MASAKINI.CO – Jarum jam menunjukkan pukul 20.35 WIB. Enam pesepakbola FC Bekasi City baru tiba di Bara Kopi. Tidak jauh dari Jembatan Pango, Banda Aceh.
“Jauh-jauh ke Aceh, nggak sah kalau nggak minum kopi,” ucap Maring.
Mereka sedang mengantri, melihat daftar menu. Memilih kopi sesuai selera masing-masing. Setelah membayar, setengah lusin sekawan ini memilih tempat duduk di bagian belakang.
Sekitar 10 menit kemudian. Pesanan kopi mereka tiba di meja. Diantarkan pramusaji. Pesepakbola FC Bekasi ini, berasal dari provinsi berbeda. Dari NTT, Sumatra Utara, pun Jawa Timur.
“Sruppp,” bunyi seruput kopi dari bibir Maring.
Matanya tak bisa menyembunyikan kebahagian. “Beuh, top!” akunya singkat. Dia satu-satunya yang memesan kopi panas. Sedangkan lima temannya yang lain, memesan kopi dingin.
Sejurus kemudian, riungan pesepakbola tersebut membahas pengalaman ngopi. Yasvani, bek kanan FC Bekasi adalah anak Aceh. Ia banyak menjelaskan tentang kopi Aceh, dengan bekal pengetahuan kultural.
“Kalau enggak enak kopinya, bukan Aceh namanya. Surganya kopi ini, bos,” timpal Yasvani.
Itu menjadi kali perdana selama berseragam FC Bekasi, Yasvani menjadi tour guide kuliner dadakan untuk kolega setimnya.

Teman-temannya bersaksi. Selama di tim, Yasvani juga sering mendemonstrasikan cara menyeduh kopi manual. Bubuk kopi arabika, ia bawa dari Aceh.
“Kami sering ke kamar Yasvani, hanya untuk minum kopi Aceh. Kalau dia yang buat, beda rasanya,” sebut Heri.
Bek berpostur tegap asal Jatim itu. Beberapa kali mengulang kalimat. Bahwa untuk harga yang sangat terjangkau, kopi Aceh kelewat enak.
“Ini kalau minum di Starbuck, udah seratusan mungkin. Kopi ini enak betul, strong-nya dapat,” ujarnya.
Di tengah obrolan, perut Maring keroncongan. Ia meminta Yasvani untuk mencarikan Mie Aceh. Kebetulan, di Bara Kopi, tidak dijual.
Yasvani sigap. Ia beranjak ke Lampineung untuk membeli Mie Aceh setelan goreng basah di BMW, depan Hermes Hotel.
Hampir setengah jam Yasvani pergi, lalu kembali. Sebungkus Mie Aceh langsung dibuka dan dimakan Maring.
“Memang beda makan Mie Aceh langsung makan di Aceh,” tutur Maring.
Sejurus kemudian, beberapa kali ia minum air putih. Diakuinya, malam itu Mie Aceh yang ia makan, terasa sedikit lebih pedas.
“Ini agak pedas, rasa rempahnya kuat, tapi gurih,” akunya.
Bagi Maring. Itu kali perdana ia away ke Banda Aceh. Pengalaman bisa mencicipi kuliner khas Aceh, meninggalkan kesan tersendiri bagi anak NTT tersebut.