MASAKINI.CO – Kasus pernikahan anak di Aceh kian marak terjadi. Alih-alih meringankan beban orang tua, perkawinan ini justru berpotensi mewariskan kemiskinan, terganggunya kesehatan reproduksi dan mental anak hingga berujung kekerasan dalam rumah tangga.
Tak dapat dipungkiri, pernikahan anak di bawah umur dinilai memiliki dampak negatif yang serius. Pemerintah terus mendorong upaya pencegahan pernikahan anak.
Dengan mengidentifikasi begitu banyaknya permasalahan yang akan terjadi, sudah sepantasnya praktik itu dilarang dilakukan. Jika tetap dibiarkan, dampak yang dirasakan korban akan terus berkembang dan tercipta lebih banyak dampak negatif.
“Karena mereka yang menikah belum dapat berfikir secara matang, sehingga sangat dilarang demi masa depan,” kata Plt. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Tiara Sutari di Banda Aceh, Kamis (10/10/2024).
Pelarangan pernikahan anak di Aceh didasarkan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, yang menetapkan batas usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan bahwa mereka mendapatkan pendidikan yang layak serta terbebas dari dampak buruk pernikahan dini.

Secara fisik, anak yang menikah di usia dini belum siap secara biologis, sehingga berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan.
“Maka tindakan ini sudah pasti mempengaruhi masa depan mereka,” ujar Tiara.
Perkawinan anak juga bisa terjadi karena banyak masalah-masalah sosial yang belum terselesaikan.
Penyebabnya, ada ketimpangan status gender di masyarakat yang merendahkan posisi anak perempuan. Hal ini akan mengakibatkan seorang anak perempuan sulit menolak keinginan orang tuanya yang mendorong mereka menikah dengan laki-laki.
Kemudian adanya faktor ketika orang tua menyegerakan anaknya untuk menikah dini, lantaran takut berzina di tengah maraknya pergaulan bebas. Padahal kondisi ini harus disikapi dengan bijak jangan sampai salah melihat akar masalahnya.
“Kadang kala media sosial itu juga dapat menjadi pemicu sehingga kekhawatiran orang tua juga datang dari itu,” terangnya.
Menurut Tiara, anak yang menjadi korban perkawinan kerap berasal dari keluarga ekonomi rendah.
Bahkan praktik perkawinan anak ini banyak terjadi di pedesaan dan daerah terpencil. Untuk Aceh sendiri, Kabupaten Subulussalam menjadi daerah yang rentan terhadap pernikahan anak usia dini.
“Pada tahun 2023, di Subulussalam tercatat 248 jumlah angka perkawinan anak, angka ini paling mendominasi dari total 23 kabupaten/kota,” sebutnya.
Kemudian disusul kabupaten Aceh Utara dengan catatan 231 jumlah perkawinan, dan posisi ketiga diduduki kabupaten Aceh Timur dengan jumlah perkawinan di bawah 18 tahun sebanyak 228 jumlah perkawinan.
Terlebih lagi, berdasarkan data yang dikeluarkan kantor wilayah Kementerian Agama Aceh, tercatat angka pernikahan dini mengalami lonjakan sejak empat tahun terakhir.

Pada tahun 2020, Kemenag mencatat ada 637 pernikahan anak yang terjadi. Kemudian tahun 2021 naik 730 pernikahan, 2022 terdapat 651 pernikahan dan 2023 tercatat 671 pernikahan anak.
Namun jika berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023, angka perkawinan anak di bawah usia 18 tahun mencapai 4.319 orang di Aceh.
Sejumlah penelitian menyimpulkan perkawinan anak adalah sumber dari berbagai masalah sosial di masyarakat. Sebab perkawinan anak menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian di masyarakat.
Dari jumlah putusan cerai talak dan gugat cerai yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh dari Tahun 2018-2023, angka perceraian tertinggi terjadi pada tahun 2022 dengan jumlah sebanyak 6.916 kasus.
Sedangkan pada tahun 2023 mengalami penurunan menjadi 6.091 kasus perceraian.
Alasan perceraian ini juga dilandaskan anak-anak tersebut belum matang secara fisik, mental, dan spiritual untuk mengemban tanggung jawab yang diperlukan dalam mempertahankan hubungan perkawinan.
Akhirnya kondisi ini berujung terhadap tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
“Mereka stres menghadapi kondisi itu, apalagi jika pasangan masih harus tinggal bersama orang tua,” terangnya.
Dengan demikian, pemerintah terus berupaya meminimalisir pernikahan anak terjadi di Aceh. DP3A Aceh terus mengedukasikan masyarakat supaya memikirkan masa depan anak-anak Aceh untuk tumbuh kembang dan fokus terhadap pendidikan.
“Ini yang kita gencarkan terus, Aceh butuh generasi cemerlang untuk bawa Aceh agar lebih baik,” pungkasnya.