MASAKINI.CO – ASAP mengepul bersalin cahaya; biru, merah, dan hijau. Dalam remang itu, enam gadis meliuk berlahan. Berkumpul hingga menyerupai kelopak. Lantas, mekar!
“Mereka menirukan cengkeh. Tubuhnya tangkai kepalanya mahkota,” sebut Rahmi Haryani
Mulanya senyap. Seakan manusia hanya ada di panggung utama. Selebihnya, cuma sayup terdengar syahi bersenandung diiringi rapai.
Suasana seketika pecah. Tua, muda, laki dan perempuan bersorak girang. Tabuhan rapai menanjak kencang, penonton histeris di ruang utama Taman Budaya Aceh (TBA). Para penari semakin energik. Hingga akhir pementasan, tarian itu jadi perbincangan.
Awal November lalu, juri Tari Kreasi Baru Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-8) nobatkan Geunta Nanggroe juaranya.
Ada peran besar Rahmi di balik torehan prestasi itu. Perempuan kelahiran Kuala Simpang 17 Oktober 1992 ini koreografer tari yang dinamainya Beupula Cengkih itu.
Penari yang sudah manggung di Thailand dan Melbourne, Australia ini menyebutkan karyanya merupakan tarian yang menggambarkan filosofi karakter Pala dan Cengkih yang “hidup tumbuh mati bersama.”
“Perjuangan benih untuk tumbuh sampai keduanya bisa menebarkan manfaat sebagai rempah dengan aroma khasnya,” sebutnya.
Ia mengaku ide Beupula Cengkih muncul dari hasil diskusi dengan sejumlah kolega. Mantan juri FLS2N tingkat Kota Langsa tahun 2018 dan 2019 ini menyebutkan butuh sekitar sebulan menyusun gerak tari.
Ia menjelaskan gerak tari ini dibuka dengan gerak maknawi penggambaran benih yang berproses untuk tumbuh. Di beberapa bagian gerak tari juga menggunakan gerak-gerak simbolis yang menyimbolkan bentuk pala dan cengkih.
Gerak juga berangkat dari gerak-gerak tari tradisi Aceh seperti step Aceh, seudati yang dikembangkan menjadi bentuk kreasi.
“Saya mendapati sinergi yang luar biasa, mulai dari semangat penari yang tidak pernah mengeluh saat berproses, pemusik yang solid, juga yang sangat luar biasa adalah support system pembina sanggar bunda Oneng (Sri Wahyuni) yang selalu mendukung dalam hal dan bentuk apapun,” sebutnya.