MASAKINI.CO – Masih lekat dalam ingatan dr. Aslinar: perjalanan 1,5 jam dari kota Cox’s Bazar menuju kamp Jamtoli. Selama 15 yaum, menjajal medan gersang yang menurun dan mendaki.
Kala itu, dr. Aslinar mesti bolak balik dari penginapan ke salah satu kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh. Ia jadi relawan di bidang kesehatan di kamp tersebut. Kendati tidak lama, tetapi itu adalah dua pekan yang amat berkesan.
Perempuan yang melakab diri sebagai ‘Ummi Dokter’ ini datang ke Bangladesh atas nama Tim 9. Tim 9 di bawah Indonesian Humanitarian Alliance (IHA). IHA yang sudah bekerja di Cox’s Bazar di penghujung 2017 merupakan gabungan beberapa lembaga kemanusiaan.
Di Cox’s Bazar sebenarnya ada puluhan lembaga kemanusiaan seantero dunia. Aliansi ini digagas untuk membantu mengoptimalkan kerja-kerja kemanusiaan di kamp pengungsi tersebut.
Aslinar ingin menjadi relawan kemanusiaan ke Cox’s Bazar sejak melihat unggahan temannya di Facebook. Unggahan itu berisi kunjungan tim MuhammadiyahAid ke kamp pengungsi. Ia pun menawarkan diri untuk ikut bergabung.
“Saya kemudian menghubungi beliau, menyampaikan apakah saya sebagai ‘dokter anak’ dibutuhkan di sana,” kata dr. Aslinar pada masakini.co.
Dari Jakarta ia berbagi cerita. Niatnya menjadi relawan diterima. Atas nama kemanusiaan, sang suami juga ikut mendukung. Pun begitu dengan anak-anaknya.
“Anak-anak juga sudah saya berikan pengertian bahwa uminya itu berangkat untuk kemanusiaan, untuk membantu teman-teman mereka yang membutuhkan. Jadi sama sekali tidak ada masalah,” tutur dr. Aslinar.
Ia berangkat di bawah bendera MuhammadiyahAid bersama sejumlah relawan dari lembaga kemanusiaan lain. Dari Banda Aceh ke Jakarta, transit di Malaysia lanjut ke Dhaka, Bangladesh. Cox’s Bazar sudah menunggu.
“Saya satu-satunya dokter yang berangkat di dalam tim,” kata dr. Aslinar.
Ia dan sejumlah relawan ditugaskan secara khusus di kamp Jamtoli. Mereka menginap di sebuah apartemen mini berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil ke kamp. Para relawan ini pergi pagi, pulang sore.
Kamp Jamtoli digambarkan sebagai sebuah permukiman yang sesak berisi 30 ribu jiwa. Setiap keluarga tinggal di dalam tenda rerangka rotan berbalut terpal yang pengap. Lautan tenda membentang itu di atas tanah kering yang bergelombang.
Jumlah pengungsi di sana menanjak drastis sejak Agustus 2017. Kekerasan yang menargetkan etnis Rohingya di Myanmar penyebabnya. Angka keseluruhan pengungsi bahkan mencapai 1 juta.
“Dari tempat kita turun mobil sampai ke tempat kamp pengobatan itu lumayan jauh berjalan, dengan kondisi mendaki dan tanahnya seperti tanah liat yang mengeras. Sepanjang perjalanan di sekeliling banyak kamp pengungsi,” tutur dr. Aslinar.

Hidup Mati Teluk Benggala
Bersama tim tenaga Kesehatan, ia hanya menerapkan pelayanan rawat jalan kepada para pengungsi. Jumlah pasien membludak setiap harinya. Kebanyakan pasien mereka adalah anak-anak.
Wajah anak-anak pengungsi Rohingya yang semringah selalu jadi pelepas dahaga paling ampuh. Rasa capai selama mendaki hilang setiba di kamp. Kini tinggal senang dan haru yang berbaur.
“Setiap kami datang, anak-anak yang sedang bermain itu menyambut kami. ‘Indonesia!’ mereka panggil,” sapaan itu diakui membuat dr. Aslinar dan teman-teman relawannya merasa berbunga-bunga.
Selain itu, Anak-anak tersebut terkadang sengaja datang tanpa alasan. Mereka tidak ingin berobat. Hanya ingin berkerumun di dekat dr. Aslinar dan teman-teman relawannya saja.
“Jadi, mereka tampak akrab, tampak sangat hormat sesama kita juga. Jadi tidak ada saya lihat yang dikatakan mereka jahat seperti itu,” ujar dr. Aslinar.
