MASAKINI.CO – Rentetan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin marak di Aceh. Kekerasan terhadap perempuan dan anak ini terjadi tak hanya saat adanya kekerasan dalam bentuk fisik, namun berkata buruk dan memarahi juga termasuk dalam kekerasan psikis.
Kasus-kasus kekerasan ini telah mewarnai sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Harusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak.
Tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan kekerasan membuat banyak kasus bisa terungkap dan jumlah laporan meningkat.
Tahun lalu, angka kekerasan di Aceh tembus sebanyak 1.098 kasus, dengan rincian ada 464 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan 634 kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) yang terlapor.
Namun apakah angka tersebut angka sebenarnya? Nyatanya tidak.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A, Tiara Sutari, jumlah kasus kekerasan pada perempuan diibaratkan seperti fenomena puncak gunung es.
Sebab, jumlah kasus yang terjadi sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Tiara menjelaskan melaporkan kasus kekerasan atau pelecehan seksual bukanlah hal yang mudah bagi korban. Butuh keberanian dan dukungan dari banyak pihak untuk mengungkap tabir kejahatan itu.
Padahal keberanian melaporkan kasus kekerasan adalah langkah awal yang sangat penting untuk melindungi korban dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.
Meski ada peningkatan kesadaran masyarakat dalam melaporkan kasus kekerasan, masih banyak kasus yang tidak terungkap karena korban atau saksi takut melaporkan.
Biasanya kondisi itu diakibatkan karena adanya tekanan sosial, rasa malu, anggapan kekerasan itu aib hingga kurangnya pemahaman tentang hak-hak korban.
Acap kali, stigma negatif terhadap korban kekerasan itu menyebar begitu cepat dalam lingkungan masyarakat. Harusnya masyarakat tak ikut-ikutan mengucilkan korban, malah tetangga atau orang terdekat memiliki peran untuk membuka tabir kekerasan ini.
“Orang terdekat atau tetangga harus berperan untuk melaporkan ke kami jika ditemukan adanya kekerasan yang terjadi,” ujar Tiara.

Dukungan Terhadap Korban
Dengan dukungan penuh dari masyarakat, diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh dapat terus ditekan, serta korban dapat memperoleh perlindungan dan keadilan yang mereka butuhkan.
Persoalan pencegahan dan perlindungan perempuan dan anak harus terus ditingkatkan, karena modus kejahatan yang semakin canggih akibat derasnya perkembangan teknologi informasi.
Menurut Tiara, DP3A Aceh telah menyediakan berbagai layanan pelaporan dan pendampingan bagi korban kekerasan, termasuk hotline pengaduan dan pusat layanan terpadu. Layanan ini dirancang untuk memudahkan korban melaporkan kejadian tanpa merasa terintimidasi.
Selain itu, DP3A Aceh juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian, lembaga bantuan hukum, serta organisasi non-pemerintah, untuk memastikan bahwa setiap laporan kekerasan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Kami tidak hanya menerima laporan, tapi juga mendampingi korban secara menyeluruh, ini adalah bentuk komitmen kami untuk melindungi perempuan dan anak di Aceh,” lanjut Tiara.
Tiara Sutari menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat luas.
Dengan melaporkan kekerasan, masyarakat telah berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi semua pihak, terutama kelompok rentan.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) para korban kekerasan dapat melapor melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
Disana para petugas akan menghubungi UPTD mana yang berkesinambungan dengan laporan masuk. Maka Tiara mengimbau kepada warga agar berani melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Karena kita di Aceh juga memiliki qanun nomor 11 tahun 2008,” pungkasnya.