Melawan Lupa, Khali Tunggal Berbagi Cerita

Seniman Arifa Safura menunjukkan seninya.(Rino Abonita)

Bagikan

Melawan Lupa, Khali Tunggal Berbagi Cerita

Seniman Arifa Safura menunjukkan seninya.(Rino Abonita)

MASAKINI.CO – Suara laki-laki itu mulai terdengar parau. Lebih dari sepuluh menit lamanya ia berdiri di sana: bermain gitar serta bernyanyi. Pada refrein lagu terakhir, suaranya mulai menanjak. Seakan hendak berpacu dengan deru lusinan kendaraan yang lalu-lalang di belokan Jalan Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Sabtu sore (27/5/2023).

“Ditindas, dirampas semuanya. Di tanah leluhur sendiri. Dianggap sampah negeri,” begitu salah satu lirik refrein yang terdengar.

Muhammad Saifullah, tampil dengan lagu Suara Sunyi dan Tuan-Tuan. Pria yang lebih dikenal dengan sapaan Wak Cepul itu mewarnai pagelaran bernama Khali Tunggal.

Khali Tunggal sejatinya merupakan gerakan seni diinisiasi sejumlah seniman kritis di Banda Aceh. Tujuannya sebagai corong amplifikasi. Agar pelbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu tidak dilupakan.

Gerakan ini menargetkan ruang-ruang publik sebagai panggung-panggung pertunjukan. Kendati penontonnya masih bisa dihitung jari.

“Hari ini temanya khusus Mei Berdarah. Karena terdapat banyak tragedi besar yang terjadi di bulan ini, terutama di Aceh: Darurat Militer, Simpang KKA, dan Jambo Keupok. Juga sebagai alarm pengingat generasi muda, agar pelanggaran HAM tidak berulang lagi,” terang Rozhatul Valica, berbicara mewakili art space Khali Tunggal di sela-sela pertunjukan.

Setelah Wak Cepul, giliran Ikhwan Karazi Alsabi yang akan menunjukkan performanya. Laki-laki yang pernah menjejal takhta Duta Wisata Kota Langsa tahun 2021 itu hendak membacakan sebuah puisi bikinannya sendiri. Puisi tersebut diberi judul Hak Asasi Milik Siapa.

Ikhwan Karazi Alsabi membaca puisi.(Rino Abonita)

Bait demi bait pun meletup. Wajah Ikhwan memerah. Amarahnya meledak. Seolah ada dendam kesumat yang selama ini tersimpan jauh di dalam dada anak muda yang mengenakan kaos stensilan Munir merah hitam itu. Ia menunjuk-nunjuk langit serta memekik. Teriakannya seakan hendak mengoyak-ngoyak membran speaker.

Embusan angin yang menggerakkan rerimbun pepohonan di balik tugu taman tersebut pun terasa mendramatisasi suasana: mengiringi leret-leret puisi yang sedang dibacakan oleh Ikhwan. Sesaat kemudian, atmosfer di tempat itu terasa masygul. Penonton pun terdiam: hening seketika datang memagut.

Di saat yang sama, Arifa Safura dan Alica Putri Anjani tampak sibuk menggambar sesuatu di atas kanvas berwarna hitam. Kanvas tersebut dibentangkan di depan stan mikrofon yang tengah digenggam oleh Ikhwan. Di atas kanvas tersebut terdapat peta Aceh serta wajah seorang anak kecil yang digambar dengan cat berwarna emas.

Saddam Husein nama anak tersebut. Bocah berumur 7 tahun itu tewas disambar peluru yang dimuntahkan oleh serdadu Indonesia ke kerumunan penduduk yang berkumpul di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), Senin siang, 3 Mei 1999. Peristiwa ini ikut merenggut puluhan nyawa penduduk di Aceh Utara yang berkumpul di simpang tersebut. Pemerintah Indonesia baru-baru ini telah menyatakan peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat.

Pengakuan tersebut dilontarkan langsung oleh Jokowi secara resmi dalam dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada 11 Januari 2023. Selain Peristiwa Simpang KKA terdapat 11 peristiwa lain yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Dua di antaranya juga terjadi di Aceh, yakni peristiwa Rumoh Geudong dan Jambo Keupok.

Langkah Jokowi itu merupakan tindak lanjut hasil rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) menindaklanjuti Keppres No. 17 Tahun 2022. Tim tersebut melahirkan 11 rekomendasi. Di antaranya menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

Seniman yang tergabung dalam Khali Tunggal berfoto bersama.(Rino Abonita)

Presiden juga menerbitkan Keppres No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat dan Inpres 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Tim PPHAM. Keduanya ditetapkan pada Maret 2023 dan merupakan kesinambungan dari rekomendasi Tim PPHAM.

