Megafon Kritik Sosial

Perempuan sedang bermonolog dalam pementasan monolog bertajuk Halimah di halaman KontraS Aceh, 10 Desember 2023. (Masakini/Rino Abonita)

Bagikan

Megafon Kritik Sosial

Perempuan sedang bermonolog dalam pementasan monolog bertajuk Halimah di halaman KontraS Aceh, 10 Desember 2023. (Masakini/Rino Abonita)

MASAKINI.CO – Ekspresi perempuan itu berubah seketika. Ia segera turun dari atas tiruan jembatan kayu yang baru saja dinaikinya kemudian mulai mengais-ngais lantai panggung dengan cakarnya sendiri.

“Lumpur, lumpur..!” kata-kata itu diucapkannya berkali-kali.

Pada waktu yang hampir bersamaan, suara khas synthesizer menjadi kunci pembuka portal masa lalu. Dalam satu ketukan tuts dengan nada yang terdengar panjang oleh sang kibordis di seberang panggung, para penonton seakan lesap bersama ratapan.

Ada emosi yang hampir tidak terperikan. Panggung yang sebelumnya sabur limbur kini telah berubah jingga.

Beberapa waktu yang lalu, sebuah pementasan monolog digelar di salah satu pelataran organisasi kemanusiaan. Pementasan tersebut patut mendapat aplaus dan pujian.

Dengan latar belakang konflik Aceh, pementasan monolog itu mengangkat cerita tentang seorang ibu yang saban magrib menanti anak lelakinya di sebuah jembatan.

Dalam kerinduannya itu, Halimah, 45 tahun, meratapi kepergian sang anak yang tak kunjung pulang. Anaknya ternyata hilang ditelan kabut operasi militer.

Berbasiskan kisah nyata, pementasan monolog tersebut mengetuk tanda tanya. Seberapa efektifkah seni teater menjadi medium memorialisasi kekerasan masa lalu?

Pertanyaan lainnya, apakah entitas-entitas seni seperti seni teater mampu berkontribusi bagi narasi sejarah di masa depan?

Ini dirasa penting, mengingat peristiwa-peristiwa kekerasan sepanjang operasi militer seperti di Aceh tak diserap oleh dunia pendidikan formal kita.

Padahal, generasi kiwari dan seterusnya berkewajiban memutus mata rantai kekerasan masa lalu. Sayangnya, cita-cita menjaga perdamaian hanya mungkin terjadi apabila para agen perubahan masa depan bisa memahami masa lalu.

Apa mau dikata, keberadaan narasi kekerasan pada masa lalu tentu saja menjadi tembelang bagi negara, berikut pula pelbagai konsekuensi sosiologis di belakangnya yang akan mengikuti.

Di sinilah dunia pendidikan, di bawah penguasaan negara, akan bersulih menjadi agen kebudayaan yang tugasnya mempertahankan status quo. Anasir apapun yang mendelegitimasi narasi terbitan negara harus dicegah dan dicegat.

Hal yang sama berlaku untuk setiap pagelaran seni bermuatan kritik sosial lain yang dianggap menganggu.

Masih hangat bagi sebagian orang kasus intimidatif yang dialami oleh Butet Kertaredjasa saat ia dan teman-teman senimannya hendak menggelar pentas teater beberapa waktu lalu.

Aktor yang pernah mengisi program mingguan salah satu stasiun TV nasional berjudul Sentilan-Sentilun itu dilarang oleh kepolisian untuk membawakan materi bernada politik di dalam teater yang akan mereka pentaskan.

Desakan tersebut muncul di dalam surat berisi komitmen yang harus ditandatangani oleh Butet sendiri.

Teater bertajuk Musuh Bebuyutan itu digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Jumat 1 Desember 2023 oleh Forum Budaya Indonesia Kita.

Dari sini kita bisa belajar bagaimana negara memperlakukan entitas-entitas seni yang bermuatan kritik sosial. Rasa-rasanya seperti kembali ke masa Orde Baru, tetapi dalam wujud rezim yang lebih mutakhir.

Konsekuensi logis dari pengekangan-pengekangan ekspresi seni pada tingkat paling ekstrem telah menciptakan-yang menurut bahasa penulis-sistem yang “nekrofilik.

Sistem yang nekrofilik menciptakan negara yang berkecenderungan menyukai populasi bisu, seperti tak memiliki jiwa untuk mengkritik sama sekali alias benda mati.

Hal-hal seperti kisah mengenai Halimah dalam pementasan teater di halaman KontraS Aceh pada malam itu tentu saja hanya bisa ditemukan di luar institusi formal bahkan tidak di institusi pendidikan sekalipun.

Untuk menemukannya pun memerlukan sebuah inisiatif karena ia tidak akan datang dengan sendirinya.

Pertanyaan selanjutnya yaitu, bagaimana inisiatif dapat tumbuh, sementara barier yang berlapis-lapis berusaha menjegal di depan mata? Tercerahkan di tingkat dunia pendidikan, siap-siap bertemu barier selanjutnya, yaitu aparat keamanan seperti kasus Butet.

Selain itu, mengingat segmentasi penonton teater yang bisa dikatakan tidak seberapa dibandingkan dengan hiburan lain, seperti pementasan band, di Aceh, tentu saja membumikan narasi kekerasan masa lalu melalui teater rasa-rasanya agak sedikit kepayahan.

Kondisi ini, lagi-lagi harus dimaklumi sebagai situasi ketika akses terhadap berpikir kritis itu dibatasi oleh barier-barier resmi tadi. Ya, kritis itu memiliki harga dan konsekuensi, bukan?

Sebagai catatan, amplifikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu melalui pementasan-pementasan seni teater memiliki jejaknya sendiri di Indonesia.

Untuk monolog sendiri, yang terbaru, penghujung tahun lalu Titimangsa meroketkan sebuah pementasan berjudul “Aku, Istri Munir”. Pementasan monolog yang digelar secara hibrida ini turut mengajak pemain watak kesohor, Happy Salma.

Ditulis naskahnya oleh Seno Gumira Ajidarma, pementasan monolog ini berusaha mengajak penonton untuk melihat Munir sedepah lebih mendekat melalui istrinya, Suciwati yang diperankan oleh Happy Salma.

Seperti yang diketahui, tahun ini terhitung 19 tahun aktivis Munir Said Thalib dibunuh. Kendati telah dibawa ke meja pengadilan, kematian Munir masih menyisakan baur yang tak bersudahan.

Selain teater, seni sebagai alat perlawanan masih terus berusaha menjejal dunia seni mainstream. Denyut seni sebagai amplifikator atau pelantang kritik sosial masih terasa walau jumlahnya sekelumit.

Sejak kepemimpinan rezim Orba jatuh, memasuki 2000-an banyak seniman terutama penyanyi di Aceh yang menyerap kasus pelanggaran HAM ke dalam lirik lagu-lagu mereka.

Lirik-lirik lagu tersebut menjadi ekspresi kolektif bagi sebagian masyarakat Aceh. Salah satunya Haro-Hara yang dibawakan oleh komunitas Nyawöung yang liriknya menyerempet kasus Krueng Arakundoe, Simpang KKA, Rumoh Geudong, hingga Beutong.

Terbitnya lagu-lagu semacam ini tentu saja membuat otoritas militer di Aceh kala itu tidak dapat tidur nyenyak. Konsekuensinya sudah dapat ditebak, terjadilah pengekangan, kaset-kaset serupa dibredel di pasaran hingga pemanggilan para seniman.

Di sini berlaku argumen templatif yang menyatakan bahwa di mana ada pengekangan, di situ terdapat perlawanan. Jika pun bukan “melawan” dalam arti yang sebenarnya, perlawanan bisa maujud bahkan dalam bentuk paling kecil, sekalipun hanya berupa gumaman.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist