MASAKINI.CO – Keseharian Dahlia tak lepas dari tenun. Walau usia mulai senja, perempuan 62 tahun ini setia menjaga tradisi dan budaya.
Mewarisi penciptaan tenun songket Aceh dari sang ibunda, Dahlia mewarisi keahliannya pada puluhan pembuat tenun generasi muda.
Usaha tenun songket Aceh, didirikan sejak tahun 1973 oleh Maryamu atau yang lebih di kerap disapa Nyakmu.
Nyakmu merupakan ibu kandung Dahlia. Selepas Nyakmu meninggal usaha tenun songket Aceh dijalankan Dahlia pada tahun 2016.
“Nyakmu meninggal pada tahun 2009,” kata Dahlia saat masakini.co bertandang ke rumah tenunnya, awal Oktober lalu.
Dari Gampong Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar tempat usaha Dahlia, kerajinan tenun songket Aceh telah berhasil mencetak ratusan pengrajin.
Seperti dari Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, hingga Aceh Timur. “Saat ini pengrajin di sini telah membuka tempat usaha sendiri,” kata Dahlia yang saat ini telah mewarisi usaha Songket Aceh Nyakmu.
Meskipun telah tiada, Nyakmu tetap dikenang sebagai pelopor kebangkitan songket Aceh. Dahlia mengaku usaha warisannya itu sempat vakum selama tujuh tahun.
Menurut cerita Dahlia, Nyakmu tak hanya pandai menenun dengan beragam motif, namun juga mahir menciptakan motif yang memiliki makna tentang Aceh.
“Ada 50 motif yang diciptakan Nyakmu,” ujarnya.

Saat ditemui dikediamannya, Dahlia tengah sibuk merangkai helai-helai benang dengan menggunakan mesin tradisional berbahan dasar kayu.
Di sana ia ditemani tiga perempuan paruh baya yang sibuk merangkai di dalam ruang berdinding kayu. Mereka menyulap benang mengkilap dan benang warna warni menciptakan pola-pola berbentuk bunga klasik hingga motif-motif yang berkembang sekarang.
Menggunakan Teupeun atau alat tenun yang hanya berukuran 1×2 meter, alat itu dapat menghasilkan songket cantik nan indah. Akan tetapi masih harus memerlukan sejumlah kayu lainnya yang memiliki peran masing-masing.
Di tengahnya terdapat empat kayu yang disebut Peunok. Peunok ini digunakan untuk menggantungkan helai benang yang digunakan untuk motif pada songket.
Dengan kelihaian tangannya, motif di songket terbentuk dengan sempurna. Perlahan namun pasti, sekali tarikan kayu yang disebut garap atau penyerak benang, terbentuklah beragam motif seperti Pinto Aceh, motif Pucok Meuria, Bungong Meurante dan lainnya.
Untuk satu kain songket, kata Dahlia, berukuran 180 x 80 centimeter, songket tenun itu menghabiskan delapan lusin benang ekstra. Tak tanggung-tanggung, selembar songket ini mampu diselesaikan pengrajin hingga 15 hari lamanya.
“Jika motifnya lebih susah bahkan bisa sampai sebulan,” ungkap Dahlia.
Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai Rp1,5 juta hingga Rp3 juta untuk sepasang songket yang terdiri dari rok dan selendang.
Laku tak laku, saban hari, Dahlia tetap menenun, selain sebagai merawat warisan orangtua, baginya menenun ini sudah menjadi bagian menjaga karya leluhur.
“Kita persiapkan saja jika ada yang minta sudah ada,” tuturnya.
Bagi warga Gampong Siem, menenun bukanlah pekerjaan utama mereka. Hal ini karena manyoritas warga yang bermukim di Gampong Siem memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Sementara menenun adalah pekerjaan sampingan.
“Pekerjaan utama kami bertani,“ ucapnya.
Dibantu delapan pengrajin, Dahlia dapat selalu memproduksi songket Aceh. Ia mengaku saat ini pemasaran songket telah tersebar di seluruh Indonesia hingga mancanegara.
“Kita juga di bawah binaan Disperindag dan dibantu BI, jadi songket kita sudah tersebar di Malaysia, Sri Lanka, Singapura, hingga beberapa negara lain,” imbuhnya.
Kini usaha songket Aceh ini telah berjalan puluhan tahun lamanya. Maka tak heran Songket Nyakmu telah mengukir ragam prestasi, salah satunya penghargaan yang diberikan langsung Wali Nanggroe Aceh, kategori budaya.

Puncak Kejayaan Songket Aceh Nyakmu
Songket Aceh Nyakmu telah melewati empat periode peperangan, yang disusul bencana tsunami. Kata Dahlia, Nyakmu mempelajari tenun dari neneknya yang bernama Nyak Naim.
Sebenarnya, kerajinan Songket Aceh telah dikenal sejak lama, hanya saja kebiasaan masyarakat Aceh sempat pudar.
Era pemerintahan Gubernur Ibrahim Hassan, periode tahun 1986 hingga 1993 menjadi puncak kejayaan songket Aceh Nyakmu.
Jajaran pemerintahan turun ke gampong untuk mencari dan menemukan perajin songket Aceh, dan akhirnya bertemu dengan Nyakmu yang telah merintis usaha songket di rumahnya sejak 1973.
Saat Dahlia masih muda ia ingat betul, songket Nyakmu ini menggunakan benang sutra asli. Nyakmu membina 150 pengrajin tenun Aceh yang datang dari beberapa daerah di Aceh.
Kontak senjata dan konflik Aceh kala itu, akhirnya lahan murbei pakan ulat sutra terbengkalai. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan benang ekstra hingga sekarang.
Berkat kegigihan Nyakmu dalam mengembangkan kerajinan songket di Aceh, Ia bahkan diganjar Piala Upakarti oleh Presiden RI Suharto pada masa itu.
Tak hanya itu, terang Dahlia, masa Nyakmu, Songket Aceh ini telah dipasarkan hingga Sri Lanka, Malaysia, Singapura, Turki dan Eropa.
Dalam meningkatkan daya jual, Dahlia memanfaatkan media sosial dalam mempromosikan produknya, seperti Instagram.
Ia menilai cara ini dinilai efektif, karena menjangkau ke seluruh Indonesia, bahkan dunia.
“Melalui Instagram konsumen dapat membuka akun @songketacehnyakmu, dan juga bisa langsung ke WhatsApp,” terang Dahlia.