Bulan Madu Tertunda di Bukit Soeharto

Sejoli menikmati makanan dengan panorama alam Aceh Besar. | foto: dok pribadi

Bagikan

Bulan Madu Tertunda di Bukit Soeharto

Sejoli menikmati makanan dengan panorama alam Aceh Besar. | foto: dok pribadi

MASAKINI.CO – Haikal dan Aida sudah sehari tiba di Banda Aceh. Mereka menunaikan bulan madu yang tertunda. Mumpung sedang senggang, keduanya memutuskan meninggalkan tempat asal, Aceh Barat Daya (Abdya).

Bulan madu versi mereka sederhana. Berwisata ke Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Pasutri ini mencari informasi dari Instagram dan TikTok. Satu konten lewat di beranda. Panorama laut dan rindangnya bukit, mengoda keduanya untuk bertandang.

Tempat yang dimaksud adalah Bukit Soeharto. Berada di Gampong Lamreh, Aceh Besar. Lepas zuhur, mereka bertolak dari Jeulingke. Selama di Banda Aceh, pasutri ini tinggal di rumah keluarga, yang hanya ditempati saat bertandang ke ibukota Aceh.

Jarak 49 Km ditempuh. Cuaca terik di langit Aceh, tidak meredupkan hasrat berwisata. Pukul 14.00 WIB, Haikal – Aida tiba di Bukit Soeharto. Setelah parkir mobil, langsung ke titik bukit tertinggi.

Hamparan laut biru mempesona pandangan. Hijaunya pepohonan membuat cuaca yang terik, terasa rindang. Keduanya tertegun, menyaksikan keindahan alam Aceh Besar yang menakjubkan dari ketinggian.

“Wah, luar biasa. Gak rugi kita kemari. Ternyata yang di konten dengan aslinya sama,” ucap Aida.

Baginya hal tersebut sesuatu. Sebab banyak objek wisata, seiring dengan masifnya branding dan promosi, keindahan di konten, mengundang kecewa secara realitas. Itulah mengapa, ia memilih Aceh untuk menikmati alam. Konon masih sangat alami.

“Sebenarnya lebih dekat ke Medan dari rumah kami, ketimbang ke Banda Aceh atau Aceh Besar. Cuma karena tujuannya keindahan alam, tetap ke Aceh. Ke Medan, surganya shopping. Beda keperluan,” akunya.

Panorama laut dan Pelabuhan Malahayati dari atas Bukit Soeharto, Lamreh, Aceh Besar. | foto: dok pribadi

Abdya ke Medan, 186 Km jarak tempuh. Sedangkan Abdya ke Banda Aceh, 279 Km perjalanan.

Haikal mengangguk, menjawab singkat. Tanda sepandangan dengan istri. Sejurus kemudian, gawai masing-masing dikeluarkan dari saku.

“Foto di sini,” pinta Istri.

Dengan sigap. Sebagai suami yang baik, Haikal mengikuti permintaan tersebut. Sejumlah pose istrinya, telah mengisi galeri gawai. Momen itu terasa istimewa karena perut buncit Aida.

Istrinya sedang mengandung calon buah hati pertama dari pernikahan mereka. Usia janin sudah berjalan tujun bulan. “Ini memang disempatkan untuk berlibur. Tak lama lagi, insyaallah akan lahiran,” ujar Haikal.

Keduanya terbilang sibuk. Sehari-hari, Haikal mencari rezeki dari usaha dagang tekstil. Sementara istrinya, berprofesi sebagai nakes. Maka berlibur, tidak pernah mudah ditentukan keduanya.

“Nanti kalau udah ada bayi, pasti tidak mungkin langsung jalan-jalan lagi. Berlibur seperti ini, juga bagian dari membahagiakan istri, yang sedang berjuang mengandung buah hati kami,” ungkapnya.

Mata telah termanjakan. Keduanya meninggalkan titik foto. Sekarang waktunya memanjakan lidah. Menganjal perut.

‘Sepasang’ kelapa muda telah tiba di mejanya. Lengkap dengan nugget dan kentang goreng. Segarnya air kelapa, meredakan dahaga di tengah cuaca terik. Mereka duduk di Zul Sunset.

Sembari mencicipi makanan, tempat makan mereka berhadapan dengan laut. Tembok dan bagunan besi Pelabuhan Malahayati terlihat gagah dari kejauhan. Menyempurnakan liburan dari bulan madu tertunda pasutri ini.

“Kami tidak menunggu sunset, langsung pulang,” ujar Haikal.

Pukul 17.00 WIB, mereka bergegas kembali. Ada pamali yang mereka jaga. Kata orangtua dulu, tidak baik ibu hamil pulang magrib.

Sebab itulah, mereka tak menunggu senja. Meskipun, senja di Bukit Soeharto sudah masyhur, temaram mengundang rindu untuk kembali.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist