Predator Seksual Berlindung di Balik Tameng Agama*

Sarah Guevara Aisha, Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Ar Raniry Banda Aceh.

Bagikan

Predator Seksual Berlindung di Balik Tameng Agama*

Sarah Guevara Aisha, Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Ar Raniry Banda Aceh.

MASAKINI.CO – Pelecehan seksual marak terjadi. Sejak dulu hingga masa kini. Ironisnya, pelaku juga datang dari kerabat sendiri. Tak sedikit pula yang berpendidikan tinggi.

Sementara korban tak terbatas usia, bukan hanya mereka yang dewasa. Bahkan sulit diterima akal, pelaku juga mengincar balita.

Kasus pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja, di tempat umum seperti di jalan, pasar, di dalam kendaraan umum, di sekolah atau universitas, dan di tempat kerja.

Pelecehan seksual yang terjadi kurun waktu ini telah mencoreng reputasi dunia pendidikan khususnya Indonesia. Tak sedikit korban yang speak up tentang kejadian yang dialaminya.

Sekolah, kampus, dan bahkan pondok pesantren yang seharusnya jadi ruang aman bagi siswanya  kini tidak lagi menjadi tempat aman diakibatkan kemunculan predator seksual.

Baru-baru ini media sosial Twitter dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi NTB.

Pelecehan seksual berkedok pengajian seks dengan modus janji masuk surga itu telah merenggut keperawanan 41 santriwati. Kedua pelaku diduga telah melakukan pelecehan seksual dalam rentang waktu 2022 hingga Maret 2023.

Pelaku dengan keji melakukan pelecehan seksual dengan mengiming-imingi korban akan masuk surga dan berkata bahwa perbuatan tersebut telah mendapat restu dari nabi.

Kasus lain yang serupa juga muncul di tahun-tahun sebelumnya, seperti kasus wali kelas Ponpes di Aceh sodomi lima santri dan beraksi saat waktu shalat.

Pelaku berinisial FB merupakan wali kelas di salah satu pesantren di kawasan Aceh Besar. FB melakukan aksinya saat para santri lain masih di masjid, selesai shalat subuh. Sedangkan korban dilarang ke masjid, saat itulah pelaku melakukan aksinya.

Aceh sempat pula berstatus darurat kekerasan seksual. Bahkan setiap harinya, ada seorang anak atau perempuan yang diperkosa dan dilecehkan. Itu berdasarkan laporan Unit Pelaksana Teknis Daerah perlindungan Perempuan dan Anak ( UPTD PPA) Aceh tahun 2021.

Bayangkan Januari ke September, tercatat 697 kasus. Jumlah itu diperkirakan lebih banyak, tapi tak semua korban mau melapor.

Kasus pelecehan di Ponpes juga terjadi di Jember dan Lampung. Dilansir dari bbc.com, terungkap ada empat kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pesantren. Pimpinan pesantren di Lampung korbannya tiga orang. Ia menjalankan aksi dengan dalih mendapat berkah Tuhan jika melayani pelaku.

Dari sudut pandang penulis, hal ini besar kemungkinan terjadi dikarenakan pelaku merasa memiliki super power sehingga akhirnya melakukan perbuatan keji pada para korbannya.

Apalagi para pelaku yang kebanyakan pemuka agama, tentunya akan merasa tidak dicurigai orang lain. Sebab mereka memiliki image yang agamis sehingga mereka dapat melakukan hal tersebut dengan aman.

Bahkan ada pelaku pelecehan seksual dimana pelaku sebut merupakan seorang anak dari kyai yang ada di sebuah pesantren di Jombang yang melakukan pelecehan seksual terhadap santri.

Kemudian pelaku dilindungi oleh kyai yang merupakan ayahnya. Hal ini membuktikan bahwa orang yang agamis sekalipun tidak menjamin berakhlak baik.

Lewat serial dokumenter original Netflix, The Holy Betrayal dunia jadi terperangah. Pelecehan seksual dilakukan pendiri gereja JMS atau dikenal dengan nama Gereja Bintang Kejora Yesus.

Pelaku mengaku sebagai wakil Tuhan sehingga saat pelecehan tersebut terjadi dia sambil membawa-bawa nama Tuhan seolah perilakunya diizinkan oleh Tuhan.

Dari serial Netflix tersebut tidak hanya menggambarkan tentang sekte JMS tapi juga menampilkan sekte-sekte lain yang menyimpang.

Dari contoh kasus yang sudah penulis paparkan dapat dilihat bahwa pemuka agama melakukan pelecehan seksual karena mereka punya power sehingga mereka memiliki akses untuk melakukan perbuatan keji tersebut.

Kemudian dengan power yang mereka miliki, tentunya mereka merasa orang-orang disekitarnya akan melindunginya karena dia memiliki kekuatan tersebut.

Selain itu adanya perilaku dimana orang-orang banyak mengkultuskan para tokoh agama yang dianggap memiliki sifat agamis tingkat-tingkat tinggi yang menyebabkan para tokoh agama tersebut aman dan tidak tersentuh.

Selain itu orang-orang menganggap bahwa para tokoh agama tersebut sangat terikat dengan agamanya sehingga orang-orang banyak berpikir bahwa perbuatan tercela tidak akan mungkin dilakukan oleh tokoh agama.

Karena adanya steorotipe seperti itulah yang membuat para tokoh agama merasa terlindungi sehingga mereka merasa tidak akan ketahuan dan aman-aman saja dalam melakukan aksinya. Lagipula tiap perkataan yang mereka lontarkan pasti akan dipercaya oleh orang-orang disekitarnya.

Banyaknya kasus pelecehan seksusal dengan pelaku dari kalangan tokoh agama berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat. Tak hanya pada tokoh agama tetapi juga pada lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama, khususnya pada agama Islam seperti di pesantren atau dayah.

Sejumlah langkah perlu dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya pelecehan seksual. Misalnya saja penting ditingkatkannya pengawasan dari kementerian pendidikan atau kementerian agama.

Di pesantren dan dayah perlu adanya kultur pendidikan yang egaliter dan adil gender dengan tidak menganggap perempuan sebagai makhluk lemah.

Santri juga perlu mendapatkan materi kesetaraan gender dan pendidikan kesehatan reproduksi, agar para santri tahu bahwa perempuan dan lelaki perbedaannya hanya sebatas alat kelamin. Dihadapan Allah semua sama, yang dilihat hanya ketaqwaan.

Upaya pencegahan kekerasan seksual di pesantren perlu dibarengi dengan upaya penanganan ketika terjadinya pelecehan seksual. Harus adanya wadah konseling kesehatan mental maupun lembaga bantuan hukum bagi para korban pelecehan seksual.

Kementrian Agama (Kemenag) sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama. PMA No 83 Tahun 2023. PMA ini mengatur tentang upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan.

Namun, regulasi itu hanya berlaku di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Belum adanya regulasi khusus di pesantren untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, jadi membuat pesantren harus berani bertanggung jawab ketika terjadi kekerasan seksual. Salah satu tanggungjawab yang bisa dilakukan pesantren adalah harus berani mengakui adanya kekerasan seksual di lembaganya tanpa harus ditutup-tutupi.

*) Naskah ini merupakan tugas akhir perkuliahan, Penulisan Pendapat.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist