Dailami, Menunggangi Lamuri Tunaikan Misi Emergensi

Dailami, nahkoda KM Lamuri kapal ambulan milik Pemerintah Aceh Besar. (Ahmad Mufti/masakini.co)

Bagikan

Dailami, Menunggangi Lamuri Tunaikan Misi Emergensi

Dailami, nahkoda KM Lamuri kapal ambulan milik Pemerintah Aceh Besar. (Ahmad Mufti/masakini.co)

MASAKINI.CO – Sedetik jelang tengah malam, hujan datang. Ambulan bergoyang tak beraturan. Suasa mendadak mencekam dalam kabin Lamuri.

Tangan Dailami mencengkeram erat kemudi. Pria berusia 49 tahun itu berusaha lari dari kepungan ombak tinggi.

Di dalam kapal, seorang remaja terkulai lemah tak berdaya. Ia ditidurkan di atas ranjang berukuran 50 centimeter dengan panjang 170 centimeter.

Remaja asal Desa Lampuyang, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar ini harus segara dirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUDZA) untuk mendapatkan penanganan medis akibat kecelakaan yang menyebabkan ia dalam kondisi kritis.

Ia ingat benar peristiwa menegangkan itu terjadi saat malam Ramadhan. Pria kritis itu akhirnya selamat. Bersama dua Anak Buah Kapal (ABK), pendamping Puskesmas serta keluarga pasien turut bahagia.

Pasien yang ia perjuangkan untuk mendapat rujukan medis itu merupakan anak panglima laot setempat.

“Balik. Pawang balik,” seketika suara itu keluar dari mulut panglima laot. Ia khawatir badai yang melanda itu dapat membahayakan semua orang yang berada di dalam kapal.

“Tidak apa-apa ini sudah terbiasa,” ucap Dailami dengan yakin untuk meredakan kekhawatiran keluarga korban.

“Padahal saya berusaha untuk tidak panik,” ucapnya.

Perjuangan Dailami tak sia-sia, ia habiskan waktu 1,5 jam sampai selamat ke Pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh. Normalnya, jarak 20 mil laut yang ditempuh hanya butuh waktu 30 menit.

Selain dihalau badai, Dailami punya cerita miris lainnya. Pria kelahiran tahun 1974 ini juga pernah membawa pasien yang dirujuk ke rumah sakit di Banda Aceh meninggal di dalam kapal.

“Pasien dirawat di rumah sudah seminggu baru dirujuk,” ucapnya.

Oleh sebabnya, saat itu ia memutuskan untuk memutar balik arah kapal. Padahal baru lima menit perjalanan.

“Pasien itu sakit muntaber, dan kondisi sudah sangat lemas,” imbuhnya.

Kapal yang dinakhodainya lebar dua meter, diberi nama LAMURI. Di dalamnya hanya memuat delapan hingga 10 penumpang termasuk ABK.

Memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, Dailami mengaku pernah membawa tiga pasien sekaligus. Mereka merupakan pasien kecelakaan yang membutuhkan perawatan medis.

“Itu karena tidak mungkin ditunda, jadi sekalian saja,” ujarnya.

Amirullah, ABK KM Lamuri mengisi bahan bakar kapal ambulan Pulo Aceh.(Ahmad Mufti/masakini.co)

Awal Perjalanan Jadi Nakhoda Ambulan

Memiliki kemampuan mengendarai boat telah dipelajari Dailami sejak tahun 1998 saat ia masih berumur 27 tahun.

Kala itu, ia merupakan seorang pawang laut, yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Saat bencana tsunami terjadi, dirinya sempat kehilangan pekerjaan.

Berbekal boat kayu yang selamat, ia diminta membantu pasien mendesak untuk dirujuk. Setelah boat itu rusak dimakan usia, Dailami bekerja sebagai cleaning servis di Puskesmas Pulo Aceh.

“Saya jadi CS tahun 2012 dengan gaji hanya Rp800 ribu,” sebutnya.

Tahun 2021 Pemkab Aceh Besar menganggar ambulan laut untuk warga Pulo Aceh. Berbekal pengetahuan sebagai pawang laut selama 23 tahun, Dailami ditunjuk sebagai nahkoda ambulan, berstatus tenaga kontrak di Puskesmas Pulo Aceh.

Suasana kabin KM Lamuri, kapal ambulan Pulo Aceh saat berlayar. (Ahmad Mufti/masakini.co)

Bertugas membawa pasien rujukan, ia mengaku tidak memiliki jadwal khusus. Terkadang sehari sekali, tiga hari sekali bahkan pernah dalam sebulan hanya empat kali. Itu tergantung adanya pasien emergency.

Ia menjelaskan pasien yang dirujuk hanya diantar hingga tiba di pelabuhan. Setiba di sana langsung diurus petugas. Dailami kembali ke daerah untuk tetap berjaga-jaga apabila ada pasien emergency lainnya.

“Ketika pasien yang dirujuk sampai maka selesai juga tugas kita,” ucapnya.

Dailami menegaskan, bagi pasien rujukan tidak dikenakan biaya transportasi sama sekali. Semua ditanggung Puskesmas.

Namun apabila jenazah yang dibawa pulang ke Pulo Aceh, maka dikenakan biaya sebesar Rp2 juta.

“Karena ambulan laut khusus untuk emergensi, namun jika pasien sudah sembuh atau jenazah maka dikenakan biaya,” jelasnya.

Walau cuaca buruk sering melanda, dirinya mengaku akan tetap setia mengantar pasien siang atau malam.

“Terkadang perjalanan sangat mulus seperti jalan tol,” kata Dailami sambil tertawa.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist