MASAKINI.CO – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyebutkan angka konflik satwa liar dengan manusia terus meningkat dari tahun ke tahun di Aceh.
“Konflik dengan satwa sering terjadi di wilayah Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya paling tinggi konflik satwa gajah,” kata Seksi wilayah II BKSDA Aceh, Hadi Sofyan, Jumat (24/1).
Data BKSDA menunjukkan kasus konflik dengan gajah tertinggi tahun 2017 mencapai 103 kasus, penurunan terjadi tahun 2018 menjadi 73 kasus.
Namun, pada tahun 2019 kasus konflik dengan gajah kembali meningkat sebanyak 90 kasus. Kenaikan juga terjadi terhadap kasus konflik dengan harimau.
Data menunjukkan pada tahun 2018 terjadi sebanyak sembilan kasus dan ditahun 2019 meningkat sebanyak dua kali lipat menjadi 18 kasus konflik.
Data juga menunjukan kenaikan jumlah konflik dengan orangutan pada tahun 2018 ada 23 kasus dan tahun 2019 sebanyak 42 kasus.
Menurut Hadi, konflik tersebut terjadi dikarenakan beberapa sebab seperti satwa yang keluar dari habitatnya, serta pembukaan lahan baru yang terus dilakukan secara masif.
“Ada juga beberapa kasus yang habitatnya berada di kawasan hutan tetapi di luar SM (Suaka Margasatwa) Rawa Singkil. Biasanya ada yang terisolir dengan perkebunan sawit makanya terjadi konflik,” katanya.
Mencegah terjadinya konflik satwa, BKSDA Aceh membangun Conservation Respon Unit (CRU), memasang GPS collar pada gajah, menanam komoditi pangan yang tidak disukai satwa, serta membuat barier penghalau gajah masuk ke pemukiman.
Contracting Officer Representative USAID Indonesia, Amin Budiarjo menegaskan dalam sepuluh tahun terakhir peningkatan konflik terjadi signifikan dan merugikan masyarakat baik itu nyawa maupun ternak dan hasil panen.
“Sehingga ini menjadi masalah yang serius kalau tidak diantisipasi,” katanya.
Menurutnya, Konflik tersebut terjadi akibat terjadinya tabrakan antara jalur satwa dengan kegiatan ekonomi seperti perkebunan, perumahan ataupun kegiatan industri lainnya.
“Intinya sih, hewan ada lebih dulu jadi alam ini rumah hewan duluan, kumpulan gajah itu terus bergerak begitu juga harimau tapi di sisi lain kegiatan pembangunan, kegiatan ekonomi yang terus diekspansi seperti peningkatan jumlah penduduk, pertambahan lahan perkebunan,” kata Amin.
Ia menyebutkan, masalahnya ini tidak cukup menjadi perhatian pemerintah daerah, apalagi di Aceh ini lumayan jauh antara pusat pemerintahan dengan lokasi-lokasi konflik di daerah.
“Sehingga perlu kerja bareng-bareng dengan masyarakat di desa, organisasi non-pemerintah, pemerintah daerah ataupun dengan unit-unit di bawah KLHK,” lanjutnya.
Amin menjelaskan program Masyarakat Desa Mandiri (MDM) dengan membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam menangani konflik satwa, bisa menjadi salah satu solusi untuk menekan angka konflik dengan satwa liar.
“Intinya sih MDM bagaimana membuat masyarakat di desa untuk bisa menyiapkan antisipasi supaya satwa liat itu tidak masuk atau mengganggu kegiatan masyarakat desa,” kata Amin.[Ahlul Fikar]