Sihir Pesepakbola Aceh Nasir untuk Liga 3 Jawa Barat, Wujudkan Mimpi Almarhum Sahabat dan Etalase Merubah Nasib

Aksi pesepakbola asal Aceh, Muhammad Nasir (merah) di Liga 3 Jawa Barat. (foto: untuk masakini.co)

Bagikan

Sihir Pesepakbola Aceh Nasir untuk Liga 3 Jawa Barat, Wujudkan Mimpi Almarhum Sahabat dan Etalase Merubah Nasib

Aksi pesepakbola asal Aceh, Muhammad Nasir (merah) di Liga 3 Jawa Barat. (foto: untuk masakini.co)

Diaspora pesepakbola Aceh di luar tanah kelahiran terus menebar. Muhammad Nasir adalah salah satunya. Sayap lincah asal Desa Alue Dua, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen itu, kini berseragam Citeureup Raya FC di Liga 3 Jawa Barat.

Kesempatan bisa bermain di luar Aceh sudah lama ditunggu pemain yang lebih dikenal dengan nama panggung Nasir Alaba ini. Akhir September 2022, kesempatan itu datang, dan mimpi merantau menjadi kenyataan.

“Alhamdulillah keinginan bermain di luar Aceh kini sudah terwujud,” katanya kepada masakini.co, Selasa (11/10/2022).

Pendiriannya teguh, untuk melihat dan merasakan langsung atmosfer sepakbola di Tanah Jawa. Padahal, sejumlah tim serius di Liga 3 Aceh sempat membuka pembicaraan untuk memakai jasanya.

Seperti tiga tim dari Kabupaten Aceh Timur, Tiger FC, Alfarlaky FC juga Persidi Idi. Termasuk juara dan runner-up Liga 3 Aceh musim lalu, PSBL Langsa dan Galacticos FC.

“Sudah komit dalam diri, bahwa tahun ini benar-benar ingin keluar. Tujuannya cari pengalaman baru dan lebih,” ujarnya.

Sejak tiba, Nasir langsung dipercayakan sebagai pemain inti. Debutnya tidak menggembirakan, Citeureup Raya FC kalah 1-0 dari tuan rumah Persipasi Bekasi. Namun di laga berikutnya, ia menunjukkan kelasnya. Dua assist Nasir, membawa Citeureup Raya FC menang 3-1 atas Persitas Tasikmalaya.

Dari dua pertandingan tersebut, ia menyampaikan bahwa Pelatih Citeureup Raya, Oriyanto senang akan perfoma Nasir dkk. Ia mengungkapkan, pelatihnya mengatakan, sangat puas dengan permainan anak asuhnya. Selama mengarsiteki tim ini, dua laga tersebut paling berkesan bagi pelatih yang anaknya adalah Sultan Zico itu.

Meskipun sedang dalam trend positif, Nasir harus bersabar untuk kembali unjuk aksi. Buntut dari tragedi di Kanjuruhan, Malang, semua kompetisi sepakbola dihentikan. Untuk sementara waktu, tim akan diliburkan.

“InsyaAllah, kalau jadi dan tak ada halangan, hari Rabu (12/10) balik ke Aceh, tapi bisa jadi diundur,” ungkapnya.

Mengubah Nasib

Tiba di titik ini, dimaknai sebagai jalan rezeki untuk mengubah nasib. Ia bukanlah anak orang kaya. Ayahnya, M Isa menafkahi keluarga dengan bekerja sebagai kuli bangunan. Ibunya, Mulyati hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga (IRT). Bila ada ajakan untuk ke sawah dan ke ladang orang, dipergunakannya untuk membantu ekonomi keluarga, meringankan beban suami.

Saat mendapatkan tawaran ke Jawa Barat, Nasir membicarakan dengan ibu. Maryati tak melarang. Ia hanya mengatakan, semua terserah anak lelakinya itu. Sama halnya dengan M Isa, yang turut merestui. Sebagai ayah dan lazimnya orang Aceh, pesannya hanya satu, jangan lupa salat dan pandai-pandai membawa diri di negeri orang.

Perjuangan Nasir sejak masih mentah, berangsur-angsur menunjukkan seberkas cahaya. Bakat yang ia miliki, tumbuh seiring dengan kerja keras.

“Kalau ingat perjuangan, pahit memang. Dulu, untuk latihan sepakbola, sepulang dari sekolah saya harus manjat pinang. Buah pinang itu saya jual. Saya ambil uang Rp 5 ribu; Rp 3 ribu sebagai iuran berlatih dan Rp 2 ribu untuk minum,” kenang Nasir.

Anak pertama dari lima bersaudara ini tak pernah mengeluh. Di Alue Dua, rumahnya paling pelosok, berada di atas bukit, paling ujung desa. Untuk tiba di lapangan, saban sore Nasir menghabiskan waktu tujuh menit, dengan berlari ataupun berjalan.

“Saya tidak punya kendaraan. Saya anggap itu sebagai tambahan fisik. Apa yang mau dikeluhkan, sudah begitu keadaan,” ujarnya.

Ketekunan Nasir membuka gerbang kariernya. Berawal dari membela tim kampungnya, Persada Alue Dua di tarkam, ia dilirik oleh sejumlah praktisi sepakbola, untuk kemudian menjadi pemain jemputan membela tim tarkam lainnya.

Setelah itu, keberuntungan makin memayungi Nasir. Tahun 2021, ia direkrut Galacticos FC. Tim asal Kabupaten Bireuen yang menjadi runner-up Liga 3 Aceh, sekaligus lolos ke putaran nasional. Usai menorehkan prestasi untuk tim yang dimiliki oleh anak dari mantan Bupati Bireuen itu, secara otomatis tarif tarkam-nya naik.

Nasir tau untung. Ia tak pernah lupa dari mana berasal. Gaji dari Liga 3, beserta uang hasil tarkam, ia tabung hari demi hari. Baru pada tahun 2022, Nasir berhasil membeli satu unit kendaraan merek Scoopy pabrikan Honda.

“Kendaraan itu penting. Untuk saya pergi tarkam, untuk keperluan ayah dan mak di rumah. Uangnya saya kumpulkan dari tarkam ke tarkam. Untuk diri tak boleh pelit, hak untuk poding ya poding, untuk ganti pakaian ya beli, tapi untuk menabung itu harus, biar ada yang tersisa,” jelasnya.

Mewujudkan Mimpi Diri dan Sahabat

Di Aceh, nama Nasir selalu identik dengan Zulfikar. Kemanapun pergi, bila salah satunya tidak hadir, orang-orang pasti akan bertanya, kemana yang satunya lagi. Posisi bermain keduanya juga sama, pemain sayap.

Nasir adalah orang yang berjasa besar terhadap Zulfikar. Pemain yang lebih populer dengan sebutan Fikardo itu, hanya beda setahun dengan Nasir yang lebih tua. Tapi sahabat sekampungnya itu, baru saja kembali keharibaan ilahi rabbi.

“Dulu saya yang kerap mengajak almarhum untuk berlatih. Dari yang pertama dia malu sama orang, takut bicara dengan orang, sampai dia berani,” tuturnya.

Sahabatnya meninggal di saat popularitasnya sedang aduhai. Tampil menawan bersama Nasir di Galacticos FC, top skor Pra Pekan Olahraga Rakyat Aceh (PORA) hingga sudah masuk daftar tunggu untuk masuk tim sepakbola Aceh yang akan berlaga di PON Aceh-Sumut tahun 2024.

Usai Liga 3 tahun 2021, nyaris semua tarkam skala besar, Fikardo menjadi pemain jemputan. Ia meninggal tiba-tiba, setelah sempat sakit saat hendak bermain di Kabupaten Pidie Jaya.

Sore itu, meskipun sudah tiba di lapangan tarkam tersebut, Fikardo tak jadi bermain. Ia lemas, meriang. Singkatnya, malam hari menghembuskan nafas terakhir. Itulah kehilangan terbesar bagi Nasir.

“Padahal kami sudah sempat ngobrol dan saling sepakat, untuk bermain sepakbola di luar Aceh tahun ini,” bebernya.

Saat pesawat jenis Super Jet yang ia tumpangi baru take off dari run way Bandara Internasional Kualanamu, Medan, Nasir menoleh ke jendela, ia pandangi permukaan darat yang kian mengecil seiring pesawat yang meninggi. Pikirannya tertuju pada almarhum sahabatnya. Dikatakannya, dalam batin ia berujar; sahabatku kulanjutkan mimpi kita.

Kehilangan medio Agustus 2022 masih membekas hingga ia tiba di Bumi Pasudan. Di kamar (mes), saat bertanding sekalipun, bayang-bayang Fikardo masih melekat.

“Sampai sekarang masih sering mimpi Fikardo. Di lapangan saat bertanding, sejak dia tak lagi ada hingga kini, kalau saya berlari di sayap kiri, seolah-olah almarhum ada di sayap kanan, begitu juga sebaliknya,” tuturnya.

Asah Mental dan Adaptasi

Bermain di provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, menjadi panggung sepakbola yang kerap disorot banyak orang. Seperti pemandu bakat, juga agen. Nasir ingin tampil konsisten, mewujudkan misi Citeureup Raya promosi ke Liga 2.

“Citeureup Raya insyaallah tim target, begitu kata manajemen. Kami bahkan sudah bersiap (mengajukan diri) menjadi tuan rumah, andai lolos ke putaran nasional,” katanya.

Lebih dari itu, ia ingin menempa mental lebih kuat. Persoalan besar yang sempat menjeratnya adalah inkonsistensi. Di Aceh, di setiap event resmi semisal Liga 3, performanya mengudang tanda tanya.

Nasir bisa tampil amat memukau di tarkam ataupun latihan. Sementara di Liga 3 Aceh kemarin waktu, performanya tak semenggigit di latihan ataupun tarkam.

“Kalau boleh jujur, waktu itu saya kebingungan. Saya tipe pemain yang kalau salah, silahkan langsung dimarahi, itu lebih enak. Jangan ditekan dalam artian banyak instruksi. Kalau sudah banyak arahan, saya terbeban di lapangan,” jelasnya.

Di Citeureup Raya, proses adaptasinya berlangsung aman dan nyaman. Diakuinya, semua pemain Citeureup Raya care dengan Nasir. Tak ada kendala soal komunikasi.

“Walau bahasa Indonesia saya seperti kambing naik atas batu, tidak masalah. Saya tetap ngobrol, tidak malu, karena hanya saya dari Aceh,” ucapnya.

Nasir memiliki karakter sebagai sosok yang sederhana. Baginya, sebagai anak kampung, kelenturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar memang sedikit mengganjal. Hanya saja, itu tidak jadi penghalang.

Meskipun hanya sendiri orang Aceh di Citeureup Raya, justru menguntungkan baginya dalam membunuh rasa minder berbahasa nasional. Sebab, lazimnya, kata Nasir, bila ada pemain Aceh lainnya, yang kerap iseng mengejek logat medok adalah anak Aceh sendiri.

“Lebih enak sendiri, senang maupun sulit tidak ada yang tau,” terangnya.

Menembus Keterbatasan

Bagi Nasir, selama ada kemauan dan dibarengi doa orangtua, segalanya menjadi mungkin. Desa Alue Dua jauh dari ibukota kabupaten. Dari Kota Bireuen, secara geografis Alue Dua berada di ujung paling timur. Sangat dekat dengan perbatasan Kabupaten Aceh Utara.

Untuk menuju kampungnya, masuk ke dalam. Dulu, sebelum kendaraan ada seperti sekarang, untuk sampai ke tujuan, mobilitas banyak orang menggunakan RBT (ojek tradisional) di Simpang Leubu, tepat di pinggir jalan nasional.

Dari jalan nasional masuk ke pelosok harus melewati 10 desa. Mulai dari Leubu Mee, Leubu Cot, Leubu Mesjid, Cot Krut, Blang Kuthang, Lapehan, Ulee Gle, Pandak, Blang Dalam, hingga Alue Dua.

“Kita bilang jauh, tentu jauh. Cuma karena sudah suka bola, ya harus yakin, mau keluar. Bisa dibayangkan untuk saya latihan ke Bireuen ataupun main tarkam ke mana dulunya,” ucap Nasir.

Alue Dua juga tidak seperti Tulehu di Indonesia timur yang notabene gudangnya bakat pesepakbola. Baru beberapa tahun terakhir, talenta desa tersebut sudah melanglang buana di sejumlah klub di Indonesia. Orang pertama yang memulai adalah Arianto, kini berseragam Nusantara United.

Bagi Nasir, segala yang baik dari seniornya itu patut ditiru. Namun setiap orang punya kekurangan dan takdirnya masing-masing. Ia berharap, kelak bisa melampaui seniornya itu.

“Mohon doanya, kiranya suatu hari nanti saya benar-benar jadi pesepakbola profesional,” pintanya.

Meskipun rata-rata warga desanya berprofesi sebagai petani, tapi kegemaran untuk sepakbola terbilang semarak. Diceritakan Nasir, untuk turun tarkam, sebelum laga pemain desanya mencari uang untuk kas demi bisa membayar beberapa pemain tambahan.

“Biasanya kami untuk tim desa, sebelum main cari uang dulu. Kalau ada Rp 20 ribu, Rp 10 ribu itu untuk bayar pemain jemputan. Uangnya dikumpulkan,” kenangannya.

Namun tradisi tersebut sudah tidak lagi ada. Oleh para senior dan kesepakatan bersama ditiadakan. Menimbang tidak cukup adil bagi pemain desa setempat. Yang kadang, tidak bermain. Selesai pertandingan pulang ke rumah, makan di rumah masing-masing.

“Sementara pemain jemputan, bisa makan nasi goreng di luar. Kasian pemain kampung. Tapi alhamdulillah itu sudah tidak lagi ada,” ungkapnya.

Nasir berjanji dalam diri, untuk terus peduli terhadap sepakbola desanya. Kini kariernya di rantau baru dimulai. Urat tangannya begitu jelas dari kasat mata, walau kecil, dadanya terbilang bidang, semua itu bukan karena ia sudah mengenal gym, tetapi tempaan alam, dibentuk keadaan dari panjat pinang dan banyak kerja kasar lainnya.

Untuknya, sepakbola menjadi jalan untuk memperbaiki banyak hal. Jawa Barat adalah panggung akbar yang siap dihentak Nasir. Ia punya modal yang cukup. Dua kakinya sama hidup, tekniknya tidak buruk, kecepatannya ada. Lewat dribbling-nya, Nasir siap menyihir mata bola nasional.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist