MASAKINI.CO – Aroma cat samar-samar masih tercium di ujung hidung. Ini bau khas akrilik. Seseorang baru saja selesai melukis. Pelakunya adalah Iswadi, 47 tahun.
Iswadi lega. Lukisan orderan temannya beberapa bulan lalu sudah kelar. Persis seperti yang dipesan. Di atas kanvas itu, seorang nenek berwajah teduh tengah memangku sang cucu.
“Itu yang nenek di dalam lukisan itu ibunya teman saya. Yang digendong itu adalah anaknya dari teman saya,” celetuk Iswadi.
Minggu malam di tengah Januari 2024, masakini.co berkesempatan berkunjung ke bengkel lukisan Iswadi. Di sudut Punge Jurong, Meuraxa, Banda Aceh, bengkel 4×4 meter itu bersembunyi dari hiruk pikuk ibu kota.
Bengkel yang sederhana. Di meja depan, menampang bendera Palestina dari akrilik. Di dalam, perkakas lukis disusun rapi. Di celah seng dan lisplang, sejumlah kuas menyelip tak berkutik.
Malam itu, sorotan lampu memantau pongah dari arah jam 12. Jelas Iswadi masih dalam mode kerja. Penampilannya kusam. Cipratan cat yang telah mengering di celananya terlihat mengeras.
Ada sebuah lukisan rumah adat dengan latar pemandangan yang digantung oleh Iswadi. Lagi-lagi orderan seorang teman. Namun, pesanan satu ini masih belum selesai.
“Dia suruh tambah lagi dengan gambar orang tuanya ini di sini. Dia bilang selesaikan pelan-pelan saja. Harga teman. Saya minta Rp4 juta. Dia bisa Rp2 jutaan ,” ujar Iswadi, menyodorkan sebuah foto keluarga dari layar gawai.
Dulunya bengkel Iswadi dipenuhi lukisan. Kebanyakan Lukisan tua. Kini, lukisan-lukisan tersebut dipindahkan dan ditumpuk di samping rumahnya.
“Terpaksa ditaruh di sana karena ini, kan baru direhab beberapa hari yang lalu. Lapuk. Habis lapuk dimakan rayap semua di sini,” ujar Iswadi, menyambut masakini.co.
Iswadi ingin meminimalisir penggunaan material kayu dari dalam bengkelnya. Termasuk mengungsikan lusinan lukisan berbingkai kayu. Ini adalah misi penyelamatan.
Kini, ruangan bengkelnya telah diberi rangka besi. Dindingnya terbuat seng. Kendati demikian, setengah dari ruangan tersebut masih berbahan kayu.
Selain dua lukisan tadi, Iswadi memboyong sebuah lukisan tua miliknya ke dalam. Cukup besar untuk ukuran pria dewasa. Bingkainya berlapis serpihan kulit telur.
“Tema lukisan ini ‘di tepi zaman’. Saya buat tahun 2009,” jelas Iswadi.
Lukisan Iswadi itu menyimpan pesan. Dalam ‘di tepi zaman’, nilai-nilai adat dan budaya seakan benda lampau yang tergerus titimangsa.
Di sana ada ‘pinto khop’ atau pintu Aceh. Ujungnya menyembul di kejauhan. Seakan menatap sebuah guci tua yang telah pecah dan menyuruk. Di balik rimbunan lembang dan reruntuhan tembok.
Karya Iswadi banyak yang sarat makna. Bahkan jadi ekspresi kritik sosial. Apalagi sewaktu bekerja sebagai ilustrator di sebuah media per 2003-2005. Tangan dinginnya banyak menyerempet isu konflik di Aceh.
Iswadi lahir pada 30 Juni 1977 di Pidie. Anak kedua dari lima bersaudara ini mengaku mengagumi seorang bernama Usman P sewaktu kecil. Usman P adalah seorang lelaki yang suka menghabiskan waktu melukis di kebunnya.
“Dia (Usman P) spesialis melukis ‘Rumah Aceh’ dan pemandangan,” tutur Iswadi.
Jauh-jauh datang dari desa tetangga, Iswadi cum suis (cs) kerap mencuri waktu menonton Usman P melukis. Di dalam hati ia yakin. Kelak bisa seperti Usman P.
Sedepa demi sedepa Iswadi mulai belajar. Ia kerap menjadikan bungkusan kotak rokok sebagai media gambar. Terkadang juga lapisan aluminium foil bungkusan rokok. Pokoknya bisa digambar.
Lambat laun kemampuannya kian terasah. Ia bahkan dipercaya mengerjakan tugas menggambar sejumlah siswa SMA. Iswadi yang masih SMP mulai mematok harga. Lumayan buat jajan sehari-hari.
Dari orderan kecil-kecilan, pesanan datang lebih serius. Iswadi mulai diminta untuk mengerjakan pamflet atau spanduk. Segmen pelanggannya pun mulai meluas.
Waktu itu, Iswadi mulai melupakan hasratnya menjadi pelukis seperti Usman P. Namun, takdir berkata lain.
Tanpa disengaja Usman P mengunjungi sepupunya yang kebetulan bertetangga dengan Iswadi. Sepupu Usman P bercerita bahwa di desa tersebut terdapat seorang bocah yang juga punya bakat melukis seperti dirinya.

Usman P pun berniat mencari tahu sendiri siapa gerangan anak yang dimaksud. Ia bergegas menyambangi rumah Iswadi. Sontak Iswadi terperanjat.
“Oh, pantesan orderan aku berkurang, ya. Rupanya selama ini kamu pelakunya.” kira-kira seperti itu kalimat yang dilontarkan oleh Usman P melihat rumah Iswadi yang dipenuhi dengan pamflet dan spanduk serta cat minyak.
Tentu saja Usman P tidak serius sewaktu melontarkan kalimat tersebut. Ia hanya bergurau. Ia ingat siapa Iswadi. Dulu, bocah itu diam-diam mengaguminya.
Sejak hari itu, Iswadi dan Usman P menjadi akrab. Usman P bahkan mengorbitkan nama Iswadi sebagai pelukis muda. Keduanya terkadang mengerjakan orderan melukis bersama-sama.
Pada 1996, Iswadi menjadi pemenang sebuah ajang melukis lokal. Dari sini, ia pun mulai mengepakkan sayap. Jaringan senimannya diperluas. Taman Budaya Banda Aceh jadi tempat bermainnya pada akhir pekan.
Di saat yang sama, Serambi Makkah yang dicabik-cabik konflik menarik Pidie sebagai salah satu kawasan paling berdarah. Situasi amat tak menentu. Desa mencekam.
Pernah suatu hari karena keasikan bermain, Iswadi kecil ternyata lupa membawa pulang sandalnya. Ia baru ingat keesokan pagi.
“Saya waktu itu tengah bersiap pergi sekolah. Ibu bertanya ke mana sendal saya. Saya jawab, kayaknya ketinggalan sewaktu bermain kasti di lapangan kemarin,” tutur Iswadi.
Ibunya mendelik marah, Iswadi segera lari menuju lapangan untuk menjemput sandalnya. Tak sengaja, ia berpapasan dengan seorang anak bernama Iwan, adik kelasnya di SMP.
Iwan baru saja membeli kopi buat ayahnya. Kepada Iswadi, bocah itu mengatakan bahwa ia melihat seseorang tergeletak di pasar ikan. Tapi ia tidak yakin. Iswadi yang merasa penasaran pun menyempatkan diri pergi ke pasar ikan.
Semakin dekat jarak Iswadi dengan orang tersebut, semakin tampak jelas bahwa itu adalah laki-laki dengan mata dan tangan terikat yang tergeletak di tanah. Ia hanya mengenakan sarung.
Iswadi berdesir. Ada bau amis dari darah kering. Tak cuma itu. Jumlah mereka ternyata dua orang. Iswadi yakin keduanya sudah cekang. Ia pun berlari ke rumah. Sesaat kemudian satu desa heboh.
“Dibilang orang-orang bukan penduduk Padang Tiji. Dibuang ke situ oleh orang dengan truk Reo,” cerita Iswadi.
Truk Reo atau M35 merupakan truk keluaran Amerika. Bagi memori kolektif Aceh, truk ini adalah momok. Setiap warga yang naik ke atas truk ini, jarang yang kembali dalam keadaan selamat.
Iswadi yang beranjak dewasa memutuskan menjauh. Ia tidak ingin terpapar apapun yang berkaitan dengan konflik. Dari Medan, tapaknya mantap mendarat di Jakarta pada 1997. Ia memerah keringat, menjadi seniman jalanan di Ibu Kota.
