari duduk-duduk, minum kopi, menghisap kretek, memasak, makan, menonton, kadang mencari kesibukan lainnya. Apa saja yang penting buat tubuh mereka bergerak. Lalu kala matahari terbenam, bergegas menghidupkan genset.

Dua bulan sekali meraka ganti berjaga. Eddy bisa pulang menjumpai keluarganya yang kini menetap di Sabang.

“Nanti saya dan Hendrik di jemput. Datang petugas lain pula,” katanya.

Suka duka menyelimuti Eddy Mulayanto dan rekannya yang lain kala menjaga bangunan tua itu. Tapi mereka menjalaninya penuh suka cita. Tak banyak orang yang sanggup menjalani profesi seperti ini. Terasing nun jauh pada sebuah ujung pulau yang sepi. Satu-satunya teman akrab adalah sunyi.

“Biar jadi betah, ya harus dirasa-rasa kayak jaga istri sendiri,” celutuk Eddy. Seutas senyum tegar mengambang di pipinya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist