MASAKINI.CO – Pasca perdamaian, Aceh mengalami kemajuan dari berbagai sektor seperti infrastruktur dan ekonomi daerah. Namun hingga kini pemulihan dan pemenuhan hak korban kekerasan masih jauh dari harapan.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna mengatakan proses pemulihan harus dilakukan dengan komprehensif dengan menghitung kerusakan dan kehilangan yang terjadi sehingga adanya efek jera untuk tidak melakukan pelanggaran HAM lagi.
“Soal pemulihan bukan hanya perihal uang namun ada hak kebenaran, dan itu pintunya untuk hak pemulihan,” kata Husna, Rabu (19/7/2023).
Menurutnya, sepanjang 30 tahun konflik Aceh, pemerintah belum menghitung kerusakan yang telah diderita masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan tidak disediakan ruang bagi korban konflik Aceh.
“Ruang yang dimaksud seperti adanya Museum Tsunami, akan tetapi apa ada Museum perdamaian Aceh? Sejarah konflik tidak dibuat, jadi sama saja Aceh tidak menghitung sejarahnya sendiri,” ungkap Husna.
Tak hanya itu, kata dia, Pemulihan bagi korban juga belum dilakukan dengan sempurna. Saat ini hanya upaya-upaya rekomendasi dan pengambilan pernyataan dilakukan oleh KKR Aceh. Apalagi dana yang dikucurkan bagi KKR Aceh sangat minim.
Ia menerangkan, 18 tahun perdamaian Aceh harusnya ada refleksi sejauh mana dilakukan pemulihan.
“Proses keadilan di sini harusnya memenuhi unsur pemenuhan. Orang jadi janda karena suaminya dibunuh itu statusnya seperti apa? Apa adakah biaya afirmasi kepada anak putus sekolah, dan kini 18 tahun perdamaian Aceh harusnya jadi refleksi sejauh mana sudah dilakukan pemulihan,” tegas Husna.
Ia menyayangkan adanya upaya penghilangan bukti sejarah berupa tugu memorialisasi di Rumoh Geudong. Bagi KontraS, memorilisasi merupakan bagian krusial dari kebenaran peristiwa kekerasan di daerah itu.
Artinya tindakan tersebut tidak bisa dianggap pemulihan bagi korban konflik Aceh.
“Karena aspek pemulihan itu harusnya
individual dan komunal. Jadi itu harus dihitung-hitung. Penghancuran tersebut merupakan upaya langsung penghilangan barang bukti,” pungkasnya.
Sementara itu, kata Husna, proses pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPPHAM) melalui keppres 17 tahun 2022 hingga berlanjut pada pelaksanaan rekomendasi tim tersebut ke inpres 2 tahun 2023 dan pemantauannya Keppres 4 tahun 2023 masih banyak menemukan persoalan di lapangan.
Pasalnya, mereka yang bekerja dengan mekanisme non yudisial, KKR Aceh tidak dilibatkan dalam hal tersebut.
“KKR Aceh bekerja dalam jangka waktu yang panjang sementara Tim PPHAM hanya 3 bulan. Jadi memang sangat pendek cara kerjanya untuk masa pelanggaran HAM yang 30 tahun dan hanya ada tiga kasus yang masuk,” ucapnya.
Husna meyakini terdapat banyak permasalahan seputar perdamaian Aceh, termasuk masalah data. Menurutnya sumber data untuk korban konflik yang diambil hanya dari BAP Komnas HAM dan itu sesuai dengan amanah Kepres 17/2022.
Harusnya data korban konflik selain BAP Komnas HAM juga ada pada KKR Aceh dan komunitas korban.
“Sebagai contoh di simpang KKA, korban ada 146, 46 meninggal sementara yang di BAP hanya 33 orang dan yang masuk ke TPPHAM hanya 10 orang. Itu dikarenakan tidak ada mekanisme verifikasi data dan tidak ada standar kerja,” jelasnya.
Husna mempertanyakan, apakah pemulihan korban berbatas waktu? Sementara korban pelanggaran HAM berat di Aceh sangat banyak. Bahkan dari segi transparansi pun harus jelas.