MASAKINI.CO – Bangunan itu tertutup rerimbun semak. Ada jalan setapak sedikit menanjak untuk sampai ke bangunan berkelir putih yang dibangun sekitar tahun 1920 ini. Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924) adalah pemegang mandat kuasa kala itu. Dia gubernur militer Hindia Belanda yang menjajah Aceh dan membangun kekuatan politik serta ekonomi di sana.
Bangunan ini fungsinya dulu untuk karantina. Tempat singgah sekaligus cek kesehatan orang-orang Nusantara yang pergi dan pulang haji dari Mekkah.
Letaknya di Pulau Rubiah, Kota Sabang. Dari dermaga Iboih tak kurang dari 5 menit untuk sampai ke Rubiah. Pulau ini tanpa penghuni. Tapi saban hari, setelah Sabang fokus menggali potensi daerah dari pariwisata, Rubiah nyaris tak pernah sepi.
Banyak orang pergi ke sana untuk wisata sambil snorkeling. Laut di Pulau Rubiah bak sebening kaca. Ikan-ikan ragam bentuk dan warna menari-nari di bawahnya. Daya tarik itu yang bikin Rubiah tak pernah sepi.
Meski selalu diriung orang, masih banyak yang tak tahu bahwa di pulau tersebut ada sejarah besar yang tersimpan. Komplek karantina haji di masa penjajahan itu teronggok sepi dalam keramaian.
Cuma butuh waktu 10 menit dengan kontur jalan menanjak untuk sampai ke bangunan itu. Lumayan mudah ditemui. Sebab, terpasang plang penunjuk arah. Sesampai di sana juga tampak monumen bertinta emas terpacak. Berisi informasi singkat tentang bangunan.
Bekas tempat karantina para pelaksana rukun Islam ke lima ini tampak kosong melompong. Atapnya sudah bukan yang asli. Warna putih yang melumuri dinding telah mengelupas. Engsel jendela banyak yang lepas. Beberapa pintu bangunan tak tahu kini di mana rimbanya. Lantai bangunan juga tak kalah menyedihkan. Banyak yang pecah. Bagian plafon seluruhnya menganga rusak.

Selang beberapa meter dari bangunan pertama, terdapat bangunan lainnya. Sekilas mirip aula. Menyatu dengan beranda seukuran 4×5 meter. Bagian depan dindingnya terukir lafaz arab nabi Muhammad dan Allah. Kondisinya setali tiga uang dengan bangunan di muka yang lebih kecil. Rusak!
“Beginilah kondisinya sangat memprihatinkan,” kata Albina Ar Rahman. Dia pemuda Sabang. Berbilang tahun lalu ia mendirikan komunitas Sabang Heritage Society (SHS). Bersama rekan-rekannya Albina gencar mengumpulkan titik-titik bersejarah yang tercecer di Pulau Weh. Salah satunya bangunan karantina haji ini.
Dia bercerita bangunan itu dibangun Belanda atas dasar motif ekonomi. Usai Kutaraja, wilayah kerajaan Aceh Darussalam dikuasai, Belanda gencar membangun lini bisnis di seluruh Aceh.
Orang-orang di Nusantara, terlebih orang Aceh dan Sumatra, umumnya terkenal sangat fanatik dalam beragama. Mereka rela mati-matian banting tulang untuk bisa pergi ke tanah suci.
Belanda melihat ini sebagai peluang bisnis. Mereka membangun pelabuhan internasional di Sabang. Termasuk pusat karantina haji itu.
“Waktu pulang berhaji wajib harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, tidak sakit, berarti sudah selesai karantina maka dibolehkan pulang,” kata Albina.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu tak ingin ambil risiko. Orang yang bepergian antar benua kemungkinan bisa membawa serta penyakit. Komplek karantina haji ini dijadikan sebagai tempat penapisan, sebelum para jamaah berlayar lagi ke daerah masing-masing.
“Saat itu kan bukan seperti sekarang, ada vaksin untuk cegah penyakit,” ujar Albina.
Lain cerita kalau tak lewat skrining di pulau Rubiah. Jamaah pasrah terima nasib berkalang tanah di sana. “Makanya di ujung pulau sebelah barat itu, banyak kuburan. Itu makam orang yang tak lolos karantina,” beber Albina.
Di Pulau Rubiah, Belanda membangun karantina haji seluas 10 hektar. Fasilitas di sana pada masanya tergolong megah. Menurut Albina, terdapat enam gedung untuk penginapan. Rumah sakit. bangunan komunikasi. Gedung listrik dan fasilitas air bersih.
“Dermaganya juga besar dulu di sini,” katanya.
Karantina haji di Pulau Rubiah berarsitektur artdeco yang populer di awal abad ke-19. Komplek ini mati saat Jepang menduduki Nusantara tahun 1942. Tentara Nippon memanfaatkan bangunan menjadi barak militer.
***
Reza Fahlevi sudah lama memendam hasrat ingin merevitalisasi bangunan karantina haji di Pulau Rubiah. Hasrat ini semakin kuat kala Ikatan Arsitektur Indonesia beberapa waktu lalu menyambangi Sabang. Kumpulan para arsitek ini sedang punya agenda di sana. Sebagai Penjabat Wali Kota Sabang, Reza menjamu mereka.
Dalam persamuhan itu, tutur Reza, Ikatan Arsitektur Indonesia sepakat ingin berbuat sesuatu agar komplek karantina haji ini tak teronggok diselimuti semak belukar.
“Mereka siap untuk bantu desain,” kata pria yang juga menjabat Direktur Event Daerah Kemenparekraf tersebut.
Reza bilang karantina haji di Pulau Rubiah punya daya tarik sebagai objek wisata heritage (sejarah). Jika komplek ini dipugar, bakal menambah destinasi baru di Pulau Weh.
Saat ini Pemerintah Sabang sedang putar otak mencari sumber dana untuk pemugaran karantina haji itu. Ada beberapa opsi pendanaan di antaranya; melalui alokasi anggaran daerah (APBK) Sabang, atau bantuan dari Pemerintah Aceh hingga Pusat.
“Kami akan cari sumber pendanaan untuk revitalisasi. Kementerian Agama juga sangat mungkin kita ajak untuk bantu, sebab ada kaitannya,” ujar Reza Fahlevi.