MASAKINI.CO – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengungkapkan dugaan kuat adanya masalah serius dalam pengadaan alat peraga dan praktik sekolah (mobile/meubelair) yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh pada Tahun Anggaran 2019.
Berdasarkan analisis dokumen yang dilakukan MaTA, pengadaan yang bersumber dari APBA Perubahan 2019 ini melibatkan empat penyedia, yaitu PT Astra Graphia Xprins Indonesia, PT Karya Mitra Seraya, PT Apsara Tiyasa Sambada, dan PT Tri Kreasindo Mandiri Sentosa.
Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan pihaknya sejak awal sudah memperingatkan Pemerintah Aceh agar tidak membayar paket tersebut tanpa audit terlebih dahulu, mengingat adanya indikasi konflik kepentingan di level gubernur saat itu.
Pada tahun 2020, Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rahmat Fitri mengajukan permohonan kepada Sekda Aceh untuk membayar tunggakan senilai Rp95,3 miliar.
“Dugaan kuat Kadis pendidikan mendapatkan tekanan dari gubernur saat itu, namun tunggakan ini batal dibayarkan,” ujar Alfian.
Fakta lainnya, berdasarkan Pergub Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020 (refocussing), terdapat peningkatan signifikan pada belanja modal untuk pengadaan alat peraga atau praktik sekolah.
Dalam APBA 2020 semula hanya dialokasikan Rp1,2 miliar, namun pada penjabaran APBA Perubahan 2020 jumlahnya meningkat menjadi Rp103,7 miliar.
“Penambahan anggaran ini diduga kuat akan digunakan untuk membayar paket pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu,” ucapnya.
MaTA menduga bahwa meskipun pekerjaan tersebut belum selesai tepat waktu pada saat itu, Dinas Pendidikan Aceh berencana tetap membayar kepada penyedia.
Dugaan ini diperkuat oleh Laporan Review Inspektorat Aceh. Berdasarkan laporan review Inspektorat Aceh Nomor 700/034/LHR/1A-IV/2024 tertanggal 27 Mei 2024, sisa pembayaran pengadaan disebut mencapai Rp44,39 miliar, termasuk bunga sebesar Rp10,6 miliar.
Laporan ini diduga akan digunakan untuk membenarkan pembayaran pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu.
Padahal, sesuai Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pembayaran kepada penyedia yang gagal menyelesaikan pekerjaan tidak dapat dilakukan.
Oleh karena itu, Alfian meminta Penjabat Gubernur Aceh memastikan tidak ada pembayaran terhadap pengadaan bermasalah ini.
“Kebijakan pembayaran ini seolah menjadi ‘lahan’ bagi oknum bermental korup. Kami mendesak audit investigasi dilakukan terhadap pengadaan ini agar tata kelola anggaran di Aceh lebih transparan dan sesuai aturan,” katanya.
Selain itu, MaTA mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk menyelidiki motif di balik laporan review Inspektorat Aceh yang mendukung pembayaran anggaran bermasalah tersebut.
“Ini harus menjadi catatan penting bagi gubernur terpilih nanti untuk membersihkan birokrasi Aceh dari potensi korupsi. Hanya dengan tata kelola pemerintahan yang bersih, pembangunan Aceh ke depan bisa lebih efektif dan berkualitas,” tutup Alfian.