MASAKINI.CO – Dua dekade setelah penandatanganan perjanjian damai Aceh, korban dan keluarga korban konflik bersenjata di Aceh masih belum merasakan pemulihan trauma maupun pemberdayaan ekonomi yang memadai. Salah satunya dialami Muhammad Syukur (40), korban penembakan Tragedi Simpang KKA tahun 1999, yang kini mengalami gangguan kejiwaan.
Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA), Murtala, menaruh harapan besar berharap pemerintah provinsi dan pusat memberikan penanganan khusus serta memastikan keadilan bagi korban.
Muhammad Syukur menjadi salah satu dari ratusan korban penembakan 3 Mei 1999 di Simpang Kertas Kraft Aceh. Saat itu ia masih berusia 14 tahun dan tengah menimba ilmu di salah satu dayah di Kecamatan Sawang, Aceh Utara.
Tembakan di bagian perut membuatnya harus dirujuk ke RS Zainal Abidin Banda Aceh. Meski selamat, kondisinya tak pernah pulih sepenuhnya dan ia mengalami gangguan mental hingga kini. “Sampai sekarang keluarga belum saya belum melupakan insiden itu, dan apa yang terjadi kepada anaknya,” ujarnya.
Menurut Murtala, kisah Muhammad Syukur hanya satu dari banyaknya cerita korban konflik Aceh yang hidup dalam bayang-bayang kekerasan masa lalu. Ia menilai selama 20 tahun damai, hampir tidak ada program pemulihan trauma dan pemberdayaan ekonomi yang benar-benar menjangkau korban.
“Sudah 26 tahun kami menanti keadilan, tetapi nyaris tidak ada yang mendengar. Kebutuhan korban bukan hanya ekonomi, tetapi juga pemulihan trauma dan proses peradilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Tragedi Simpang KKA menewaskan 21 warga sipil dan melukai 146 lainnya. Pada Januari 2023, pemerintah Indonesia mengakui peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, bersama tiga peristiwa lain di Aceh: Rumoh Geudong dan Pos Sattis Pidie (1998), serta Jambo Keupok Aceh Selatan (2003).
Namun, pengakuan itu belum diikuti langkah nyata yang memadai. Menurut Murtala, Aceh tidak memiliki rencana induk pemulihan korban konflik. Ia mendorong pemerintah menyediakan anggaran khusus untuk pemulihan psikologis, pemberdayaan ekonomi, serta pembangunan ruang memorial di lokasi peristiwa berdarah sebagai pengingat kolektif.
“Tanpa pemulihan, korban akan terus memandang pemerintah sebagai pihak yang abai dan membiarkan impunitas pelaku,” kata Murtala.