Waktu itu 1999. Keinginan Referendum dilantangkan di Aceh. Iswadi yang terdeteksi oleh perantauan Aceh di Jakarta, diminta berkontribusi bagi gerakan referendum. Spanduk-spanduk ‘Referendum’ buatannya pun membentang hingga ke gedung dewan.
Seingat Iswadi, tahun itu, Ia ditangkap polisi di Depok, dipenjara di Bogor. Jeruji tak membuat jiwa seninya terkekang.
Secara terangan-terangan, Iswadi mulai menunjukkan bahwa ia adalah pelukis. Ia pun dipercaya melukis pemandangan berukuran 12×8 meter bersama temannya untuk dipampang di lapas.
Iswadi juga secara sukarela melukis wajah kepala sipir. Dari sini kepercayaan pihak lapas pun mulai timbul. Beberapa bulan sebelum ia bebas, Iswadi bahkan diberi ruangan khusus dan leluasa keluar masuk ke ruangan yang lain.
Seorang dokter perempuan yang bertugas di bagian pemeriksaan kesehatan lapas secara diam-diam meminta Iswadi untuk melukis anaknya. Iswadi bersedia.
“Saat itu, Bu Nathalie bertanya, kapan kamu bebas? Saya jawab sekitar empat bulan lagi. Ya, sudah, ini kartu nama ibu, nanti kalau kamu sudah keluar, hubungi saya,” tutur Iswadi.
Bebas dari penjara, Iswadi pun langsung menemui dokter Nathalie. Keduanya bertemu di kantin kantor Dirjen Pemasyarakatan di Jakarta Pusat. Ia pun diberi uang sebanyak Rp300 ribu rupiah. Upah karena Iswadi telah melukis kedua anaknya.
Tidak selesai di situ. Iswadi diminta untuk mereproduksi sebuah lukisan. Dokter Nathalie amat menyukai lukisan tersebut. Sebuah lukisan abstrak yang dihargai sekitar Rp7 jutaan dalam festival Pekan Raya. Iswadi pun menyanggupinya.
“Kalau ditanya lukisan apa yang paling susah yang pernah saya lukis, maka lukisan itu salah satunya. Nama pembuatnya Sony,” kisah dia.

Iswadi telah menamatkan petualangannya di Ibu Kota dan kembali ke tanah kelahiran pada 2007. Perupa satu ini dulu bergeliat di Blok M, Pasar Baru, Melawai dan beberapa kawasan Jakarta lain. Kemampuannya sebagai pelukis ditatar oleh pengalaman di sana.
Ia hidup dengan melukis. Iswadi bahkan mempersunting istrinya dengan uang dari hasil sebuah lelang empat lukisannya pada 2008. Perempuan yang telah mengambil hatinya itu Erika Apriliana, Ibu dari lima anaknya.
Lusinan trofi disabet Iswadi. Ia menghiasi banyak ajang melukis di dalam dan luar Aceh. Ia juga menjadi juri, guru, dan mentor bagi banyak pelukis muda.
Iswadi juga merupakan salah satu perintis komunitas seniman lintas genre bernama Apotek Wareuna. Selain lukis, komunitas ini bergerak dalam bidang mural, dekorasi, hingga desain grafis.
Beberapa predikat yang diraih oleh Iswadi antara lain, terbaik I desain kaos “Visit Aceh Year” 2012, terbaik I kaligrafi kontemporer 2013, dan penghargaan lukisan terbaik dalam PKA 7 2018. Karya Iswadi juga ikut menampang di Museum Tsunami.
Itu adalah lukisan ombak besar pasang dan surut yang dihargai puluhan juta. Iswadi juga terlibat dalam sejumlah proyek yang didanai pemerintah seperti komik. Teranyar, dipercaya Balai Bahasa Provinsi Aceh untuk menulis dan mengilustrasikan buku anak berjudul Mengenal Rumah Adat Aceh.
Tidak sulit untuk menemukan karya Iswadi. Sejumlah muralnya berserak di tembok Banda Aceh. Mengikuti perkembangan teknologi, Iswadi juga melakukan digitalisasi terhadap karya-karyanya. Ia mulai merambahi dunia market digital seperti Creative Market dan Design Bundles atas nama Graphobia.
“Bagi saya melukis itu sederhana. Tak muluk-muluk. Melukis itu adalah rasa syukur,” cetusnya.