Fenomena Gunung Es Picu Maraknya Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak

Ilustrasi: KDRT. | 9nong/Freepik

Bagikan

Fenomena Gunung Es Picu Maraknya Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak

Ilustrasi: KDRT. | 9nong/Freepik

MASAKINI.CO – Usai Cut Intan Nabila mengunggah rekaman video aksi KDRT di Instagramnya. Polisi bergerak cepat. Suaminya berhasil ditangkap.

Video yang diunggah selebgram asal Aceh 13 Agustus itu, seakan membuka jendela perjalanan panjang KDRT yang dialaminya. Keberaniannya menyingkap tabir membuat proses hukum berjalan cepat.

Armor Toreador ditangkap di sebuah hotel di daerah Kemang, Jakarta Selatan dihari yang sama. Ia diancam menetap di penjara 10 tahun setelah dijerat pasal berlapis.

Armor dijerat Pasal 44 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2004 terkait KDRT, Pasal 80 Nomor 35 Tahun 2014 terkait kekerasan terhadap anak serta Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Kasus ini menjadi alarm betapa rentannya kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk di Aceh.

Berdasarkan data yang tercatat di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, kasus kekerasan dari tahun ke tahun di Aceh cenderung meningkat. Sejak 2019-2023 angka kekerasan menyentuh seribuan.

Tahun 2023 lalu, DP3A mencatat sebanyak 1.098 angka kekerasan pada perempuan dan anak terjadi di Aceh. Dengan rincian terdapat 464 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan 634 kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) yang terlapor.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A, Tiara Sutari, menyebutkan jumlah kasus kekerasan pada perempuan diibaratkan seperti fenomena puncak gunung es.

Artinya, jumlah kasus yang terjadi sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.

Tiara menjelaskan melaporkan kasus kekerasan atau pelecehan seksual bukanlah hal yang mudah bagi korban. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya.

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari AR,S.STP

Seperti korban takut orang tidak percaya cerita mereka, ada ancaman dari pelaku hingga tak mendapatkan dukungan dari keluarga. Sehingga para korban lebih memilih bertarung dengan perasaan dan lukanya.

“Biasanya itu kerap terjadi di perdesaan, karena pihak desa akan menyelesaikan dengan Restorative Justice atau diselesaikan dengan kekeluargaan,” ujar Tiara.

Secara global, faktor kekerasan dalam rumah tangga karena masih melekatnya budaya patriarki. Laki-laki cenderung menempatkan dirinya sebagai raja sehingga mengesampingkan hak-hak perempuan.

Menurutnya, dalam kehidupan perempuan usia 15-64 tahun pasti pernah mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual dari pasangan, psikis dan verbal dalam hidupnya tanpa memandang status dan strata sosial.

Fenomena kekerasan ini terus meluas, terutama di daerah perkotaan. Studi menunjukkan bahwa hampir 4 dari 100 anak di Aceh pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun.

“Tak hanya anak perempuan, anak laki-laki juga kerap menjadi korban,” sebutnya.

Berkaca dari kasus Cut Intan, atlet anggar asal Aceh ini menimbulkan trauma yang luar bisa pada dirinya dan anak korban.

Anak terpaksa menyaksikan kekerasan yang dilakukan sehingga trauma psikologis yang mendalam dan berdampak buruk pada perkembangan fisik dan sosial.

Maka upaya pemulihan korban mesti dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak. Sosialisasi dan penyadaran publik juga perlu lebih digencarkan untuk meningkatkan literasi serta pemahaman masyarakat mengenai kekerasan pada perempuan.

Jangan sampai korban diabaikan dan disepelekan karena bakal berujung kepada kesehatan mental.

“Nah kami tidak bisa memaksakan korban untuk melapor, kita hanya membantu dalam pemulihan korban,” jelasnya.

Pemerintah Aceh telah melakukan berbagai upaya penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti sosialisasi, reformasi manajemen kasus, dan perbaikan sistem pelaporan.

Pada saat yang bersamaan disertai gerakan masif oleh berbagai stakeholder, terutama melalui gerakan pengembangan desa ramah perempuan dan anak maupun fasilitas lainnya.

“Nah jika masyarakat melihat ada perlakuan kekerasan dapat dilaporkan ke kami melalui nomor UPTD PPA di nomor 0811-6808-875,” sebutnya.

Pengabdi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Siti Farahsyah Addurunnnafis |Riska Zulfira/Masakini.co

Kompleksnya Tantangan

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Siti Farahsyah Addurunnnafis juga menaruh prihatin yang sama.

Menurut dia, penyelesaian kasus pendampingan KDRT sangat kompleks dan penuh tantangan.

Salah satu penyebab adalah masih tingginya budaya patriarki dan tak semua aparat penegak hukum memiliki perspektif gender yang baik. Kemudian diperparah dengan pencabutan laporan oleh korban.

“Biasanya pencabutan laporan karena banyak faktor, bisa karena masih bergantung pada laki-laki atau memikirkan kondisi anak,” katanya.

LBH Banda Aceh mencatat penanganan kasus kekerasan perempuan dan anak juga fluktuatif sejak lima tahun terakhir.

Pada tahun 2019 terdapat 25 jumlah kasus yang didampingi, 2020 ada 25 kasus, 2021 naik 40 kasus, 2022 turun 39 kasus dan 2023 kembali turun menjadi 30 kasus.

“Sejauh ini sistem patriarki jadi faktor utama, sementara perempuan lebih mengedepankan perasannya hingga berujung pencabutan laporan,” terangnya.

Sejauh ini, kata dia, wilayah Pidie dan Pidie Jaya masih menjadi daerah yang rawan kasus kekerasan. Dari data Komnas perempuan terdapat 515.466 kasus KDRT di Indonesia, 94 persen korbannya adalah istri.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist