Perawat Skuter Tua Asal Italia

Vespa dalam perbaikan di bengkel Muliadi di Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

Bagikan

Perawat Skuter Tua Asal Italia

Vespa dalam perbaikan di bengkel Muliadi di Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

MASAKINI.CO – Muliadi pernah tergelitik bertanya kepada seseorang, “enak enggak naik Vespa?”

Pertanyaan tersebut terlontar sekitar 20 tahun yang lalu, ketika lelaki itu masih bekerja di sebuah bengkel pengecatan “airbrush” di Medan. Itu diajukan kepada salah seorang pemilik Vespa yang kebetulan pelanggannya.

Kelak dirinya akan mendalami dunia skuter klasik asal Italia lebih dari yang ia bayangkan. Muliadi kini seorang “dokter Vespa,” montir khusus untuk motor antik tersebut.

Masakini.co menemui Muliadi di bengkelnya, Selasa siang (13/6/2023). Lokasinya menghadap Gunung Gle Geunteng, di lintasan Banda Aceh-Calang, Kabupaten Aceh Besar.

Tak terlihat ada plang nama di bengkel itu. Di depan, sebuah skuter modifikasi berbentuk becak tercagak di bawah panas terik matahari.

Pada tempat duduk Vespa itu terpampang logo band Slank yang dicat dengan latar tiga warna: merah, kuning, hijau.

Vespa-vespa siap pakai di bengkel milik Muliadi di Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

Sepertinya bukan suatu kebetulan ketika pelantang dari dalam bengkel memperdengarkan lagu berjudul “Tepi Campuhan”, salah satu nomor dari album Piss! milik sang penguasa Potlot.

“Tepi campuhan aku sendiri. Manahan hening redup senja ini…,” suara nyanyian secara kor anggota band terdengar saling sambut dengan solo vokalnya Kaka.

Lazimnya sebuah bengkel, atelir milik Muliadi tampak dipenuhi oleh pelbagai material kendaraan yang berserakan di mana-mana. Beberapa di antaranya adalah Vespa yang sudah loncos.

Tepat di bawah pohon kersen di samping bengkel terparkir lima unit skuter. Onderdil-onderdil Vespa tersebut sedang dalam proses pembubutan di tempat lain.

Satu lemparan batu dari pohon kersen, bangkai Vespa teronggok di antara patahan kayu, diselimuti terpal kusut.

Siang itu, Muliadi sedang mengotak-atik karburator. “Banjir,” ucap lelaki yang akrab disapa Kibo Vespa, sementara kunci yang terbanting ke lantai terdengar saling berdentingan.

Sesaat kemudian anaknya datang main selonong lalu merengek meminta uang jajan untuk membeli es krim. Satu lembar uang Rp50 ribu pun terpaksa ditarik dari kantongnya.

“Karburatornya berkarat, jadinya terjadi penyumbatan,”  Muliadi menunjukkan “deksel”, salah satu komponen dari karburator yang sedang dibongkar setelah menyiramnya dengan bensin.

“Ini buatan Taiwan,” ia menunjukkan merek onderdil karburator.

Suku cadang sejenis cukup mudah ditemui di pasaran, yang rata-rata diproduksi di Taiwan dan India. Kendati kualitasnya tidak seperti yang orisinal, ketersediaan suku cadang-suku cadang tersebut menentukan eksistensi Vespa saat ini, kata dia.

Sekitar satu dekade silam, untuk memperbaiki satu unit Vespa yang rusak, pelanggannya mesti menunggu waktu berbulan-bulan. Ini menunjukkan betapa sulitnya menemukan suku cadang waktu itu.

Media sosial serta kemunculan platform belanja secara daring menurutnya juga ikut menentukan perkembangan Vespa serta mempermudah pencarian suku cadang. Komunikasi antarkomunitas pun jadi lebih mudah, orang-orang bisa saling berbagi.

Dilihat sekilas, skuter yang karburatornya sedang diperbaiki berjenis Vespa Super ’76, memiliki perpaduan warna salamander orange dan soap orange. Menurutnya, karburator skuter tersebut banjir karena kendaraan tersebut jarang digunakan.

Bagian dari Vespa yang baru dicat di bengkel milik Muliadi.(Rino Abonita/masakini.co)

Harusnya, kata Muliadi, Vespa tidak boleh dijadikan sebagai benda pajangan hanya karena skuter tersebut termasuk benda arkais. Ia harus digunakan, mesinnya harus tetap berdenyut.

Itu pula yang membuatnya kesal dengan para kolektor. Mereka, kata dia, adalah orang-orang yang menjadikan Vespa sebagai “berhala”, seakan menjadikannya sebagai benda adiluhung padahal tanpa sadar mengurangi eksistensi si motor kipas di lapangan.

“Ada lagi, sekarang Vespa itu ‘disate’. Itu memang ada pemainnya,” ungkap Muliadi.

Maksud “disate” yakni sengaja membeli Vespa untuk kemudian dipreteli onderdilnya satu per satu untuk dijual. Tindakan seperti ini menurutnya membuat unit Vespa berkurang drastis.

Di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar, sebut dia, ada sekitar 400 unit Vespa yang tersebar. Namun, yang terdeteksi merupakan unit yang diperkirakan aktif di atas aspal.

Lagi-lagi ia memberi penekanan ihwal eksistensi Vespa mesti dipertahankan dengan cara digunakan. Bukan dipajang.

Di jalanan, kata dia, Vespa akan lebih hidup. Kendati tidak ada pengendara skuter tua yang luput dari masalah.

Rusak di jalan adalah keniscayaan, kata dia. Namun, di sanalah seorang pengendara Vespa bisa menemukan sensasi, kata pencetus komunitas Vespa bernama Cara Asik Ingin Refreshing (CAIR).

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist