Tsunami Aceh, dari Bencana ke Wisata Edukasi

Peneliti kebencanaan asal Argentina, Emiliano Rodriguez Nuesch bermain bola dengan remaja Lampuuk. | foto: Syah Reza/masakini.co

Bagikan

Tsunami Aceh, dari Bencana ke Wisata Edukasi

Peneliti kebencanaan asal Argentina, Emiliano Rodriguez Nuesch bermain bola dengan remaja Lampuuk. | foto: Syah Reza/masakini.co

MASAKINI.CO – Puluhan wajah asing mendominasi Gedung Balai Meuseuraya Aceh. Selama tiga hari, lebih 30 peneliti dari berbagai negara, mempresentasikan hasil risetnya di Banda Aceh.

Tsunami. Alasan mereka datang ke provinsi paling barat di Indonesia ini. Mereka disatukan dalam acara: 2nd UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium. Peneliti asal Argentina, Emiliano Rodriguez Nuesch satu diantaranya.

Dua bus warna hijau bertulis ‘pariwisata’, tiba di Masjid Rahmatullah, Lampuuk. Waktu tempuhnya, sekitar 20 dari jantung Banda Aceh. Sejumlah peneliti lintas negara, menapaki halaman masjid yang menjadi saksi dahsyatnya tsunami 2004.

Lima remaja sedang bermain bola di halaman masjid. Emiliano sumringah. Bergegas bergabung dengan remaja ini. Bola dioper kepada bule Argentina. Sejurus kemudian, Emiliano mendemonstrasikan kepiawaiannya men-judgling bola.

“Messi, Messi?” celetuk seorang remaja dengan polos.

“Yes, yes,” jawab Emiliano, singkat.

Generasi baru di Lampuuk tersebut, tidak tau bahwa pria yang bermain bola dengannya, senegara dengan Messi. Pertanyaan singkat itu, semata-mata karena keterbatasan bahasa asing.

Syah Reza yang sudah beberapa hari dipercayakan mendokumentasikan simposium tsunami, tidak ingin kehilangan momen. “Cekrak, cekrek,” shutter kameranya berbunyi.

Emiliano tahu dirinya sedang dalam bidikan lensa. Usai saling mengoper dan judgling bola, ia memanggil teman kecil barunya itu. Berdiri sebaris, mengarahkan gaya bersedekap dua tangan di dada. Gaya cool, foto mainstream laki-laki, telah terekam lensa.

“Dimana saya bisa mengambil foto? Via WhatsApp (WA) kah?” ujarnya, 13 November lalu.

Reza mengangguk. Membuka gawai, mem-barcode WA Emiliano. Bagi Reza, kesempatan bisa mengabadikan dua dekade peristiwa ‘smong’ atau ‘Ie Beuna’ sarat nilai. Portofolio sebagai fotografer kian bernilai. Jejaring internasional bertambah. Serta menjadi saksi, betapa seriusnya peneliti asing belajar dari peristiwa tsunami Aceh.

“Musibah tsunami di Aceh dua puluh tahun silam, diantara banyak hikmahnya, salah satunya, hingga kini banyak negara luar belajar sembari berwisata ke Aceh,” kata Reza kepada masakini.co.

Setelah mengabadikan momen Emiliano. Reza beranjak ke tempat wudhu. Ia terkesan, sejumlah peneliti yang berbeda iman, terlihat menjunjung tinggi toleransi.

Peneliti internasional menyimak penjelasan persitiwa tsunami di Masjid Rahmatullah, Lampuuk. | foto: Syah Reza

“Saya melihat sejumlah peneliti asing membasuh wajah di tempat wudhu. Meski mungkin mereka tidak meniatkan wudhu. Sebelum masuk ke dalam masjid,” jelasnya.

“Sementara beberapa peneliti perempuan, dari Cina, Jepang, hingga Rusia, dengan kesadaran sendiri tiba-tiba mengambil kain penutup rambut/kepala,” aku Reza.

Setelah beberapa menit di dalam Masjid Rahmatullah. Warga mancanegara tersebut, menuju bagunan di samping masjid. Yaitu Galery Tsunami Lampuuk.

Dua pemandu, perempuan paruh baya dan seorang laki-laki dengan usia sekitar 50 tahun, memimpin dua kelompok.

Pemandu perempuan menjelaskan peristiwa tsunami 20 tahun lalu, kepada peneliti asing perempuan. Gurat kesedihan tak mampu ia sembunyikan. Perlahan, air matanya menetes. Ia terkenang, buah hatinya, tergulung bencana dahsyat tsunami.

Sedangkan peneliti laki-laki, mendapatkan penjelasan dari pemandu laki-laki. Foto Masjid Rahmatullah sebagai satu-satunya bagunan yang tersisa di Lampuuk saat tsunami, dari dalam bingkai menambah kesenduan suasana.

“Saya melihat tatap kosong dari peneliti asing, manakala mendengarkan peristiwa tsunami di Lampuuk. Di dalam galery, suasana lirih,” pungkas Reza.

Sementara itu, dalam rangka peringatan 20 tahun tsunami, Disbudpar Aceh mengajak siapa saja untuk menyaksikan pameran dengan tema: Kemitraan yang Tangguh.

Pameran ini berlangsung hingga pertengahan 2025 di Museum Tsunami Aceh. Diselenggarakan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau USAID.

Visual, artefak, dan elemen interaktif menjadi suguhan utama. Menjadi medium refleksi bersama, dengan sejumlah ilmu yang dapat diserap.

“Kami mengajak generasi muda dan semua warga Aceh serta wisatawan menyaksikan pameran ini sebagai edukasi, sebagai pengingat bahwa Aceh pernah dilanda tsunami,” ajak Kadis Budpar Aceh, Almuniza Kamal.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist