MASAKINI.CO – Pemerintah Aceh meresmikan Instalasi Rehabilitasi Terpadu Kuta Malaka milik Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, Rabu (16/4/2025).
Instalasi Rehabilitasi Terpadu Kuta Malaka ini hadir sebagai langkah nyata meningkatkan layanan kesehatan jiwa yang inklusif dan berkelanjutan.
Peresmian dilakukan oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang diwakili oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Aceh, Muhammad Nasir.
Instalasi Rehabilitasi Terpadu Kuta Malaka Rumah Sakit Jiwa Aceh, sebuah rumah baru bagi mereka yang selama ini hanya dikenal lewat stigma ‘tidak waras’.
Nasir menyampaikan bahwa kehadiran Instalasi Rehabilitasi Terpadu ini merupakan jawaban atas tantangan besar dalam penanganan pasca-rawat bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Dia menyebut Pemerintah Aceh memandang bahwa kesehatan jiwa merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan sektor kesehatan.
“Masa pasca-rawat justru menjadi fase krusial, karena banyak tantangan yang dihadapi oleh ODGJ dan keluarganya, termasuk stigma dari masyarakat dan kurangnya pemberdayaan,” katanya.
Nasir mengatakan jika instalasi rehabilitasi ini akan menjadi pusat pelayanan yang tidak hanya fokus pada terapi medis, tetapi juga pemulihan psikososial, pengembangan keterampilan, dan peningkatan kemandirian pasien.
Sementara itu, Direktur RSJ Aceh, dr. Hanif, menjelaskan lahan seluas 26 hektar milik RSJ Aceh yang semula direncanakan sebagai pusat layanan rumah sakit, kini difokuskan sebagai pusat rehabilitasi terpadu sesuai RPJM 2025–2030.
“Awalnya ini dirancang sebagai rumah sakit umum untuk layanan kesehatan jiwa. Tapi sekarang diarahkan menjadi tempat rehabilitasi terpadu. Selain ODGJ yang sudah sembuh klinis, nanti korban Napza juga akan direhabilitasi di sini,” ujarnya.
Ia menuturkan bahwa sejumlah instansi telah memberikan dukungan dalam pengembangan fasilitas ini. Misalnya, Dinas Pertanian memberikan traktor, Dinas Peternakan dan Energi memberikan lampu penerangan dan bibit tanaman.
“Pasien kami tanam sayur, hasilnya mereka jual. Uangnya mereka pakai untuk belanja ke rumah sakit, minum kopi, beli baju. Ini bentuk pemberdayaan nyata,” ungkapnya.
Namun, Hanif juga mengakui tantangan dalam merawat ODGJ masih besar, terutama karena stigma sosial dan keterbatasan ekonomi keluarga.
“Kadang orang tua mereka sudah meninggal, dan keluarga tidak sanggup merawat. Bahkan, ada anggapan bahwa kehadiran mereka mengganggu ketenangan kampung. Kami merasa bahwa kamilah yang harus menjaga mereka,” katanya.
Data Rumah Sakit Jiwa Aceh menunjukkan terdapat sekitar 22 ribu kasus gangguan jiwa di Aceh, dengan lebih dari 50 persen tergolong berat. Hal ini menjadi dasar pentingnya pusat rehabilitasi seperti di Kuta Malaka.
“Kami sadar fasilitas di kabupaten/kota masih terbatas. Karena itu, kami sampaikan kepada bupati dan wali kota, kalau dibutuhkan, kami siap membantu,” pungkasnya.