MASAKINI.CO – Sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong dipastikan tidak akan dirobohkan seperti yang ditakutkan oleh sejumlah pihak. Ini ditegaskan seorang anggota Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, Suparman Marzuki.
“Positif tidak. Tidak mungkin, tidak boleh. Itu sebagai bagian dari peristiwa, karena ada peristiwa yang akan disatukan dengan rencana pembangunan living park, jadi enggak mungkin itu dibuang,” kata Suparman, dihubungi masakini.co, Minggu (25/6/2023).
Suparman menolak disebut bahwa keputusan untuk tidak merobohkan sisa-sisa bangunan bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis), itu karena ada tekanan oleh lembaga kemanusiaan di tingkat lokal dan nasional.
“Sejak awal sudah diputuskan tidak akan ada penghancuran-penghancuran. Dan bahasa penghancuran itu juga ‘lucu.’ Apa yang dihancurkan? Memang enggak ada, enggak ada sisa bangunan, cuma tinggal tangga itu, kok, sama tembok sedikit, sama ada dua sumur,” sebutnya.
Sumur dan tangga tersebut, terang Suparman, masih utuh sampai saat ini. Namun, dia tidak menampik ada sisa tembok bangunan Rumoh Geudong yang menurutnya “dibersihkan” untuk mempermudah pendirian tenda saat untuk menyambut kedatangan Presiden Jokowi dalam rangka kick off penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu nonyudisial di Aceh, 27 Juni nanti.
“Ada tembok kecil-kecil sekitar ukuran 2 meter, itu karena untuk biar tenda saja bisa berdiri dengan baik, itu kita minta untuk dibersihkan, itu saja,” ujarnya.
Terkait pernyataan yang dilontarkan oleh Pj. Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto di media, bahwa undakan atau tangga Rumoh Geudong akan “dibersihkan”, Suparman yakin tidak mungkin terjadi karena keputusan bukan di tangan eks Kepala BIN Daerah NTB 2019-2021 itu.
“Ini, kan, pekerjaan bukan pekerjaan bupati Pidie (Pj. Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto), ini, kan pekerjaan pemerintah pusat dan seluruh keputusan itu ada di pemerintah pusat bukannya dari pemerintah daerah,” tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah pihak menyoroti tindakan pembersihan sejumlah material bangunan sisa-sisa Rumoh Geudong dengan alat berat yang berlangsung sejak 20 hingga 21 Juni 2023.
Lahan di mana Pos Sattis pernah berdiri itu akan menjadi lokasi penyambutan kunjungan Presiden Jokowi dalam rangka kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Aceh pada 27 Juni 2023.
Kick off ini sendiri menandai upaya pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM 12 kasus di Indonesia, tiga di antaranya di Aceh, dengan mekanisme non yudisial.
Beleid ini diawali dengan Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu.
Setelah pelepasan lahan, lokasi bekas bangunan Rumoh Geudong sendiri dijanjikan akan dibangun masjid dan living park. Namun, aktivis menyoroti aksi perataan lahan dengan alat berat yang dapat memusnahkan sisa-sisa bangunan yang menjadi bukti kekerasan militer di masa lalu.
“Penghancuran tersebut merupakan upaya ‘lancung’ penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik di Aceh,” tulis sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam pernyataan resmi yang dikutip masakini.co, Senin siang (26/6/2023).
Nihilnya partisipasi korban dalam persiapan kick off di Aceh itu juga diberi garis merah oleh organisasi masyarakat sipil. Ini dinilai telah menampikkan keberadaan korban yang seharusnya merupakan pihak paling berkepentingan.
“Negara harus memastikan bahwa memorialisasi yang diupayakan akan menerapkan prinsip partisipasi yang berarti (bagi korban dan berpusat pada kebutuhan dan kepentingan para penyintas, berdasarkan prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM,” bunyi rilis tersebut.
Sebagai informasi, Rumoh Geudong merupakan bangunan khas adat Aceh beralamat di Desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, sekitar 125 kilometer dari ibu kota provinsi Aceh.
Rumah ini berada di atas lahan seluas 150×80 meter persegi, tidak jauh dari lintasan Banda Aceh-Medan, begitu dijelaskan dalam buku Rumoh Geudong The Scar of The Acehnese
Buku yang ditulis oleh Dyah Rahmany P itu menjelaskan bahwa rumah tersebut dibangun oleh keturunan seorang prajurit kerajaan bernama Ampon Raja Lamkuta pada 1818.
Dijelaskan pula bahwa rumah tersebut menjadi tempat pejuang Aceh mengatur siasat melawan Belanda pada masa kolonial.
Secara berturut-turut, Rumoh Geudong dikuasai oleh sejumlah hulubalang, yakni Teuku Kejreun Rahman, Teuku Kejreun Husein, dan Teuku Kejreun Gade.
Ketika Jepang mengokupasi Aceh hingga Indonesia merdeka pada 1945, Rumoh Geudong dihuni oleh keturunan Teuku Kejreun Husein, yakni Teuku Raja Umar dan anaknya, Teuku Muhammad. Riwayat pemeliharaannya kelak dilanjutkan oleh keturunan Tengku Kejreun Gade.
Bentuk asli Rumoh Geudong tidak diubah sama sekali bahkan saat tentara mendudukinya. Ketika rumah tersebut bersulih jadi kamp konsentrasi, beberapa renovasi kecil dilakukan.
Ruang depan dan tengah yang dipisahkan dengan partisi kayu dan bambu telah diubah menjadi beberapa bilik berukuran 2×2 meter yang digunakan sebagai ruang interogasi dan penyiksaan.
Selain sel dan ruang penyiksan, rumah tersebut juga memiliki ruang untuk kantor kepala Rumoh Geudong, kamar tidur, bahkan dapur.
Di rumah tersebut bahkan terdapat ruang tahanan yang diberi nama-nama hewan. Ketika para petugas berteriak memanggil, para tahanan harus menyahut sesuai suara hewan-hewan tersebut.
Sejak 1990 hingga 1998, ribuan orang mengalami pelbagai macam siksaan yang tidak manusiawi di rumah tersebut, demikian dijelaskan dalam buku Rumoh Geudong The Scar of The Acehnese.
Beberapa bulan setelah Reformasi, tepatnya 20 Agustus 1998, Tim Tim Pencari Fakta (TPF) dari Komnas HAM yang dipimpin datang ke Rumoh Geudong serta menemukan banyak sisa penyiksaan yang ditinggalkan tentara.
Setelah tim pergi, Rumoh Geudong pun dibakar massa, menyisakan sejumlah sisa bangunan seperti tangga atau undakan, dinding beton, dan sumur.