Semangat Hadri Usai Peruweren Sepi

Hadri Suharman bersama kerbaunya.(Syah Antoni/masakini.co)

Bagikan

Semangat Hadri Usai Peruweren Sepi

Hadri Suharman bersama kerbaunya.(Syah Antoni/masakini.co)

MASAKINI.CO – Hadri Suharman asik memandangi kerbau-kerbaunya berendam di kubangan. Kadang muncul senyum dari wajahnya saat melihat kerbaunya bercengkerama di pekatnya genangan lumpur.

Sekian kali gerombolan burung jalak mencuri pandangnya. Burung-burung itu terbang hinggap menunggu punggung kerbau kering.
Bagi jalak, punggung kerbau lumbung nutrisi. Tersaji kutu-kutu dan serangga untuk memperbaiki gizi.

Hadri beternak kerbau sejak kelas 3 sekolah dasar. Ayahnya juga seorang peternak kerbau. Selain sumber cuan, baginya beternak kerbau juga hobi. Ia merasa ada yang kurang bila tidak beternak kerbau.

Dulu dirinya dan sang ayah menyediakan gerobak kerbau pengangkut hasil panen sawah masyarakat sekitar. Jasa mereka lazimnya dibayar dengan padi.

Walau ada beberapa petani membayar dengan uang. Namun hampir dua dekade lalu. Gerobak kerbaunya tidak lagi beroperasi karena berkurangnya sawah masyarakat.

Banyak masyarakat mengalihfungsikan lahan persawahan mereka menjadi kebun kopi. Selain itu, hadirnya mobil pengangkut membuat gerobak kerbaunya gagal bersaing.
Sejak saat itu, Hadri beralih menjadi pengembala.

Pengetahuannya tentang kerbau sangat mumpuni. Ia tahu betul kerbau yang bagus diternakkan. Biasanya diketahuinya dengan melihat bentuk pusar kerbau.

Kerbau yang selera makannya tinggi, kata Hadri, akan memiliki tubuh besar dan daging yang banyak. Dua hal itu wajib diperhatikan sebelum membeli kerbau untuk dipelihara.
Kerbau tidak dibuatkan kandang.

Hadri mengikat kerbaunya dengan tali di sebidang tanah bekas sawah tak jauh dari rumahnya. Di lahan tersebut tersedia kubangan dan makanan berupa rumput yang tumbuh liar.

Bila makanan kerbau dirasa tidak cukup, Hadri biasanya berkeliling mencari rumput atau menempatkan peliharaannya di sawah-sawah warga usai panen.

Seringnya Hadri membeli kerbau jantan. Dibanding kerbau betina, harga kerbau jantan lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan tubuh kerbau jantan lebih besar serta memiliki daging yang lebih banyak.

Kerbau dibeli dari agen. Biasanya berumur satu setengah tahun. Seekor kerbau jantan dihargai 13 sampai 15 juta, tergantung ukuran. Setelah dipelihara beberapa bulan, kerbau akan dijual lagi dengan harga 23 sampai 25 juta per ekor.

Hadri mampu meraup laba 10 sampai 12 juta untuk seekor kerbau saja. Namun seringnya ia memelihara satu sampai tiga ekor kerbau tiap tahunnya.

Cuan penjualan kerbau digunakannya membeli tanah kebun. Selain itu, dari beternak kerbau, ia juga membantu menyekolahkan adik-adiknya.

Untuk membuat kerbaunya tetap sehat, dirinya membuat jamu tradisional berbahan tumbuhan alami. Tidak cukup sampai disitu, Hadri sering meminta bantuan dokter hewan untuk menyuplai suplemen dan obat agar kebal penyakit.

“Alhamdulillah. Kerbau-kerbau saya rawat dengan baik. Belum pernah mati oleh penyakit. Bahkan saat penyakit mulut dan kuku meneror peternak kerbau dan sapi beberapa waktu lalu. Saya hanya memelihara kerbau lokal, jadi minim terjangkiti penyakit berbahaya,” ungkap Hadri.

Kehilangan kerbau

Hadri pernah merasakan momen buruk, tahun 2017. Seekor kerbau jantan miliknya dibawa maling. Berbagai hal dilakukan untuk menemukan kerbau itu kembali. Namun hasilnya nihil.

Pencurian kerbau kata Hadri, merupakan masalah klasik yang dihadapi para peternak kerbau di Dataran Tinggi Gayo. Seiring waktu, trik pencurian kerbau pun semakin beragam. Ada yang membawa lari kerbau secara utuh, ada pula yang hanya membawa daging dan tulangnya saja.

Menurut Hadri, populasi kerbau di Tanoh Gayo sebelum konflik sangat banyak. Bahkan ada satu kepala keluarga memiliki 20 sampai 50 ekor kerbau. Kerbau-kerbau tersebut ditempatkan di satu lokasi pengembalaan skala besar yang disebut Peruweren.

Tempat pengembalaan jauh dari pemukiman warga. Kerbau-kerbau biasanya dikunjungi pemiliknya sebulan sekali atau lebih untuk diambil susu. Ada juga kerbau dibawa pulang untuk dijual atau membajak di sawah.

Awal 2000an saat konflik berkecamuk, banyak pengembala tidak berani berkunjung. Peruweren terbengkalai. Kerbau-kerbau warga banyak yang hilang.

Ada sebagian pengembala yang beruntung, menemukan dan membawa kembali satu dua ekor kerbau. Sisanya hanya mampu pasrah serta mencoba ikhlas.

“Peristiwa konflik merupakan pukulan berat bagi pengembala kerbau di Gayo. Ratusan atau mungkin ribuan kerbau pengembala raib di Peruweren. Hal tersebut menandai kemerosotan perekonomian masyarakat kala itu. Karena keberadaan kerbau saat itu merupakan salah satu penanda kelas di dalam masyarakat. Semakin banyak kerbau, maka semakin makmur lah pemiliknya,” tutup Hadri.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist