MASAKINI.CO – Hukuman 5 tahun penjara terhadap tiga warga Aceh dan satu warga Rohingya usai terbukti dipersidangan menyelundupkan 99 pengungsi Rohingya pada 2020 lalu, dinilai banyak pihak sangat berat bagi mereka.
Vonis itu dinilai juga akan berdampak ke komunitas nelayan kecil di Aceh. Kelak, nelayan enggan menolong pengungsi dari manapun yang terombang-ambing di laut karena takut diproses hukum.
Anggota DPD RI asal Aceh, Muhammad Fadhil Rahmi mengatakan hukuman 5 tahun plus denda 500 juta terlalu berat bagi para nelayan itu.
Dia menyebut, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penegak hukum, senator Aceh yang akrab disapa Syech Fadhil itu berharap penegak hukum untuk melihat sisi-sisi lain agar menjadikan kasus ini lebih bermartabat.
“Faisal itu kan pion terdepannya. Bidaknya, bantengnya, menterinya, rajanya mana? Itu secara pelanggaran hukum,” katanya dalam diskusi publik secara virtual bertajuk “Vonis Penjara Nelayan Aceh: Penyelundupan atau Kemanusiaan?”, yang digelar International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), pada Kamis (1/7/2021) kemarin.
Dia melihat dalam kasus tersebut ada kekosongan hukum sehingga nantinya akan berupaya mendorong ada regulasi konkret pada tingkat nasional.
Rima Syahputra dari Geutanyoe Foundation juga sependapat dengan Syeikh Fadhil bahwa hukuman 5 tahun untuk komunitas nelayan kecil tersebut sebagai hukuman yang berat.
Putusan itu mengingatkannya dengan kasus serupa menimpa nenek-nenek yang mencuri kayu dari perkebunan dan dihukum 2 tahun.
“Kalau dari sekedar perspektif hukum yang sempit, tentu saja perbuatan melanggar tersebut harus dihukum setimpal. Tapi jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, ada konteks disitu yang bisa meringankan,” katanya.
Sementara itu, Hendra Saputra dari KontraS Aceh, mengemukakan pendapat nelayan Aceh perlu diperkuat dan dibantu mengantisipasi dari dampak kasus yang menimpa Faisal Cs ini.
Supaya kekhawatiran atau keengganan nelayan untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya di tengah laut pada masa-masa mendatang, itu tidak terjadi.
“Pada saat ada nelayan yang menyelamatkan pengungsi di tengah laut, hati-hati anda akan di-Faisal-kan (merujuk nama nelayan yang dihukum),” katanya.
Dia juga berharap supaya ke depan ada koordinasi yang lebih aktif antara nelayan dan lembaga Panglima Laot.
Muhammad Yakub dari Fakultas Hukum USK berpendapat penyelundupan manusia tidak bisa dilepaskan dari isu pengungsi. Ia memandang bahwa antara penyelundupan dan kemanusiaan ini saling berkaitan dan sulit dilepaskan.
Dia melihat stakeholder hukum menimbang banyak aspek termasuk kemanusiaan, tapi hukum memang saklek, hitam di atas putih.
Ia melihat stakeholder hukum terkurung dalam pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Namun Muhammad Yakub berharap ada aspek lain yang lebih dominan dan membuka pandora pasal 120 tersebut untuk menjadi pertimbangan stakeholder hukum dalam proses hukum tingkat berikutnya, dengan tidak saja melihat aspek positivistik.
Direktur Eksekutif ICAIOS Cut Dewi mengatakan, acara diskusi itu untuk merespon isu terkini di Aceh atau Indonesia dalam bingkai akademis sebagai proses belajar dan juga mendorong kebijakan publik yang lebih baik.
Salah satu luaran dari diskusi ini adalah usulan untuk penguatan regulasi baik pada tingkat nasional atau daerah, seperti adanya Undang-Undang dan Qanun yang khusus mengurus pengungsi.
Reporter: Ali L