Namun, kebijakan pemerintah menangani kasus pelanggaran HAM berat dengan mekanisme non yudisial tidak serta-merta mendapat sambutan baik. Beleid tersebut ditakutkan akan meredupkan suar upaya penyelesaian yudisial yang selama ini digaungkan. Ini pulalah yang mendorong seniman melalui gerakan Khali Tunggal menyuarakan pentingnya pengadilan HAM Ad Hoc demi rasa keadilan bagi para korban.

“Tersebut asasi namun tanpa raga. Tak berguna hanya alat pengekang saja,” Ikhwan mencoba menggambarkan pesimismenya atas kebijakan nonyudisial pemerintah terhadap peristiwa pelanggaran HAM di Aceh melalui puisinya.

Ada serentang kain hitam yang menghampar hanya satu langkah dari tempat Arifa dan Alica menggambar. Pecahan keramik yang dipungut di sekitar tempat itu dijadikan sebagai pemberat untuk menahan embusan angin yang hendak menerbangkan kanvas tersebut. Phan Thị Kim Phúc, demikian tertulis di ujung kain tersebut. Sebuah nama yang asing.

Di bawah tulisan tersebut tertera kalimat dalam bahasa Inggris. Salah satu yang paling awal berbunyi, “I have suffered a lot of physical and emotional pain”. Selain dipenuhi dengan kumpulan kata-kata, kain hitam itu ditempeli dengan beberapa potong gambar anak perempuan serta sebuah bola mata raksasa yang mengurung wajah seorang perempuan berwajah Asia.

Nama Phan Thị Kim Phúc ternyata berkaitan erat dengan foto fenomenal yang kesohor dengan sebutan The Girl in the Picture atau Napalm Girl. Foto tersebut memperlihatkan seorang anak perempuan yang histeris sedang berlarian di tengah jalan tanpa pakaian di antara sejumlah anak lain dengan latar belakang tentara dan asap ledakan dalam warna monokrom.

Jepretan fotografer Nick Ut itu diambil pada 8 Juni 1972. Saat itu, pesawat udara Vietnam Selatan menjatuhkan bom napalm ke Trang Bang—saat ini merupakan kota di Provinsi Tay Ninh, di wilayah Tenggara Vietnam. Anak perempuan itu, Kim Phúc, mengalami luka bakar yang serius. Ia baru dapat bergerak dengan baik seusai menjalani perawatan intensif di Jerman Barat pada 1982.

“Kim Phúc dianugerahi Penghargaan Perdamaian Dresden Pada 11 Februari 2019,” terang Arifa, selaku seniman di balik gambar di atas kanvas hitam tersebut.

Menurut Arifa, Kim Phúc sejatinya sama seperti almarhum Saddam Husein. Keduanya merupakan korban perang, anak-anak polos yang tidak tahu-menahu tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi. Hanya saja, Saddam Husein tidak seberuntung Kim Phúc.

Komisioner KKR Aceh, Oni Imelva turut berpartisipasi dalam pagelaran, Khali Tunggal.(Rino Abonita)

Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Oni Imelva, menutup sesi pertunjukan seni Khali Tunggal dengan membaca kisah yang diambil dari buku Kebenaran Untuk Anak Cucu. Cerita berjudul Yang Tersisa Dari Rumoh Geudong itu terasa lebih dramatis. Itu berkat teknik bercerita Oni yang terdengar puitis diiringi petikan gitar akustik.

“Moncong senjata sudah diarahkan kepada Hanafi dan Mar yang duduk berdampingan dalam keadaan telanjang. Namun, mereka urung melepaskan peluru. Keduanya selamat, tapi siksaan yang mereka terima semakin berat…,” belum selesai Oni membaca, lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an mulai terdengar dari seantero tempat. Ternyata magrib sudah di depan mata.

“Cerita ini belum berakhir,” ujar Oni. Itu terdengar seperti perkataan Rozhatul Valica, bahwa Khali Tunggal belum memiliki bagian penutup atau epilog. Gerakan yang berjalan secara independen itu akan terus berlanjut, menelusuk di lorong-lorong sepi. Tempat yang jarang disentuh oleh banyak orang.

“Mengampanyekan seni-seni perlawanan terhadap ketidakadilan,” tegas Rozhatul.

Penulis: Rino Abonita

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist