MASAKINI.CO – Belum kering tinta ungu di jari kelingking Syamsiah setelah ia memberi hak suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 03 Gampong Pineung, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Rabu (27/11/2024) pagi.
Perempuan 57 tahun itu tak ingin buru-buru pulang. Ia duduk tak jauh dari TPS yang berada dalam kompleks Masjid Darul Falah. Seorang cucu perempuan menemaninya.
Syamsiah memperhatikan orang lalu-lalang datang ke TPS untuk mencoblos calon pemimpin mereka lima tahun ke depan pada Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada serentak 2024.
Dibalut kerudung warna merah jambu, wajah Syamsiah pagi itu tampak berseri.
βKami yang penting jangan ribut-ribut. Siapa pun yang memimpin nanti itulah yang terbaik bagi masyarakat,β katanya.

Harapan Syamsiah tak muluk-muluk. Nenek dari lima belas orang cucu itu cuma ingin Provinsi Aceh dan kota tempat tinggalnya kini, Banda Aceh, kedamaian terus bersemai.
Syamsiah mengaku pengalaman hidup di masa konflik yang terjadi hampir dua dekade lalu di Aceh masih membekas di ingatannya. Ia tak kuat dengan bunyi salak senjata. Apalagi dentuman keras bom.
Tapi dua bulan sebelum pencoblosan kepala daerah, trauma Syamsiah kembali diusik. Rumah Calon Gubernur Aceh nomor urut 1, Bustami Hamzah, diduga dilempar bom molotov oleh OTK.
Bustami tinggal di Gampong Pineung. Syamsiah salah satu tetangganya. Kejadian sebelum terang tanah pada Senin (2/9/2024), itu membangunkan kembali trauma masa lalu Syamsiah.
βPadahal saya selalu berharap Aceh ini terus damai dan aman,β ungkapnya.
Beruntung empunya rumah selamat. Istri Bustami, Mellani Subarni, saksi pertama yang menyaksikan jelaga masih panas menempel di dinding rumah, punya andil besar membangun narasi agar masyarakat tak panik menyikapi teror tersebut.
βKami tidak ingin menuding siapa pun pelakunya. Biar ini ranah polisi,β kata Mellani.
Lepas dari hari naas itu, ibu dua anak tersebut mengaku makin kuat. Ia setia menemani sang suami berkampanye ke berbagai daerah. Bertemu perempuan dan mendengar harapan mereka adalah dorongan besar baginya mau ikut turun ke masyarakat.
Mellani mengatakan dari semua daerah yang dikunjungi, perempuan selalu menyampaikan keinginan agar Aceh ke depan lebih baik. Khususnya pendidikan dan ekonomi keluarga.

Selama bersafari ia menyebar benih agar masyarakat mengedepankan politik santun. Menghindari hoaks dan umpatan kasar di media sosial. Pilkada hanya sementara, sedangkan tali persaudaraan selamanya tak boleh putus.
βPokoknya Pilkada ini dibawa fine-fine aja,β ujar Mellani tersenyum.
Peran perempuan dalam pesta demokrasi di Aceh memang bukan isapan jempol belaka. Ambil contoh, kerap kali jika ada pertemuan atau kampanye calon kepala daerah, mayoritas massa yang datang adalah kaum perempuan.
Bahkan berdasarkan data Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, dari 3,7 juta lebih Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Aceh 2024, pemilih perempuan tercatat paling dominan. Ada sebanyak 1.915.522 pemilih perempuan yang akan menentukan masa depan Aceh. Sedangkan laki-laki hanya 1.849.422 pemilih.
Sementara di Banda Aceh sendiri, tercatat ada 172.619 DPT. Sebanyak 90.040 pemilih itu adalah perempuan, sisanya 82.579 pemilih laki-laki.
Meski partisipasi paling tinggi, keterwakilan perempuan yang maju dalam Pilkada hanya ada empat orang di Aceh. Salah satunya Illiza Saβaduddin Djamal. Ia maju menjadi Calon Wali Kota Banda Aceh.
Tak mudah jalan bagi Illiza maju menjadi wali kota. Pro dan kontra soal pemimpin perempuan masih samar-samar mewarnai dinamika politik di daerah yang menerapkan hukum Syariat Islam itu, meski tak sederas Pilkada 2017 lalu.
Khairani Arifin, salah satu aktivis perempuan di Aceh, mengakui narasi anti-pemimpin perempuan masih merebak di Pilkada 2024. Narasi ini paling banyak muncul di media sosial.
Ia meminta semua pihak membuang cara-cara politik yang dinilainya diskriminasi itu.
Perempuan yang juga dosen di Universitas Syiah Kuala ini menyerukan seluruh calon kepala daerah dan tim suksesnya agar berkompetisi secara fair dalam Pilkada, tanpa harus melakukan politisasi agama untuk menjegal perempuan menggunakan hak politiknya.
βMemilih dan dipilih dalam Pilkada merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk perempuan Aceh,β tegasnya.
Meski menyadari masih ada, Illiza mengaku kini tak ambil pusing soal narasi anti-pemimpin perempuan itu. Ia meyakini pemilih di Banda Aceh makin paham untuk memilih pemimpin yang seperti apa yang mereka butuh.

Mengusung jargon βBanda Aceh Kota Kolaborasiβ ia mantap melangkah ke gelanggang Pilkada bersama Calon Wakil Wali Kota Afdhal Khalilullah.
βBanda Aceh harus menjadi patron, role model pembangunan kota terbaik di Aceh dan bahkan di Indonesia,β katanya.
Jika terpilih, pasangan ini berjanji fokus membenahi pelayanan dasar di Banda Aceh, memperkuat nilai-nilai agama dan budaya, pendidikan, kesehatan, memberdayakan perempuan, disabilitas, dan generasi muda.
Pekerjaan rumah ihwal masalah perempuan dan anak juga tantangan besar bagi IllizaΒ jika dipercaya memimpin kelak. Fakta yang tak bisa dielak bahwa sepanjang 2024—belum termasuk data November dan Desember, angka kekerasan perempuan dan anak di Serambi Mekkah menempatkan Banda Aceh lima besar tertinggi.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh menyatakan fenomena itu terus meluas, terutama di daerah perkotaan. Bahkan lembaga pendidikan agama seperti dayah (pesantren) yang sejatinya ruang aman yang jauh dari kekerasan, kini punya rupa yang sedang tercoreng.
Pasalnya beberapa kejadian kekerasan terhadap anak, terutama perempuan, terjadi di lingkungan tersebut.
Itu jugalah yang membuat Syamsiah was-was. Lima dari lima belas cucunya kini sedang menimba ilmu di dayah. Ia ingin masa depan cucunya lebih baik. Bahagia di dunia dan berharap mereka selamat di akhirat.
βKami orang miskin. Kasih mereka ke sekolah kami tidak mampu. Jadi lebih baik ke dayah,β ucapnya, mata Syamsiah tampak berkaca-kaca seraya melanjutkan, βSaya berharap pemimpin ke depan menyelesaikan masalah ini.β