MASAKINI.CO – Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, dianugerahi penghargaan sebagai Tokoh Perdamaian USK Award yang diselenggarakan oleh Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Kamis (10/2/2022).
Apresiasi tersebut merupakan penghargaan dari kampus USK atas personal yang telah berjasa mewujudkan dan menjaga perdamaian Aceh.
“Ini yang pertama kali USK menganugerahkan tokoh perdamaian. Mudah-mudahan apa yang kami anugerahkan dan Wali Nanggroe menerimanya, menjadi contoh bagi kita semua. Agar kita, khususnya orang Aceh terus menjaga perdamaian,” kata Rektor USK Prof Samsul Rizal.
Dalam sambutannya usai menerima penghargaan tersebut, Tgk. Malik mengatakan bahwa tokoh kunci terwujudnya perdamaian di Aceh tidak lain adalah almarhum Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Tgk. Hasan Muhammad di Tiro.
“Karena atas dasar persetujuan beliau lah MoU Helsinki antara GAM dengan Pemerintah RI 15 Agustus 2005 silam bisa terwujud,” kata Tgk. Malik.
Wali Nanggroe Aceh yang ke 10 tersebut juga mengingatkan, MoU Helsinki merupakan kehendak bersama kedua belah pihak, yaitu GAM dan Pemerintah RI, dimana dunia internasional menjadi saksi saat penandatanganannya.
MoU Helsinki menjadi legal standing Aceh, sekaligus starting point menuju kemakmuran dan kesejahteraan di masa depan.
“17 Tahun kita sudah berdamai, kalau masalah uang terlihat tidak ada persoalan. Malah sebagian uangnya tidak mampu kita habiskan,” kata Wali Nanggroe. Hal yang menurutnya menjadi kendala ada pada SDM dan integritas pelaku pembangunan di Aceh.
Padahal di sisi lain, tuturnya, salah satu sebab Aceh bersedia berdamai adalah untuk tujuan mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan. Namun sayangnya, hal itu belum tercapai.
“Dalam hal ini orang Aceh harus sadar, terutamanya pemuda pemudi, harus mengerti dimana kepentingan kita di dalam NKRI ini. Kita ada kepentingan nasional Aceh sendiri sesuai dengan perjanjian yang telah kita tandatangani. itu adalah hak kita semua, Aceh bukan hanya milik suatu golongan dan inilah yang disebut nasional interest Aceh yang harus terus kita perjuangkan,” tambah Wali Nanggroe.
Dia juga mengingatkan, keteguhan dalam mempertahankan perdamaian Aceh tidak bisa dipertahankan tanpa kemitraan antara semua komponen bangsa Aceh.
Damai Aceh bukanlah karya atau kerja individu, tetapi karya bersama. Aceh tidak akan dapat melakukan apapun jika disertai rasa kebencian diantara sesama dan juga terhadap Indonesia yang menjadi pihak dalam perjanjian damai.
Karena itu, kata Wali Nanggroe, dirinya bertekad untuk meneruskan metode konsultasi dan komunikasi, dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan nasional kedua pihak. Dan terus berusaha menghilangkan sumber-sumber hambatan dan perbedaan untuk perdamaian Aceh yang berkelanjutan.
“Kita telah memutuskan untuk berdamai dengan Republik Indonesia. Maka perdamaian ini juga harus berani kita pelihara dan jaga untuk terus kita perjuangkan sampai terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh,” pungkasnya.