MASAKINI.CO – Wangi rempah-rempah semakin tercium saat memasuki pekarangan Masjid Al-Furqan di Desa Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Aroma khas itu berasal dari dua belanga besar yang berada di area belakang masjid.
Terlihat dua orang pria bertubuh kekar tampak begitu piawai mengaduk berbagai campuran rempah menggunakan tongkat panjang. Keduanya sedang menyiapkan bubur Kanji Rumbi, penganan khas Ramadan yang selalu dinantikan warga Beurawe tiap tahunnya.
“Ini tradisi sejak dulu sudah ada di desa kami, hanya saja generasi yang berbeda. Saat Ramadan tiba dua belanga besar ini jadi andalan kami untuk berbagi dan menikmati bersama,” Kata Juru Masak Kanji Rumbi, Budi Dharma, Selasa (28/3/2023).
Asap mengepul keluar dari belanga tempat kanji rumbi diaduk. Makin lama dalam panasnya api, menambah sensasi rasa kanji. Beberapa warga yang menunggu, berharap waktu berbuka segera tiba, agar dapat menyantap kanji rumbi itu.
Proses memasak makanan berbentuk bubur ini telah berkembang dari yang sebelumnya menggunakan kayu bakar, kini mereka menggunakan kompor gas.
Menurut Budi, rasa kanji rumbi memiliki ciri khas yang tergantung dengan proses memasaknya dari berbagai daerah yang ada di wilayah ujung pulau Sumatera ini. Apalagi, Aceh yang dikenal sebagai daerah kaya akan kuliner tentu memiliki cita rasa yang sangat menggugah selera.
Budi Dharma atau yang kerap disapa Bang Agam sesekali menyeka wajahnya yang dipenuhi keringat, hawa panas dari belanga besar di depannya membuat sekujur tubuh pria itu basah. Sesekali ia menyetel besaran api dari tungku kompor gas agar kematangan bubur tetap stabil.
Memasak bubur kanji rumbi terbilang lama. Menghabiskan waktu hingga dua jam setengah. Biasanya warga Beurawe mulai memasak pengaman tersebut selepas salat zuhur. Selesainya hingga menjelang salat asar.

“Kita mulai menyiapkan bahan-bahannya dari pagi. Saat habis zuhur kita mulai memasaknya, habis waktu sekitar dua jam,” sebutnya.
Masyarakat dari yang muda hingga tua mulai mendatangi Masjid Al-Furqan dengan membawa wadah masing-masing. Wadah itu nantinya digunakan sebagai tempat memasukkan kanji rumbi yang telah matang dan siap disantap.
Pada prinsipnya, kata Bang Agam, penganan berbuka puasa khas Aceh itu dibuat untuk dibagikan kepada masyarakat. Siapa saja warga sekitar Beurawe boleh menikmatinya.
Selain memiliki rasa yang lezat, kanji rumbi juga punya khasiat yang cukup baik bagi tubuh. Berbahan dasar beras yang kemudian dicampur dengan santan, udang, wortel, daun sop, jahe, kunyit dan berbagai bumbu racikan lainnya.
Maka tak heran, wangi rempah yang semerbak itu tercium hingga ke rumah-rumah warga.
Sekretaris Desa (Sekdes) Gampong Beurawe, Muhammad Kausar, mengatakan tradisi memasak kanji rumbi telah melekat sejak tahun 1998 pada warga Gampong Beurawe. Artinya, tradisi tersebut telah berjalan selama 25 tahun.
Ia menceritakan, dulu Gampong Beurawe kerap kedatangan majelis tabligh dari berbagai daerah, yang kemudian menetap berbulan-bulan di sana. Pada akhirnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang dimasak saat tiba bulan Ramadan.
Hal itu lantaran adanya sikap sosial masyarakat yang sangat tinggi, bahkan pihaknya menyediakan dua belanga besar kanji rumbi yang akan dibagikan kepada masyarakat setempat.
“Dari dua belanga yang dimasak, satu untuk dibagikan kepada masyarakat, sementara belanga satu lagi kita hidangkan di masjid sebagai menu berbuka puasa bagi jamaah yang melaksanakan ibadah di masjid ini,” ujarnya.
Tak hanya jamaah dari masyarakat Beurawe saja yang dapat menyantap bubur kanji rumbi, jamaah-jamaah luar juga dipersilakan.
Terkait dari mana dana yang didapat untuk memasak kanji, tutur Kausar, diperoleh lewat donatur serta sumbangan masyarakat Gampong Beurawe. Menurut Kausar, satu belanga besar itu membutuhkan dana hingga Rp800 ribu.
“Jika dirincikan Rp800 ribu dapat beras dua sak, udang empat kilogram per belanga dan berbagai rempah-rempah lainnya yang dibutuhkan. Atas swadaya masyarakat dana itu dapat terkumpul,” jelasnya.
Sekdes Gampong Beurawe itu juga menyampaikan, dalam pembagian kanji rumbi kepada masyarakat setempat dan musafir secara gratis, bahkan ia berharap tradisi yang telah dirawat itu dapat terus dikembangkan ke depannya oleh generasi di Gampong Beurawe.
“Meskipun generasi akan selalu berubah, tradisi ini dapat selalu dijaga, agar jamaah yang ke Masjid kita ini pun lebih semangat,” pungkasnya.