MASAKINI.CO – Manajer Program Asia Justice and Rights (AJAR), Mulki Makmun menyebutkan hasil pendokumentasian peta digital situs kekerasan Aceh dilakukan di 160 titik atau lokasi yang tersebar di 12 kabupaten/kota.
Periode pelanggaran HAM yang didokumentasikan sejak 1976 hingga 2005.
Mulki mengatakan dalam mencari jejak sejarah pelanggaran HAM di Aceh merupakan hak yang tak mudah. Apalagi beberapa lokasi sejarah tidak terpublikasi dan tidak ketahui masyarakat.
“Banyak tempat-tempat lain yang sebenarnya tidak diketahui publik, hal itu beda dengan Rumoh Geudong dan Simpang KKA yang telah populer,” kata Mulki, Selasa (31/10/2023).
Menurut Mulki, tempat-tempat yang belum terpublikasi secara masif harus dicatat agar tak terlupakan bagi kaum muda. Pasalnya, keberadaan situs kekerasan saat ini sudah banyak dialih fungsikan.
“Makanya data yang didapat ini berdasarkan narasi korban,” ucapnya.
Pada masa konflik, interogasi disertai penyiksaan sering dilakukan di gedung militer, polisi dan gedung pemerintah. Namun tak sedikit juga bangunan publik dan bangunan milik pribadi yang diambil alih lalu digunakan aparat sebagai pos, seperti warung kopi, sekolah, meunasah, Puskesmas, dan rumah pribadi rumah penduduk.
Ia menyebutkan, dari 160 titik bangunan tersebut, terdapat 53 bangunan yang dialih fungsikan, 24 bangunan kembali ke kondisi sebelum konflik, 23 bangunan masih beroperasi sebagai bangunan militer atau polisi, 18 bangunan ditelantarkan, dan 17 bangunan dihancurkan.
“Akan tetapi, lokasi-lokasi tersebut nyaris tidak diketahui masyarakat, karena sebagian besar tempat telah berubah dan dialihfungsikan,” imbuhnya.