Tokoh Perempuan Bicara Dampak Pernikahan Anak

Kampanye Stop Perkawinan Anak I foto: womanindonesia

Bagikan

Tokoh Perempuan Bicara Dampak Pernikahan Anak

Kampanye Stop Perkawinan Anak I foto: womanindonesia

MASAKINI.CO – Ia terlibat pergaulan bebas. Digrebek, lantas dinikahkan agar tak terlibat zina. Padahal usianya belum 17, “belum ada KTP.”

Belum sempat dewasa pernikahannya telah kandas. “Ketika bercerai ternyata dia hamil,” kata Riswati. “Suaminya tidak mengakui.”

Persoalan berikutnya datang saat persalinan.

“Tak ada JKA, tak ada BPJS. Akibat tidak ingin repot mengurus dispensasi pernikahan, ia nikah siri akhirnya tidak terdata, anaknya berisiko tidak mendapat akte kelahiran.”

“Untungnya perangkat desa dan instansi terkait turut berkolaborasi hingga selesai,” kenang Direktur Flower Aceh tersebut.

Aktivis yang akrab disapa Riris itu, berbagi sepotong kisah seorang anak yang dinikahkan diusia belum 19 tahun.

Jika mengacu pada Undang-undang No 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 sudah menetapkan batasan umur untuk diperbolehkan kawin jika sudah berusia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

Tapi perkawinan di bawah umur masih sering terjadi. Padahal menikah dengan usia di bawah umur sangat tidak dianjurkan, banyak dampak negatif yang dapat ditimbulkan.

Mulai dari masalah kesehatan, kesiapan mental, kematangan emosi, ekonomi, hingga cara berpikir, yang dapat memengaruhi harmonisasi keluarga.

Acap kali, dalam kehidupan bersosial, orang tua memilih anaknya untuk segera dinikahkan agar dapat meringankan beban ekonomi yang ditanggung.

Situasi seperti itu masih terjadi di lingkungan perdesaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Flower Aceh kebanyakan responden masih menganut pernikahan di bawah umur karena terpengaruh stigma negatif.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati | foto: Riska Zulfira/masakini.co

“Mitos-mitos telat menikah jauh dari jodoh itu masih melekat,” ucapnya.

Alih-alih meringankan beban orang tua, perkawinan ini justru berpotensi mewariskan kemiskinan, melanggengkan kekerasan, hingga gangguan alat reproduksi.

Pada dasarnya, reproduksi perempuan muda belum terlalu matang, maka akan berimbas terhadap rahim ketika mengandung.

Kondisi pemaksaan ini menurutnya, berdampak pada hilangnya masa depan anak.
“Bahkan berat dan gizi bayi pun rendah, dan terjadinya stunting,” terang Riris.

Kemudian pernikahan di bawah umur juga berimbas terhadap pendidikan si korban. Ia tak berani melanjutkan pendidikan akibat malu dan mendapatkan bullying di sekolah.

Di usia yang belum dewasa, konflik antar pasangan bakal terjadi serta masalah psikologis yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak.

Maka perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada remaja dan orang tua untuk menghindari pernikahan dini.

Selain itu, dukungan pemerintah dan seluruh stakeholder yang berkaitan sangat dibutuhkan untuk penanganan persoalan tersebut.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh sangat dibutuhkan.
Pemerintah Aceh melalui DP3A Aceh terus berupaya memberikan perlindungan bagi anak melalui berbagai upaya preventif, promotif dan penanganan.

“Diantaranya jika ada anak yang tidak melanjutkan pendidikan, dapat diasah skil anak dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan,” sarannya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist