Urban Farming di Jantung Kutaraja

Kebun di tengah kota Banda Aceh, Urban Farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

Bagikan

Urban Farming di Jantung Kutaraja

Kebun di tengah kota Banda Aceh, Urban Farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

MASAKINI.CO – Seorang perempuan berkacamata, umur dua puluhan tahun sedang memasukkan pupuk kompos ke dalam polybag saat saya berjalan mendekat. Ia menghentikan aktivitasnya, bertanya “ada yang bisa dibantu, kak?” ujarnya tersenyum.

Di atas kepalanya bergelantungan buah gambas. Di sisi kanannya, pipa-pipa paralon bolong berisi air berderet, beberapa benih kangkung tampak mulai tumbuh.

Tiga meter dari tempatnya berdiri, berbagai jenis sayuran dan buah-buahan tumbuh. Pisang, pepaya, terong, basil, selada, bunga telang, bunga matahari, juga kelor.

Berbagai hasil tanaman di urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)
Berbagai hasil tanaman sayur di urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

Lokasi perkebunan kali ini berbeda. Letaknya di tengah kota, tepat dari lorong samping sekolah Methodist Banda Aceh, lurus menuju ujung jalan sebelah kiri. Tiba di kanan jalan, berdiri tembok putih setinggi 5 meter. Menutupi habis seluruh area perkebunan.

“Ini bukan lahan pertanian, kalau dikeruk 30-40 sentimeter itu masih semen. Dulu, ini pabrik genteng,” ujar Henny Cahyanti, perempuan Jawa berdarah Cina, pengelola tempat ini.

Bulan Ramadan tahun lalu, Henny masih ingat betul, stok makanan dan sayur-mayur di pasar menipis. Ia sadar selama ini pasar-pasar di Banda Aceh bergantung pada pasokan dari Berastagi, Sumatera Utara.

Tanaman bunga di urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)
Tanaman bunga di urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

Awalnya, pertanian di daerah perkotaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan urban farming ini hanya ia lakukan bersama beberapa temannya yang punya lahan di rumah. Lalu, bersama rekan-rekan dari Yayasan  Sumber Utama (yayasan yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan), Henny menyewa tanah milik tuha peut (pengawas kinerja pejabat kampung di Aceh) setempat untuk ditanami.

Lahan tersebut kemudian mereka namai KamiKITA. Kata henny, filosofinya sederhana, kami tanam kita makan. Henny bertekad tidak ada lagi masyarakat yang menganggap sayur mahal.

Di kamiKITA, sayuran dapat ditukar dengan berbagai jenis sampah mulai dari botol plastik, baju bekas, spanduk, pintu, jendela, kayu, daun, dahan, ranting, hingga ampas kopi.

Yayasan Sumber Utama yang menyewa lahan di BAnda Aceh untuk urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)
Yayasan Sumber Utama yang menyewa lahan di BAnda Aceh untuk urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

“Yang sekarang sedang kita galakkan ampas kopi. Yang bisa menyembuhkan tanah itu nitrogen, dapatnya dari kotoran hewan dan ampas kopi,” ujarnya sembari mengkalkulasi ratusan warung kopi di Banda Aceh, yang bisa menghasilkan ampas kopi.

Henny mengajak saya berkeliling. Tiba di sisi kanan kebun, empat sarang lebah dari kayu berdiri berjarak. Tidak jauh dari sana, bunga ‘air mata pengantin’ bergelantungan di bambu-bambu penyangga. “Ini kesukaan lebah-lebah. Kita budidaya lebah juga untuk penyerbukan,” ucap Henny.

Kicauan burung menghentikan langkahnya, ia menunjuk ke langit “aku seneng banget dengar suaranya, enggak ada loh kayak gini di tengah kota,” selorohnya.

Lorong menuju kebun urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)
Lorong menuju kebun urban farming KamiKITA. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

Lahan pertanian, warung kopi bebas rokok, bengkel daur ulang, dan lapangan basket ada di atas lahan seluas 50 x 30 meter ini. Di sudut belakang, terdapat lahan pembuatan pupuk kompos. Tumpukan kayu dan dedaunan pemberian warga sekitar dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh kemudian diproses untuk dijadikan pupuk organik.

“Semua di sini berbasis organik, kita buat pupuk sendiri, pestisida juga sendiri,” kata Henny.

Di tengah obrolan, seorang laki-laki paruh baya bergabung. Namanya Edi Suranta Ginting. Kata Henny, Edi adalah otak dibalik urban farming KamiKITA, sementara dia adalah supporter.

Pengelola urban farming KamiKITA sedang mengolah pupuk untuk tanaman. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)
Pengelola urban farming KamiKITA sedang mengolah pupuk untuk tanaman. (foto: masakini.co/Missanur Refasesa)

Berasal dari keluarga petani, Edi ingin mengembalikan hasil pertanian organik dan tidak mengandung zat-zat kimia untuk bisa dikonsumsi oleh banyak orang. “Kita berusaha untuk tidak bergantung ke bibit pabrikan. Sejak Orde Baru bibit itu direkayasa genetik sehingga tidak bisa menghasilkan bibit baru. Jadi sekarang kita usaha balikin, pakai bibit sendiri,” ucap Edi.

Terbukti, sejak awal lahan dibuka untuk ditanami, mereka menerima bibit pemberian warga sekitar lalu kemudian dibudidayakan. Salah satunya biji bunga matahari. Puluhan bunga matahari yang saat ini tumbuh awalnya berasal dari lima biji bunga matahari yang diberikan warga.

Kini, biji-biji tersebut juga mereka tanami menjadi microgreen sunflower, tumbuhan kecil dengan nutrisi berlipat dan menjanjikan secara ekonomi.

Pengunjung yang datang dan membeli sesuatu dari kebun KamiKITA tidak akan diberikan plastik untuk wadah belanjaan. Sayuran dibungkus menggunakan koran atau pengunjung membawa kantong belanjaannya sendiri. “Sederhana, kita cuma mau semua kembali ke alam,” tutur Henny mengakhiri obrolan kami sore itu di pertengahan Oktober 2021.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist