Barang Impor di Lhokseumawe Itu Bernama ‘Kenakalan Remaja’

Ilustrasi kekerasan di sekolah. I Freepik/rawpixel.com

Bagikan

Barang Impor di Lhokseumawe Itu Bernama ‘Kenakalan Remaja’

Ilustrasi kekerasan di sekolah. I Freepik/rawpixel.com

MASAKINI.CO – Kenakalan remaja di Kota Lhokseumawe makin brutal. Dari aksi tawuran, penculikan, penganiayaan, dan pembegalan, bukan hal asing lagi bagi sebagian remaja di daerah berjuluk petro dolar itu.

Benda-benda seperti celurit, samurai, stik bisbol, dan senjata tajam lainnya jadi tentengan mainan baru untuk melakukan kejahatan di tangan sebagian remaja di sana.

Kasus terbaru, kelompok remaja bernama Geng Casper menculik serta melakukan penganiayaan terhadap seorang remaja warga Gampong Uteun Bayi, Kota Lhokseumawe.

Remaja itu awalnya diculik saat berada di rumah temannya. Lalu dibawa ke sebuah rumah di kawasan Gedong, Kecamatan Samudra. Di sana dia dianiaya sekelompok remaja. Handphone miliknya juga dirampas.

Lima pelaku kemudian ditangkap polisi. Usia mereka rata-rata belasan tahun. Polisi mempersangkakan kelimanya pasal 328 Jo Pasal 170 Jo Pasal 365 Jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun.

Fenomena kenakalan remaja yang menjurus kepada kriminalitas ini belakangan makin meresahkan masyarakat di Kota Lhokseumawe dan sekitarnya. Sosiolog Universitas Malikussaleh, Profesor Nirzalin mengungkap fenomena tersebut ekses dari faktor kemiskinan.

Dia menandai fenomena itu terjadi masif sejak tiga tahun belakangan. Menurutnya, kenakalan remaja di Lhokseumawe ini terjadi tak secara genuine atau alamiah, melainkan impor dari sub-kultur baru yang masuk melalui urbanisasi.

Pasca konflik Aceh, Kota Lhokseumawe tumbuh menjadi satu kota yang pertumbuhan ekonominya sangat signifikan, terutama yang berbasis lembaga pendidikan.

Itulah salah satu faktor pendorong migrasi besar-besaran warga dari daerah lain di Indonesia, terutama wilayah Sumatra, untuk berdomisili di Lhokseumawe. Namun, banyak di antara mereka yang datang itu berekonomi dan berpendidikan rendah.

Celakanya, kultur kenakalan remaja yang sebelumnya telah tumbuh di daerah asal para pendatang ini ikut dibawa. “Jadi kultur ini terimpor ke Lhokseumawe,” kata Nirzalin.

Faktor lain fenomena ini cepat berkembang biak di Lhokseumawe sebab adanya pancaroba mentalitas remaja. Masa remaja, kata Nirzalin, merupakan masa yang rentan dimana pada usia itu seseorang kerap mencoba sesuatu hal yang baru dan ingin menunjukkan eksistensi diri bahkan mencapai di luar batas kendalinya.

“Sehingga muncul mentalitas seorang remaja untuk bertindak dengan cara-cara kekerasan biar dianggap keren, ditakuti, disegani oleh yang seumuran dengannya,” ujarnya.

Menurut Nirzalin jangka pendek upaya memutus mata rantai kenakalan remaja ini pemerintah Kota Lhokseumawe perlu intensif bekerja sama dengan perangkat gampong untuk mengedukasi, memantau, khususnya remaja pendatang yang dibawa orangtuanya tinggal di kawasan-kawasan kumuh Lhokseumawe.

Jadi ketika mereka dilibatkan dalam ruang edukasi gampong itu, maka transformasi nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal di Aceh akan sendirinya mengubah perilaku buruk tersebut.

“Selama ini mereka tidak terkoneksi dengan kegiatan-kegiatan lembaga edukasi seperti di balee seumeubeut,” katanya.

Sementara jangka panjang, tutur Nirzalin, harus ada perhatian serius pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin, termasuk kepada para pendatang yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Fenomena ini harus segera ditangani. Jangan sampai akumulasi keresahan masyarakat berujung pada ‘pengadilan jalanan’ terhadap para generasi penerus bangsa itu. Aparat penegak hukum tak cukup hanya sekadar patroli dengan lebel ‘guantibmas.’ Perlu ada formula khusus yang lebih presisi. Mampu?

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist