MASAKINI.CO – Bangunan berkelir putih itu berada dalam satu kompleks. Luasnya sepadan dengan satu stadion sepakbola. Di dalam kompleks terdapat sejumlah bangunan. Ada mushalla, balai pengajian, dan gudang. Saban hari selalu ada saja orang yang berkunjung ke sana. Bahkan di hari-hari tertentu, pengunjungnya membludak.
Magnet dalam kompleks ini adalah makam ulama. Namanya Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al-jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Tapi dunia lebih mengenal lakapnya sebagai Syiah Kuala.
Ulama kharismatik itu hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam kala dipimpin perempuan. Dia kesohor karena ilmu agama dan kepribadiannya yang moderat.
Alkisah, puluhan tahun pergi merantau belajar agama di Timur Tengah, Syiah Kuala pulang ke tanah Aceh. Dia berkeliling ke beberapa wilayah kerajaan Aceh Darussalam dan akhirnya menetap di kuala Krueng Aceh (kini masuk wilayah Banda Aceh).
Dosen sejarah Universitas Syiah Kuala (USK) Husaini Ibrahim, mengatakan Krueng Aceh saat itu masih terbelenggu dalam maksiat yang dilarang agama Islam. Praktik prostitusi merajalela. Para pemabuk khamar juga tak kalah banyak.
Tapi ulama Syiah Kuala tak ujug-ujug memberangus praktik maksiat tersebut, meski dia tahu perbuatan ini dilarang keras oleh kepercayaan yang dianutnya.
“Sebaliknya dia malah mendirikan dayah atau pesantren di sekitar itu,” kata Husaini, awal Maret 2023 lalu.
Perlahan Syiah Kuala mulai punya murid. Meski saat itu dia punya kekuatan lantaran telah ramai orang-orang yang disadarkan dari maksiat, ulama Syiah Kuala tetap tak ingin cepat membersihkan Kreung Aceh dari praktik kotor tersebut.
Dia memilih jalan tanpa kekerasan. Bersama murid-muridnya, masyarakat setempat ditolong. Hati mereka disentuh dengan tindakan. Lalu lunak dan beringsut meninggalkan dosa.
Cara mengetuk hati warga ini dilakukan Syiah Kuala dengan mengobati mereka. Beruntung, saat di Timur Tengah dulu, dia mempelajari ragam ilmu. Salah satunya tentang ilmu kedokteran.
Dia bertindak jadi tabib. Banyak warga sembuh usai ditolong. Perlahan, ulama Syiah Kuala mulai mendapat simpati. Syiar tentang Islam terus ia hembuskan di tengah-tengah warga Kreung Aceh. Mereka mulai tertarik dan kemudian meninggalkan praktik maksiat.
“Inilah ulama Syiah Kuala, punya karakter bukan mengutuk tapi mengetuk,” puji Husaini Ibrahim.

Husaini menjelaskan kata ‘Syiah’ di nama Syiah Kuala bukanlah merujuk ke salahsatu aliran dalam Islam. Melainkan ‘Syiah’ disini artinya ulama. “Dan Kuala, karena beliau membuka dayah di dekat kuala, maka dilakabkanlah namanya Teungku Syiah Kuala,” terangnya.
Syiah Kuala oleh banyak ahli sejarah peradaban Islam di nusantara disebut lahir di Aceh Singkil sekitar tahun 1615 masehi. Ayahnya, Syekh Ali Fansuri, juga merupakan seorang ulama di sana. Ketika belajar agama ke Timur Tengah, Syiah Kuala menjadi murid Syekh Ahmad Qusyasyi. Ulama ini seorang pemimpin tarekat Syattariah.
Usai menimba ilmu dari Syekh Ahmad Qusyasyi, suluh penerang umat itu pulang ke Aceh. Kesohor lantaran berhasil membersihkan wilayah Krueng Aceh dari praktik maksiat, pihak kerajaan Aceh Darussalam pun penasaran dengan Syiah Kuala.
Dia diundang ke istana. Istana saat itu dipimpin oleh seorang perempuan. Namanya Sultanah Safiatuddin Syah. Usai pertemuan, Safiatuddin kepincut dengan pemikiran Syiah Kuala. Ulama itu pun kemudian diberi jabatan sebagai Kadhi Malikul Adil Kesultanan Aceh yang mengatur soal hukum dan agama.
Dia juga diminta menulis tentang fiqih agama dan soal-soal kehidupan bermasyarakat oleh istana. Syiah Kuala menyanggupinya. Maka lahirlah kita Mir’atuttullab yang kemudian menjadi mahakarya sang ulama. Kitab ini tersebar di nusantara hingga mancanegara.
Menurut Husaini Ibrahim, Syiah Kuala juga berada dalam pemerintahan Sultanah Naqiatuddin Syah yang memerintah pada 1675-1678, lalu Zakiatuddin Inayat Syah 1678-1688, dan Keumalat Syah 1688-1699.
Banyak ahli sejarah menuturkan Syiah Kuala wafat pada tahun 1696. Dia dimakamkan di kawasan dayah yang didirikannya dulu, yakni di Kuala Krueng Aceh. Di sana, pusara Syiah Kuala, keluarga, dan para muridnya bersemayam. Pemerintah mempermak area itu jadi kompleks untuk memudahkan peziarah datang.
Dahulu letak makam berkisar satu kilometer dari pantai. Namun sebab bentang alam yang berubah, letak makam kini berada hanya sepelemparan batu dari bibir pantai menghadap Selat Malaka. Masyarakat Banda Aceh pun menabalkan nama pantai itu seperti nama sang ulama; Pantai Syiah Kuala.
Pada Ahad 26 Desember 2004 lalu, gelombang tsunami ikut merusak area kompleks makam. Tetapi aneh bin ajaib, semua nisan di kompleks ini masih tetap teronggok kendati letaknya tak beraturan lagi. Pemerintah kemudian mempugar kembali kompleks makam.
Kawasan itu kemudian dijadikan salah satu spot wisata religi di Banda Aceh. Makam ulama kharismatik Aceh ini tak henti-hentinya dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Peziarah datang karena didorong rasa ingin tahu akan sosok Syiah Kuala. Ditambah lagi ingin melihat langsung mukjizat makam ulama itu tetap utuh meski pernah dihumbalang tsunami.