Pernyataan ini sengaja dipertegas dr. Aslinar mengingat selama ini banyak berkembang stereotipe yang menyudutkan pengungsi Rohingya.
Selama menjadi relawan di kamp Jamtoli, dr. Aslinar dan teman-teman relawannya banyak dibantu oleh para pengungsi. Hubungan yang terjalin pun cukup akrab. Ia bahkan senang bisa mengucapkan sepatah dua patah bahasa Rohingya.
Ia mengaku sangat menikmati saat anak-anak pengungsi mulai berkumpul. Lalu membacakan potongan ayat suci Al-Quran secara kor. Sesaat kemudian anak-anak sorak semarai.
Kegiatan keagamaan di kamp Jamtoli berpusat di sebuah masjid yang juga terbuat dari rerangka bambu dan terpal. Anak-anak biasanya mulai berkumpul bakda zuhur untuk mengikuti pengajian rutin. Pengajian dilaksanakan dalam bentuk menyetor hafalan yang akan didengarkan sang imam.
Dada dr. Aslinar selalu sesak sewaktu anak-anak itu mulai bercerita. Kekerasan junta militer Myanmar yang tidak terbendung memaksa mereka untuk mengungsi. Tiap keluarga bernafsi-nafsi dalam pertaruhan dengan maut selama pelarian.
Web Badan Pengungsi Dunia menjelaskan bahwa etnis Rohingya terpaksa berjalan berhari-hari untuk menyelamatkan diri. Mereka melewati hutan dan melakukan perjalanan laut yang berbahaya. Untuk mencapai tempat aman di Bangladesh, mereka mesti melintasi Teluk Benggala.
“Mereka ceritakan bahwa yang hadir sampai ke Cox’s Bazar itu adalah mereka yang memang selamat dalam arti ada sebagian yang meninggal dalam perjalanan,” tutur dr. Aslinar.
Menurut dr. Aslinar, apa dialami oleh para pengungsi ini telah menempa anak-anak pengungsi di sana menjadi manusia-manusia yang banyak kehilangan. Termasuk kehilangan ekspresi sedih. Saking beratnya kenyataan memukul mereka.
“Sudah tidak ada air mata saat menceritakan. Justru kita yang mendengarkannya ini yang sangat terharu dengan kondisi mereka.” tutur dr. Aslinar.
Setengah bulan adalah waktu yang amat singkat. dr. Aslinar menamatkan tugasnya sebagai relawan medis di kamp Jamtoli, Cox’s Bazar pada 24 Januari 2018. Keesokan harinya ia pulang ke Aceh.

Kenangan Langsa
Menjadi relawan di Cox’s Bazar bukan kali pertama persinggungannya dengan pengungsi Rohingya. dr. Aslinar sudah mulai mengabdikan diri untuk membantu pengungsi pada 2015 silam. Kala itu, ratusan pengungsi ditempatkan di Langsa setelah nelayan Aceh menyelamatkan mereka.
Terjadi upaya evakuasi dramatis yang diceritakan oleh media massa. Enam kapal nelayan Aceh mati-matian menyelamatkan kapal berisi pengungsi Rohingya yang hampir tenggelam pada 15 Mei 2015. Kapal pengangkut ratusan pengungsi dihalau oleh angkatan laut Thailand kendati sempat diberi bekal dan perbaikan kapal.
Ratusan pengungsi, terdiri dari 210 orang Rohingya asal Myanmar dan 395 orang dari Bangladesh ditempatkan di Kuala Langsa, Langsa. Perjalanan laut yang panjang telah memeras kesehatan mereka. Delapan orang dirawat intensif.
Mendengar kabar pengungsi Rohingya berada di Langsa, dr. Aslinar ditemani suaminya langsung berangkat dari Banda Aceh ke lokasi penampungan. Tujuannya tak muluk-muluk. dr. Aslinar hanya ingin ikut membantu apa pun yang bisa dilakukan sesampai di sana.
“Sepanjang perjalanan, saya umumkan di Facebook dan saya buka donasi. Siapa yang ingin berdonasi, kami akan membelikan barang-barang keperluan pengungsi,” kisah dr. Aslinar.
Ajaib. Hanya dalam waktu beberapa jam perjalanan dari Banda Aceh menuju ke Langsa, dr. Aslinar berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp20 juta rupiah. Uang hasil donasi dihabiskan untuk membeli pelbagai keperluan pengungsi.
“Dan itu kami serahkan semua ke pengungsi. Pada saat itu ada koordinatornya di situ (lokasi penampungan), kita belanja-belanja bareng, kita serahkan ke koordinator pengungsi di situ,” tandas dr. Aslinar.