Ahsanu Amala menjadi satu-satunya perwakilan dari kafilah Provinsi Aceh yang meraih juara I di ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an Nasional (MTQN). Lewat goresan tangannya di cabang khat kontemporer putri, dara asal Gampong Reuloh, Kabupaten Aceh Besar itu menjadi yang terbaik pada MTQN ke XXIX tahun 2022 di Kalimantan Selatan.
Terasa begitu spesial, sebab dari total 19 piala yang berhasil dibawa pulang kafilah Aceh, Ahsanu menjadi satu-satunya peserta yang sukses menjadi juara I.
Dara kelahiran Banda Aceh, 3 September 2000 itu, sejujurnya mengaku tidak menyangka akan meraih juara pertama. Walau tak menampik sudah mempersiapkan diri dengan baik, Ahsanu menyadari pesaingnya rata-rata peserta senior dan kenyang pengalaman di level nasional. Berbeda dengannya yang debutan.
“Ini rezeki dari Allah aja. Kemarin waktu ikut lebih ke pasrah aja. Karena saingan juga berat-berat dan ini pun pengalaman pertama kali ikut nasional,” kata Ahsanu kepada masakini.co, Jumat (21/10/2022).
Untuk mengatasi rasa nervous, ia berusaha bertawakal sembari memupuk kepercayaan diri. Dalam batin dan pikirannya, Ahsanu menanamkan bahwa keberadaannya di MTQN tidak terlepas dari biaya rakyat Aceh. Karena itu, ada tanggungjawab moral yang besar. Pikirannya menerawang ke depan, bahwa ada rakyat Aceh yang menunggu kepulangan mereka dengan kabar baik, yaitu juara.
“Saat itu berpikir; aku harus sungguh-sungguh, ini gak boleh main-main. Jadi waktu di nasional (doa dan dalam pikiran); aku ada di sini itu karena Allah yang bantu. Kayak gak nyangka juga; ya Allah ini tanganku punya Allah, segala yang dibuat tangan ini aku serahin sama Allah,” jelasnya.
Karya yang Berkarakter
Salah satu kunci keberhasilan Ahsanu menjadi juara I, karena karya khat kontemporernya berkarakter. Ia ingat betul pesan pembinanya, Said Akram saat TC menuju nasional berlangsung. Pesan yang bersangkutan, agar Ahsanu melahirkan sesuatu yang baru, tidak melahirkan karya sebagaimana yang sudah orang lain lakukan. Pantang bagi anak asuhnya itu, mengikuti pola yang sudah mainstream.
“Beliau selalu menekankan agar Ahsanu melahirkan ide terbaru, yang belum orang pernah buat. Dan itu butuh proses cari karakter,” tuturnya.
Setelah proses kontemplasi mencari ide, mahasiswa program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Ar-Raniry ini memutuskan membuat karya dengan filosofi gulali. Ada dua maqra’ (soal) yang diberikan dewan hakim di cabang khat kontemporer.
Di babak penyisihan, maqra’ yang ia dapat adalah Surah Al-Baqarah ayat 2, Dzalika al-kitaabu la rayba fihi hudal li al-muttaqin. Yang artinya: Itu kitab tiada terdapat keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.
Sedangkan di babak final, maqra’ yang ia peroleh adalah Surah Al-Hijr ayat 9, Inna nahnu nazzalnazzikra wa innalahu laha fidhun. Dengan arti: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.
Berhubung ayat tersebut mengenai turunnya kitab suci ummat Islam, Ahsanu berpikir tentang keindahan. Katanya, dengan turunya Al-Qu’an menjadikan dunia lebih berwarna, setelah sebelumnya penuh kegelapan. Hal ini, selaras dengan salah satu potongan hadist; Inna allah jamil, yuhibbu al-jamal. Maka dari situ, ia memilih warna indah dan menarik.
Imajinasinya tertuju pada gulali. Tangannya telaten memainkan kuas dan menggoreskan potongan huruf atau kata dalam bahasa Arab sesuai maqra’. Sebagaimana gulali, yang notabene permen yang terbuat dari gula pasir, penuh warna lagi manis. Ahsanu memilih banyak warna cerah dengan dominasi soft.
Karyanya menonjol karena berbeda. Filosofi gulali mengangkat karya Ahsanu di tengah banyak peserta khat kontemporer dari berbagai provinsi lainnya, yang dominan mengunakan pola akar kayu maupun air.
“Pesan guru, kontemporer maknanya terbaru. Mungkin (gulali) di situ uniknya,” bebernya.
Jalan Panjang Menjadi Juara
Keberhasilan Ahsanu mendulang prestasi di MTQN bukanlah kebetulan dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di MTQ tingkat Provinsi Aceh, baru pada keikutsertaannya yang ketiga kali ia menjadi juara I.
MTQ Provinsi Aceh di Kabupaten Aceh Timur tahun 2017, Ahsanu pulang dengan tangan hampa. Pengalaman tersebut, membuatnya terpacu. Di MTQ Provinsi Aceh tahun 2019 di Kabupaten Pidie, untuk pertama kalinya ia meraih juara Harapan II. Prestasi tersebut, semakin memacunya untuk lebih baik. Akhirnya, pada MTQ Provinsi Aceh tahun 2022 di Kabupaten Bener Meriah, Ahsanu menjadi juara I.
Dari situlah, cerita ke MTQN dimulai. Sebagai insan kaligrafi, ia menyadari satu hal. Bahwa ilmunya harus di-upgrade. Maka salah satu tempat yang tepat untuk menempa itu adalah Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA) yang berada di Sukabumi, Bogor, Jawa Barat.
“Alhamdulillah Allah beri kesempatan melalui biaya Pemkab Aceh Besar. Kurang lebih 9 bulan diklat di LEMKA,” ungkapnya.
Semangatnya yang begitu kuat untuk belajar di LEMKA tidak seindah yang dibayangkan. Tahun 2019, pandemi Covid-19 memaksa Ahsanu kembali ke Aceh. Tak hanya dia, para pelajar dari berbagai daerah yang belajar di sana, dipulangkan demi kesehatan.
Untuk menyiasati keadaan dan proses belajar tetap berjalan, Ahsanu belajar di rumah selama berada di bawah naungan LEMKA di masa Covid-19. Hanya saja, itu tak membuatnya puas. Baginya, belajar dengan pola (daring) seperti itu, tidak efektif.
“Karena merasa banyak belum dapat, tahun 2022 sebelum ke MTQN, menggunakan biaya sendiri berangkat dan belajar lagi di LEMKA,” jelasnya.
Berawal dari Suka Lukis
Sebelum menekuni kaligrafi, Ahsanu sejak kecil memang suka melukis. Lalu ketika mengenyam pendidikan MTsN di Lueng Bata, Banda Aceh, anak dari pasangan Rahadi-Iin Maisairah itu bertaut dengan kaligrafi. Di sekolahnya ada ektra kulikuler kaligrafi.
Jiwa seni yang dimiliki anak kedua dari empat bersaudara ini makin terarah, manakala memutuskan melanjutkan jenjang pendidikan dengan masuk ke Pesantren Darul Ihsan, Aceh Besar. Di sana, ia mengikuti lomba lukis. Di saat yang sama, dua gurunya, Ustaz Doni dan Izarul mengarahkan Ahsanu untuk menekuni khat kontemporer.
“Sejak kecil memang sudah suka lukis. Kebetulan juga waktu itu, peserta khat cabang kontemporer belum ada. Maka fokus di cabang ini, karena peluangnya juga besar,” katanya.
Pilihan Ahsanu tepat. Kegemarannya dalam melukis sangat relevan dengan khat kontemporer. Dibandingkan khat naskah, dekorasi maupun hiasan mushaf; tiga cabang lainnya dalam golongan khattil di MTQ, kontemporer membutuhkan imajinasi lebih.
Ahsanu punya firasat, darah seninya turun dari orangtuanya. Menurut pengakuan yang bersangkutan, ketika kecil dulu orangtuanya suka menggambar dan mewarnai. “Mungkin dari situ menurun,” imbuhnya.
Pamit dan Terimakasih
Meskipun bersyukur karena berhasil mengharumkan nama provinsi berjuluk Serambi Mekkah di MTQN ke-19, membawa Aceh berada di peringkat 8. Melampaui capaian edisi MTQN sebelumnya di Sumatra Barat yang berada di peringkat ke 22. Ia juga menciptakan sejarah untuk diri, debut dan langsung menjadi juara I. Prestasi itu, sejatinya meninggalkan sedikit kesedihan.
“Karena sudah juara I, ke depan saya sudah tidak boleh ikut lagi,” sebut Ahsanu.
Secara peraturan baru-baru ini, setiap warga negara Indonesia yang berhasil meraih juara I di MTQ nasional, maka di edisi MTQN berikutnya tidak boleh lagi mengikuti cabang yang sama. Seorang juara, baru boleh mengikuti MTQN dengan cabang berbeda.
Dengan demikian, otomatis Ahsanu harus melupakan khat kontemporer dalam konteks ajang MTQ. Saat disinggung beralih ke tiga cabang khat lainnya, ia mengaku belum terpikirkan dan cenderung gamang.
“Mungkin beralih ke cabang badminton, boleh gak?” candanya.
Atas prestasi tertingginya di level nasional, dengan penuh rasa syukur Ahsanu menyampaikan terimakasih kepada seluruh orang-orang yang mendukungnya, terlebih para guru yang membimbingnya. Seperti ustadz; Izarul, Doni, Said Akram, Tarmidzi, Usman, Poniman, Cucu, Hilmi, Boby, Didin, Ramzani, Zikrullah dan Saepul.
“Karena saya tidak akan mampu ada di tahap ini tanpa doa dan dukungan orangtua, keluarga, guru-guru, dan orang-orang terdekat, teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,” pungkasnya.