Mengintip Rumah Tiga Pangeran di Bumi Lancang Kuning

Rumah Limas dan uang pecahan Rp10 ribu. [Ali L]

Bagikan

Mengintip Rumah Tiga Pangeran di Bumi Lancang Kuning

Rumah Limas dan uang pecahan Rp10 ribu. [Ali L]

MASAKINI.CO – Melihat rumah senderhana berbahan dasar kayu satu ini sekilas tak ada yang istimewa. Tapi, jika menelusuri dan meniliknya secara mendalam anggapan sederhana atau bahkan biasa tak cocok disematkan pada rumah adat satu ini.

Rumah Limas namanya, rumah tradisional Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.
Memasuki Maret 2022, Jurnalis masakini.co, Ali L, berkesempatan mengunjungi Palembang, kota berjuluk “Kota Pempek” atau jelukan lain “Bumi Lancang Kuning.”

Mengunjungi Palembang, belum lengkap jika tak mencicipi kulinernya. Sebut saja pempek, tekwan, laksan, lempok durian, dan sederet kuliner lainnya. Selain kuliner, wisata alam dan wisata sejarah bisa jadi pilihan dan sayang untuk dilewatkan. Karena itu sambangilah Rumah Limas yang legendaris itu.

Untuk melihat dan mencari tahu seluk beluk rumah adat orang Palembang itu, Anda bisa kunjungan ke Museum Balaputra Dewa, berada di Jalan Srijaya I No. 288, RW.5, Srijaya, Kecamatan Alang-Alang Lebar. Di museum ini, bisa berkeliling melihat sekaligus masuk ke dalam rumah tradisional ini.

Untuk masuk ke dalam rumah bergaya panggung itu, Anda harus menaiki tiga anak tangga berbahan dasar kayu pilihan. Nuansa adem, teduh, tenang, dan nyaman akan dirasakan jika sudah berada di dalam rumah.

Rumah Limas ini tak hanya sekadar rumah tradisional atau rumah khas Pelembang, namun penuh dengan sejarah yang melatarinya.

“Rumah Limas ini didirikan tahun 1380, berdiri pada masa transformasi Budha menuju Islam,” ungkap Meriati Saragih, seorang pemandu di Museum Balaputra Dewa.

Limas merupakan rumah panggung yang memiliki bentuk seperti limas jika dilihat sekilas. Bangunan maupun atap rumah biasanya berukuran besar dan luas. Salah satu keunikan dari rumah ini, penggunaan kayu sebagai material utamannya.

Bahkan tidak ada paku sedikitpun untuk menyatukan seluruh konstruksi. Kayu-kayu yang digunakan pun tidak sembarang, ada jenis kayu unglen, kayu tembesu, dan kayu seru.

Kayu yang digunakan merupakan kayu-kayu pilihan dan memiliki kualitas yang sangat baik. Secara sederhana, arsitektur serta fungsi Rumah Limas dirancang sedemikian rupa sesuai dengan filosofi, kondisi geografis, hingga kepercayaan masyarakat Sumatera Selatan.

Menurut Meriati, Rumah Limas yang didirikan ratusan tahun lalu ini merupakan milik Sayyid Abdurahman Al Habsy, seorang tokoh penyiar agama Islam berkebangsaan Arab. Berdasarkan beberapa catatan sejarah, Rumas Limas yang kini berada di Museum Balaputra Dewa pernah dihuni atau ditempati tiga orang pengeran.

“Rumah ini sudah tiga kali pindah. Rumah Limas ini dipindahkan ke Museum Balaputra Dewa pada tahun 1985 dan kini usianya 200 tahun lebih,” cetusnya.

Meriati menjelaskan, melihat bentuk, arsitektur, dan konsepnya, Rumah Limas sarat akan perpaduan alkulturasi budaya mulai Melayu, Jawa, Islam hingga Tionghoa. Pada arsitekturnya terdapat ragam bentuk, ragam seni, ragam hias, dan ragam ukirnya.

Pola bentuk ukir hingga ragam hiasnya memiliki makna-makna tersirat yang banyak diamini masyarakat Palembang hingga saat ini.

“Jadi ada makna-makna tertentu atau simbol-simbol yang punya nilai,” tuturnya.
Lantai pada Rumah Limas ini sendiri terdiri dari beberapa tingkat dan memiliki filosofi tersendiri dalam pembuatannya. Tiap-tiap lantai memiliki nama yang disebut Bengkalis.

Selain menjadi tempat hunian, rumah panggung Pelembang ini juga digunakan untuk kegiatan adat, upacara, perkawinan, ataupun peringatan hari-hari besar.

“Lantai-lantai yang bertingkat ini (punya pesan) lebih kepada etika kesopanan. Jadi yang tua di tingkatan atas. Apa yang tergambar di sini punya nilai. Ragam hias Palembang itu dominan dengan tumbuh-tumbuhan, karena masa perkembangan Islam, penggunaan motif-motif sudah lebih dominan, salah satunya tumbuhan,” imbuhnya.

“Matahari lambang kehidupan, bunga mawar penawar sakit, bunga melati lambang kesuciaan. Warna keemasan lambang kejayaan, sehingga terlihat sekali alkulturasi budaya yang sangat kaya, ada Arab, ada China, ada Jawa,” tambah Meriati menjelaskan.

Museum Jangan Jadi Tempat Menakutkan

Meriati sadar betul akan keberadaan Rumah Limas legendaris itu, sehingga membuat dirinya lebih semangat dan antusias untuk mengenalkannya. Ia juga bertekad, jangan sampai museum jadi tempat yang dihindari masyarakat khususnya generasi muda yang sudah seharusnya tahu sejarah masa lampau.

Menurutnya, mengenalkan atau mengedukasi sejarah kepada anak-anak atau generasi muda akan lebih asik serta efektif dilakukan jika berkunjung langsung ke museum.

Tak tekecuali mengenalkan sejarah dan asal usul Rumah Limas, yang hingga kini kokoh berdiri di Museum Balaputra Dewa.

“Kita harus lebih dini mengenalkan museum kepada anak-anak agar citranya tidak seram atau menakutkan. Kalau memberikan hafalan tentang sejarah mungkin kurang menarik dan sudah membosankan ya,” katanya.

Sebagai langkah konkrit mendekatkan museum kepada masyarakat, Meriati dan pengelola Museum Balaputra Dewa saat ini terus berupaya untuk lebih aktif dan adaptif dengan perubahan. Pasalnya  aspek ini akan mempengaruhi tingkat kunjungan pengunjung ke museum.

Selama ini wisatawan yang datang ke Museum Balaputra Dewa, melihat langsung Rumah Limas tentunya, tak hanya dari dalam negeri saja namun juga dari mancanegara. Ada Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Belanda, Jepang, dan beberapa negara lainnya.

“Masa pandemi ini saja kurang pengunjungnya, tapi sudah mulai berangsur membaik. Bahkan ada sekolah-sekolah yang rutin melakukan kunjungan kemari,” sebutnya.

Rumah Limas Diabadikan di Pecahan Rp10 ribu

Rumah Limas khas Pelembang tak dipungkiri kaya akan nilai-nilai sejarah. Tak ayal, untuk mengenalkannya lebih luas, Bank Indonesia (BI) pun “mengabadikan” rumah panggung ini pada uang pecahan Rp10 ribu. Sudah tahu? atau sudah mengoleksinya Sahabat Masakini?

Gambar Rumah Limas akan Anda temui di uang pecahan Rp10 ribu terbitan lama. Sama persis dengan aslinya. Pecahan uang bergambar rumah adat Pelembang ini sudah mulai beredar sejak tahun 2005 silam hingga cetakan terakhirnya pada 2010.[]

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist