MASAKINI.CO – Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil Arista menyoroti realitas buruh di Aceh yang kerap luput dari perhatian. Ia menilai saat ini standar pendapatan buruh belum merata ditambah ketimpangan psikologis sosial di masyarakat.
Menurutnya, banyak pekerja di sektor informal, terutama di wilayah pedesaan, menggantungkan hidup dari lahan orang lain. Akibatnya, mereka tak tercatat sebagai pemilik aset dalam data statistik, sehingga angka kemiskinan tetap tinggi meski mereka bekerja setiap hari.
“Banyak dari mereka bekerja di lahan yang bukan milik sendiri, sehingga saat dilakukan pendataan angka kemiskinan tetap tinggi,” kata Khairil, Jumat (25/4/2025).
Ia juga menyinggung kondisi pekerja di Banda Aceh, di mana sekitar 50 persen adalah pekerja kantoran, sementara sisanya merupakan buruh kasar dan masyarakat miskin kota yang suaranya kian jarang terdengar.
“Biaya hidup tinggi, tapi masih ada office boy yang digaji di bawah UMR. Di sinilah negara harus hadir,” tegasnya.
Lebih lanjut, Khairil meminta pemerintah tidak bersikap diskriminatif dalam membuat kebijakan ketenagakerjaan. Ia menekankan pentingnya pembukaan lapangan kerja dan penghentian pemecatan sepihak.
“Sering kali pabrik diminta memprioritaskan tenaga lokal, namun lulusan sarjana enggan kembali ke kampung halaman, sementara mayoritas penduduk sekitar hanya berpendidikan SMA,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat Politik dan ekonomi, Dr. Taufiq A. Rahim menegaskan bahwa pentingnya peran legislatif dalam mengawal kesejahteraan buruh. Ia mengkritik relasi yang terlalu dekat antara pemilik modal dan pembuat kebijakan, yang menyebabkan buruh semakin tidak dilindungi.
“Yang makan gaji negara mestinya yang mengawal rakyat, bukan sebaliknya,” ucap Taufiq.
Ia menyebut kesejahteraan buruh di Aceh bukan hanya soal angka UMR, tapi juga soal akses terhadap kehidupan yang layak. “Sayangnya, praktik politisasi anggaran membuat hak-hak dasar buruh semakin kabur dalam arena politik,” tutup Taufiq.