“Kun fayakun, kun fayakun, kun fayakun…,” suara kor diiringi serbaneka instrumen tradisional khas India memenuhi seisi ruangan.
Lelaki itu sedang memutar kolaborasi A.R. Rahman dengan The Berklee Indian Ensemble di YouTube. Layar laptopnya menampilkan nama komponis kesohor tersebut disertai judul lagu yang diambil dari film Rockstar.
Sambutan ini tentu terdengar tidak lazim. Sama sekali tak ada hal-hal berbau Bollywood di ruangan itu, kecuali simbol-simbol perlawanan yang bertebaran di mana-mana.
Melewati mulut pintu, poster Subcomandante Marcos menyambut dengan “Kata adalah Senjata”. Di seberangnya, slogan Komune Internasionalis “From Rojava to Gaza: Smash Colonialism!” terpampang dan menantang.
Puluhan stiker berwarna monokrom pun tampak menyemak di dinding lemari tempat Marcos berada. Hampir semua stiker-stiker itu merupakan nama dan logo band punk.
masakini.co menyambangi studio rekaman lantai dua rumah yang berada di sudut Ajun, Aceh Besar, itu pada Senin siang (29/5/2023).
Pemiliknya Dana Maulana. Tempat itu merupakan ruang kerja sekaligus kamar tidur baginya.
Dana merupakan musisi yang memilih jalan sunyi. Bukan cuma Aceh, genre musik yang digelutinya berbeda dari kebanyakan musik di Indonesia.
Eksperimental, begitu ia menyebut. Penamaan ini merujuk pada eksplorasi bebunyian yang dilakukannya.
“Dalam eksperimental aku leluasa melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Seperti bikin instrumen baru dan mendesain sound baru,” terang lelaki dengan rambut gimbal yang terjumbai hingga ke tulang ekor.
Dana pernah tampil membawa media penghasil bunyi yang dirakit sendiri dari kotak selubung CPU yang telah dikosongkan disebut “noise box.” Di atasnya direntangkan beberapa helai senar gitar serta seteman untuk mengatur tinggi rendah suara.
Petikan senar yang diterima oleh lempengan tipis CPU menghasilkan suara agak mirip sonar pendeteksi kapal selam. Sesekali seperti petikan dawai Koto dari Jepang.
Ada juga alat musik dari bambu yang diberi senar kontrabas, dinamai “bamboo bass”. Seperti namanya, Dana memanfaatkan bambu sebagai medium penghasil bunyi.
“Aku menyelipkan alat perekam di dalamnya,” jelas Dana.
Dia juga suka memanipulasi bunyi dengan memanfaatkan perangkat lunak dari laptop. Hasilnya adalah suara-suara yang terdengar ambiens.
“Di situ aku banyak menggunakan efek reverb delay yang berlebihan,” terangnya.
Dalam performanya, adakala bunyi yang keluar terdengar seperti gemuruh badai pasir yang seakan-akan hendak meledakkan membran speaker dan menakutkan.
Selain itu, melakoni musik eksperimental bikin Dana mengeksplorasi banyak hal termasuk disiplin ilmu. “Belakangan aku mulai mencari tahu tentang psikologis musik,” sebutnya.
Ia juga menekuni gagasan lain. Yaitu menghubungkan antara musik dan religiusitas.
“Aku melihat banyak ritual keagamaan menggunakan medium bunyi dalam proses doa atau ritual,” ujar Dana.
Dengan jenama Daur Bunyi, tahun lalu Dana menjejal puluhan kota di Indonesia dalam tur dua babak bertajuk “Menjarah Kota-kota.”
Tur ini sekaligus menjadi momen perilisan album berjudul “Make Music and War” yang cuma bisa didengar via platform streaming bernama Bandcamp.
Dana memang tumbuh di lingkungan musik antimainstream. Ia tidak akrab dengan musik-musik konvensional berskema komoditas.
Telinganya lebih akrab dengan unit-unit bawah tanah seperti Bunga Hitam, skuad punk asal Jakarta. Atau Crass, grup band Inggris yang berkiprah di genre yang sama.
Kedekatannya pada musik-musik berunsur perlawanan telah dilakoni sejak 2009. Ia juga menancapkan eksistensi ke dalam “skena” musik bawah tanah di Aceh melalui unit grindcore bernama Total Galau dan skuad hardcore bernama Colony Musuh.
Lagu berjudul Makan dari Total Galau bahkan masuk ke dalam album kompilasi Punk Aid 4 bertajuk Autism: Breaking The Silence. Kompilasi berisi 130 band dari pelbagai belahan dunia itu dirilis pada 2015.
Ditanya soal keberlangsungan eksistensinya sebagai musisi yang melakoni warna musik liyan di Serambi Makkah, Dana mengaku kalem.
Untuk situasi paling buruk, ia bahkan tidak ambil pusing sama sekali tentang boleh tidak musik di provinsi ini.
“Karena ini sesuatu hal yang baru, masih asing, mereka masih merasa musikku bukan musik,” ujarnya sembari menyunggingkan senyum.