MASAKINI.CO – Medio 1998 di Desa Geunteut semerbak wangi nilam telah menyeruak seisi kampung. Desa di kaki Gunung Kulu itu punya tanah yang subur. Mayoritas warga yang semula bertani padi dan tanaman lain di kebun, alih profesi jadi petani nilam.
Saat itu petani menaruh harapan tanaman nilam punya nilai jual yang bagus. Namun, eskalasi konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia pecah di seantero Aceh. Harga jual nilam bikin petani gigit jari. Belum lagi risiko keamanan yang terancam jika menanam nilam di kebun yang berada dalam hutan.
Dari pada nyawa melayang terkena peluru nyasar, satu per satu petani mundur. Nilam ditinggalkan, meski tak benar-benar mati abadi. “Baru tiga tahun belakangan kembali ada yang menanam nilam,” kata Mahmuddin kepada masakini.co pertengahan Juni 2023.
Mahmuddin warga Desa Geunteut, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Pria 40 tahun itu salah satu petani yang mencoba kembali menanam nilam di Geunteut. Saban hari ia mengunjungi kebun. Jadwalnya telah diatur pagi dan sore. Memastikan tanaman itu terawat baik dan menghasilkan pundi rupiah.
Dia menceritakan banyak warga Geunteut kini telah kembali menanam nilam. Mereka yakin tanaman itu mampu mendongkrak kesejahteraan. Tak hanya di Geunteut, warga desa tetangga Umong Seribe pun juga ikutan menanam nilam.
Mahmuddin bilang petani di Kecamatan Lhoong punya luas lahan nilam bervariasi. Mulai dari 500 meter hingga 1,5 hektar. Tanaman penghasil minyak atsiri itu biasanya dipanen tujuh bulan sekali.
“Penghasilan yang didapat tentu sesuai dengan luas lahan,” katanya. Beberapa waktu lalu Mahmuddin mengaku baru saja panen. 150 kilogram nilam mampu dihasilkan kebunnya. “Tetapi itu masih berupa daun.”
Jika ingin punya nilai lebih, Mahmuddin harus menyuling hingga menghasilkan minyak nilam. Proses penyulingannya cukup sederhana. Daun nilam terlebih dahulu dikeringkan. Lalu daun kering ini dimasukan ke dalam tungku. Bagian dalam ketel disekat dengan lempeng berlubang, seperti saringan pada alat kukus. Biasanya 30 kilogram daun bisa menghasilkan 1 kilogram minyak nilam.
Kini petani di Kecamatan Lhoong pun tak perlu pusing menjual minyak nilam. Selain menjamurnya agen pengepul, juga ada satu lembaga yang menampung hasil minyak dari petani. Namanya Atsiri Research Center (ARC) bentukan Universitas Syiah Kuala (USK).
Mahmuddin lebih memilih menjual hasil nilamnya ke ARC. Lewat lembaga itu, minyak nilam lalu diambil oleh PT Ugreen Aromatic dan Koperasi Innovac.
“Petani nilam di Lhoong menjualnya ke ARC Unsyiah dengan harga Rp500 ribu per kilogram,” ujarnya. Namun ada juga pengepul yang bahkan mau menawari per kilo minyak nilam seharga Rp530 ribu. “Tapi tergantung juga dengan kualitas minyak nilamnya,” tambah Mahmuddin.
Lalu mengapa warga lebih memilih menjual ke ARC? Lembaga ini sejak beberapa tahun belakangan telah ambil peran mendampingi petani nilam di Lhoong. Para petani dibina dan dibantu produksinya.
Tak sampai di situ, ARC juga mencari perusahaan yang bisa mengarahkan dana corporate social responsibility (CSR) untuk petani nilam di sana. Salah satunya Bank Syariah Indonesia atau BSI yang tertarik membantu petani nilam Lhoong berdaya secara ekonomi.
Namun Mahmuddin menuturkan harapan minyak nilam Lhoong yang mulai bangkit itu, terus mendapat perhatian dari pemerintah. Baik dari sisi permodalan dan pengembangan terhadap petani. Sebab dia mengaku petani nilam di sana masih terkendala perawatan lahan dan alat bantu teknologi untuk memudahkan kerja petani.
“Kami di sini masih menggunakan alat tradisional dan bercocok tanam juga secara manual,” ungkapnya.
Hasil Nilam Aceh
Berdasarkan data statistik Perkebunan Indonesia tahun 2018-2020 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan di Jakarta, Provinsi Aceh menjadi wilayah yang paling besar kontribusinya menghasilkan minyak nilam.
Aceh berada di puncak dengan 10 provinsi lainnya penghasil produksi minyak nilam terbanyak di Indonesia. Tanah Serambi Mekkah ini per tahun mampu menghasilkan minyak nilam ratusan ton.
Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh mencatat rata-rata produksi minyak nilam di Aceh mencapai 182 kilogram per hektar, dengan daerah produksi paling banyak di Kabupaten Aceh Utara.
“Total keseluruhan per tahunnya tiap wilayah di Aceh mampu menghasilkan produksi minyak nilam mencapai 159 ton,” kata Kepala Bidang Perbenihan, Produksi dan Perlindungan Perkebunan Distanbun Aceh, Fakhrurrazi.
Dia menuturkan, berdasarkan data statistik Perkebunan Aceh, luas lahan nilam di Aceh mencapai 1.212 hektar dan 871 hektar di antaranya merupakan luas areal nilam yang sudah menghasilkan atau panen.
Daerah yang mengembangkan komoditi nilam di Aceh tersebar di sejumlah wilayah meliputi; Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Besar, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya, dan Sabang.
Dari sejumlah wilayah itu per tahunnya saja Aceh mampu menghasilkan nilam kering, yang belum diolah menjadi minyak, mencapai 950 ton. Banyaknya wilayah yang membudidayakan tanaman penghasil minyak atsiri ini, mampu menyerap tenaga kerja 3.179 petani.
Melihat pesatnya perkembangan produksi nilam itu, membuat Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh berpikir jauh agar tanaman yang punya peran penting dalam industri kosmetik, parfum, dan farmasi ini mampu mendongkrak kesejahteraan petani.
Lewat Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2023, Distanbun Aceh melakukan pengembangan komoditi. Aceh Jaya dipilih sebagai lokasi.
Sebanyak 190.000 stek atau benih baru ditebar pada 18 hektar lahan di Aceh Jaya. Pemerintah juga memberi serta Pupuk Organik Cair (POC) sebanyak 126 liter.
Selain itu, untuk menjamin dapur petani tetap berasap sebelum masa panen tiba, Distanbun Aceh memberi upah lewat skema Hari Orang Kerja (HOK). Mereka yang terlibat dalam kelompok yang menjalankan program tersebut diberi upah langsung lewat rekening kelompok.
“Kerja mereka yaitu pembersihan lahan, penanaman dan perawatan di lahan tersebut,” jelas Fakhrurrazi.
Selain anggaran dari Pemerintah Aceh, dana untuk pengembangan nilam di Aceh Jaya juga mengalir dari Pemerintah Pusat. Dana itu dipakai untuk mengembangkan 10 hektar lahan di sana. Sebanyak 100 ribu bibit nilam diberikan.
“Kemudian juga ada 70 liter pupuk cair,” kata Fakhrurrazi.
Letusan senjata di masa konflik yang dulu ditakuti masyarakat Aceh dan membuat denyut pertanian minyak atsiri mati suri, kini tak lagi terjadi. Tanah subur di ujung barat Indonesia ini siap menebar aroma nilam ke seluruh negeri.